Melepas

4.5K 230 28
                                        

Bagus sudah selesai memanaskan mobil. Dua ransel sudah dikemas masuk ke dalam bagasi. Mutia sedang mengunci pintu ketika Pak Hadi mengucap salam. Pak Hadi adalah tetangga blok sebelah yang berprofesi sebagai sopir cabutan. Bagus meminta tolong padanya untuk mengantar ke bandara sekaligus merawat mobil selama mereka berlibur.

Hari ini mereka berangkat ke Bagan. Kota tua di Myanmar yang katanya punya pemandangan alam luar biasa. Mutia sudah membayangkan betapa serunya naik balon udara sambil berpelukan. Romantis.

Ketika akan mengunci pagar, Mutia tertegun menatap taman di depan rumah. Rasanya ia sudah lama tak menyentuh mereka. Tapi sekarang lihatlah! "Mas," dirangkulnya tangan Bagus yang sedang berusaha memasukkan kunci ke dalam gembok, "ini keajaiban!"

Bagus menatap isterinya tak mengerti. "Semua berbunga, Mas! Padahal aku ngga pernah nyiram mereka!" wajah Mutia berbinar penuh kebahagiaan. 

Bagus tertawa. "Iya, kamu yang ngga pernah nyiram." Diselesaikannya urusan dengan gembok lalu menggandeng Mutia masuk mobil. 

"Kita ke Hermina dulu, ya Pak," Bagus memberi arahan pada Pak Hadi yang langsung mengangguk tanpa bantahan.

"Udah telepon Dokter Ana, belom? Ntar dia lagi sibuk sama pasien gimana?"

"Ya udah, ga rejeki."

"Ish!" Mutia cemberut tapi tak membantah.

***

"Wow! Matahari bersinar cerah pagi ini," Ana menyambut Mutia langsung dengan pelukan hangat.

"Dan berbunga-bunga," Mutia membalas dengan senyum mengembang.

"Alhamdulillah, seneng liat kalian bahagia," Ana menatap Bagus penuh arti.

Bagus hanya terkekeh. "Yeah! Kamu emang psikiater joss!" mereka tergelak. "Nih," Bagus menyodorkan amplop putih yang sudah disiapkan dari rumah.

"Apa, nih?" Ana mengeluarkan isi amplop. "E-tiket? Ke Lombok?"

Bagus mengangguk, "Liburan gih. Biar ga gaul sama cowok psikosis mulu." 

"Sialan, disini juga banyak yang waras keleus," lembar e-tiket dimasukkan lagi ke dalam amplop. "Eh, tapi kok tiket doang, ga sekalian akomodasinya?"

"Jiah! Bayar sendiri! Jangan kaya orang susah!" mereka tergelak lagi.

"Oya, kemaren aku ketemu sama Mala." 

"Oya?" Mutia mencondongkan tubuhnya agar dapat lebih konsentrasi mendengarkan cerita Ana.

Ana menarik napas, "Erotomania," katanya ringan.

Bagus menghembuskan napas, lega. "Hampir aku ngira kalo aku yang gila."

"Erotomania?"

"Hmm," Ana mencari kata-kata yang tepat, "keyakinan delusional bahwa dia dicintai oleh seseorang." 

"Delusional?" Mutia hampir tak percaya. Sulit menerima bahwa ia harus dikuret dan menderita depresi berminggu-minggu hanya karena seseorang mengalami delusi. Ugh! Terkutuklah delusi!

"Yah, besok aku akan bersaksi di persidangan," Ana tak melanjutkan kata-katanya begitu memperhatikan tangan Mutia yang mengepal.

Bagus menelusupkan jarinya demi mengurai genggaman Mutia. Mereka berpandangan, saling menguatkan.

Ana menarik napas, "Pelaku sakit jiwa memang tidak akan dipenjara. Dia sudah memenjara dirinya sendiri dengan cinta yang merusak. Adakah penjara yang lebih menyiksa daripada cinta yang tak berbalas?"

***

Mutia berjalan di lorong penuh cahaya. Langkah kakinya bergema seperti nyanyian dari surga. Suara tawa bayi memanggil untuk berlari. Tapi sesosok gadis kecil berpakaian putih bersih menahannya. Dihentikannya langkah kaki segera. Gadis itu tersenyum, mengulurkan tangan minta dirangkul. Mutia merangkulnya dalam bahagia.

 "Bangun, Sayang. Waktunya sholat subuh," bisikan Bagus berhasil membuat Mutia membuka mata dan tersenyum.

Mimpi-mimpi menakutkan itu telah hilang. Berganti dengan harapan masa depan. Memang benar, yang berat adalah melepaskan. Kehilangan bermakna bahwa kita masih mengikatnya erat di dalam hati. Sesungguhnya tak ada yang hilang karena tak satu pun yang benar-benar kita miliki. Segalanya milik Allah dan niscaya akan kembali pada-Nya.

Jadi inilah yang mereka lakukan sekarang: melepaskan.

3 Hati, 1 Kata: CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang