Bagus: Behind the Scene

1.8K 154 4
                                    

"Kamu dah ngasih tahu Mutia kalo kita ketemuan disini, kan?" Ana bertanya setelah semua potongan pizza beralih tempat ke perut.

"Belom," sekarang gelas mango tea mendapat giliran kukuras habis, "dia tahunya aku ada operasi sore ini." 

"Hm," senyum Ana terlhat agak aneh sekarang, "bohong, dong?"

"Ngga juga. Operasinya cancel, jadi aku pake buat konsul ama kamu," kuletakkan gelas teh yang sudah kosong.

"Kamu harus kasi tahu dia," Ana mencondongkan tubuhnya ke meja.

"Ngga usahlah. Lebih baik dia ngga tahu," aku tak mau menambah masalah. 

"Dia pasti tahu," suara Ana terdengar superyakin.

"Kenapa?"

"Aku sudah menyuruh Sandra untuk menelepon tadi, kan?"

"Ha?"

Ana tertawa kecil, "Jangan lupa bawain oleh-oleh."

"Hadeeh!" keningku tiba-tiba terasa berdenyut. Kupanggil pelayan untuk memesan Deluxe Cheese

"Tapi kamu yang sabar, ya Gus," tak ada lagi guratan tawa di wajah Ana.

"Maksudnya?"

"Mungkin Mutia bakal marah besar. Mungkin dia akan melempar pizza ke mukamu atau apa pun. Kamu hanya perlu diam dan jaga supaya dia tidak melukai dirinya sendiri."

Aku hanya ternganga mendengar penjelasan Ana. 

"Kalau perkiraanku benar, mungkin Mutia hanya butuh katarsis. Biarkan dia melampiaskan semua emosinya. Mimpi-mimpi yang menghantui itu kemungkinan perasaan yang ditekan."

Aku manggut-manggut.

"Setelah dia selesai, baru ajak bicara. Kalian saling bicaralah. Membicarakan perasaan, bukan pikiran. Berhenti berpikir dan mulai merasa. Menangislah bersamanya."

"Aku harus ikut menangis? Kalau aku ikut termakan perasaan apa tidak runyam jadinya?" 

"Berhentilah jadi pahlawan, Gus. Menangislah bersamanya. Buka lukamu. Aku tahu kamu pun terluka, kan?"

Aku berusaha tersenyum. Tapi hidungku seperti tersumbat dan mata terasa panas. Kuketukkan jari ke meja. "Yeah!" kata-kata menguap entah kemana. "Kalau kita sama-sama terluka, lalu siapa yang akan mengobati?" air menggenang di mataku.

"Time heals the pain and so do love." 

Kuhapus air yang hampir keluar dari hidung. Lendir seolah memenuhi tenggorokan dan aku harus membersihkannya sebelum mulai bicara, "You think so?" Airmata mengalir tanpa permisi dan aku harus cepat-cepat menghapusnya agar tak ada yang melihat.

Ana tersenyum. Mungkin tingkahku jadi terlihat lucu di matanya. "I believe so."

***

Aku bersembunyi di balik dinding. Mengintip ke ruang tamu demi mengawasi Mutia yang sedang meradang. Suaranya melengking tinggi, meraung-raung seperti pusaran menuju langit. Sekarang aku mengerti apa yang dimaksud Ana dengan diam. Hanya diam. Membiarkannya melepas semua emosi tanpa intervensi.

Tak lama ia berhenti. Terduduk di lantai dan tergugu lemah. Aku berbalik ke kamar dengan lega. Berganti baju dengan tenang lalu kembali untuk membereskan ruang tamu.

Aku lega, benar-benar lega melihat Mutia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Dia terlihat lebih baik dari tadi pagi. Cahaya kehidupan mulai tampak di wajahnya. Tampaknya tebakan profesional Ana benar. 

Baiklah. Setelah ini akan kulanjutkan dengan tahap kedua. Bicara perasaan. Mari kita hadapi ini, Sayang!

3 Hati, 1 Kata: CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang