Adzan Maghrib sudah selesai, Si Bagus baru datang. Coba kita lihat bagaimana dia membela diri. Kududukkan diri di sofa sambil melipat tangan menutupi dada.
"Assalamu'alaikum," Bagus masuk sambil menenteng kardus pizza di tangan kanan dan snelli tersampir di tangan kiri. Dia melihat sekeliling lalu menemukanku sedang duduk di sofa, "Hai, ngga dinyalain lampunya?" kemudian berjalan menuju saklar lampu.
Terang. Dia beralih menatapku sambil tersenyum, "Deluxe Cheese!" serunya dengan mata berbinar.
Aku bergeming. Ekspresi pun sama sekali tak kuubah. Masih tetap dengan mulut mengatup rapat dan gigi bertaut erat.
"Ada apa?" dia bertanya. Huh! pura-pura cemas padahal baru saja makan-makan dengan perempuan lain.
"Darimana tadi?" suara kubuat seketus mungkin.
Dia tak terpengaruh, "Gerai Pizza, nih aku bawain pizza."
"Sama siapa?" kulempar sebuah tatapan setajam scalpel.
Bagus terlihat sedikit terkejut tapi hanya sebentar. Sedetik kemudian dia dapat menguasai diri dan bertanya dengan nada datar, "Tadi Sandra telepon, ya?"
"Tak penting siapa yang telepon. Sama siapa kamu di Gerai Pizza?" aku sengaja membuat suaraku terdengar seperti menggeram. Dia tahu ini bukan pertanyaan yang butuh jawaban. Aku hanya butuh kejujurannya. Mengetahui dia bersama perempuan lain di saat aku sedang menata hati dan pikiran memberikan rasa pedih yang tak terkira.
Bagus hanya menarik napas lalu beranjak pergi. Aku histeris melihatnya berlalu begitu saja, "Bagus!!!" Langkahnya terhenti sejenak. Hanya diam di tempat, menunduk sebentar lalu melanjutkan langkah ke kamar.
Aku maradang, melempar semua benda yang bisa dilempar. Mula-mula bantal kursi terbang ke segala arah. Selanjutnya Mehrunnisa yang baru dibaca setengah ikut melayang. Kotak pizza pun tak luput dari tanganku dan berseluncur di lantai keramik.
Setelah tak ada lagi yang dapat kulempar, giliran kaki yang bicara. Kaki meja dapat kehormatan menerima bentakan pertama. Lalu kaki kursi, dilanjutkan bantal kursi yang sudah betebaran di sekeliling ruang tamu. Hingga akhirnya kelelahan menguasai dan aku terduduk lemas di lantai. Airmata sudah memandikan seluruh muka dan dada. Aku meraung, mengisak sampai hanya punya tenaga untuk tergugu lemah.
Bagus sudah berganti pakaian dengan baju koko dan sarung. Dia memungut kotak pizza dan meletakkannya di atas meja makan. Aku baru ingat, sekarang waktunya sholat maghrib.
Dengan lemas aku berdiri menuju kamar mandi. Setelah selesai berwudhu, kulihat Mas Bagus sudah berdiri di atas sajadah. Dia masih menungguku untuk sholat berjamaah. Senyumnya terlihat begitu menenangkan kini.
***
Selesai shalat maghrib, Mas Bagus berbalik menghadapku. Kami bersalaman. Aku mencium punggung tangannya dan dia mencium keningku.
Kemana kemarahanku yang tadi? Kenapa semua seperti menguap begitu saja?
"Udah selesai katarsisnya?" dia tersenyum.
Aku menunduk. Tak tahu sudah berapa lama. Rasanya sudah berabad-abad sejak terakhir kali kami berbicara seperti ini.
Tiba-tiba kerinduan menggedor-gedor relung hatiku. Embrio itu bahkan belum berbentuk janin tapi kehilangannya telah membuatku melupakan seseorang yang sudah menemani selama 6 tahun. Apakah aku memang begitu bodoh?
Mas Bagus memelukku erat dalam lingkar tangannya. Aku pun menangis lagi. Tak sekeras tadi tapi cukup membuat tubuh terguncang dan tangan gemetar. Mungkin hanya ini yang kubutuhkan sekarang, melepaskan seluruh emosi yang tertahan.
===
snelli: jas dokter
scalpel: pisau bedah
katarsis: mengekspresikan perasaan, biasanya dengan berteriak atau gerakan fisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Hati, 1 Kata: Cinta
RomantizmBagus tak pernah berpikir untuk selingkuh, apalagi sampai melakukannya. Tapi semua orang mengatakan dia selingkuh. Beserta bukti-bukti yang Bagus sendiri tak tahu datangnya darimana...