Cahaya matahari mulai muncul dari arah timur. Motor-motor ojek online dan mobil jemputan sekolah sudah berseliweran sejak pukul 6 tadi. Ponakan Bu Karso juga sudah berdiri di depan rumahnya. Dia terlihat sehat pagi ini. Aku menyapanya dengan senyuman dan dia membalas sekilas lalu menunduk lagi menatap layar ponsel. Mungkin dia sedang menunggu ojek online juga.
Kuperhatikan, dia tampak sehat pagi ini. Kalau mengingat yang terjadi dua pekan lalu, rasanya jadi bersyukur sekali. Hampir saja rumah kami hangus terbakar. Untung penciuman Mutia yang sangat tajam dapat mengendus aroma halus gas bocor dari rumah sebelah, rumah Bu Karso. Kalau tidak...entah, aku tak berani berandai-andai.
Kubuang kotak pizza sisa kemarin lalu bergegas masuk ke rumah. Mutia sudah meletakkan buah potong di atas meja teras. Kulihat sekilas, ojek online pesanan ponakan Bu Karso sudah tiba. Ia naik dan melempar sedikit senyum tipis ke arahku. Mutia membalas senyumannya dengan anggukan sopan, membuatku menahan tawa.
"Kenapa?" Mutia mempertanyakan tawaku yang tertahan.
"Ngga," kuambil sepotong mangga yang langsung digilas barisan gigi.
"Kok ketawanya gitu amat, sih?" Mutia tak terima jawabanku.
"Itu tadi," kutelan sisa potongan mangga di mulut, "kirain dia senyum sama aku, ngga tahunya senyum sama kamu."
"Ih, dasar cowok ganjen," Mutia mendorong lenganku manja, "udah mo jadi bapak juga, blom sadar!"
"Eh, aku mo jadi bapak, ya," kualihkan perhatian pada perut Mutia yang masih rata, "kamu kapan gedenya? Udah ngga sabar, nih liat Mamamu jadi gendut."
"Ih, apaan, sih," Mutia pura-pura menepis tanganku dari perutnya. Bibirnya yang berakting merengut terlihat lucu menggemaskan. Kutawarkan sepotong mangga ke depan bibirnya agar membuka. Dia menurut dan potongan mangga pun beralih masuk mulutnya.
"Eh, coba tanyain ponakannya Bu Karso, deh," Mutia seperti mendapat ide baru begitu selesai menelan sepotong mangga.
"Nanyain apa?" aku mengambil potongan berikutnya.
"Mala."
"Mala?" siapa, ya?
"Mala, Sayang. Yang semalem kita omongin," ekspresi Mutia antara gemas dan tak percaya.
"Oh, Mala," mungkin semalam aku mendengar ceritanya antara tidur dan terjaga. Rasanya aku tak begitu ingat tentang Mala ini. "Kenapa emangnya?"
Mutia menatapku sambil menggeleng samar, "Ponakannya Bu Karso, kan kerja di Gerai Pizza."
"Kok tahu?" aku masih sibuk menghabisi potongan mangga di piring. Mangga madu memang ngga ngebosenin manisnya. Bikin pengen dan pengen lagi.
"Liat seragamnya, dong Sayang. Masa kamu ngga liat, sih?"
Aku jadi berhenti mengunyah dan diam sebentar. Berusaha mengingat-ingat pakaian yang dipakai ponakannya Bu Karso. "Ngga inget," aku menyerah.
"Haduh, susah punya suami ga perhatian," Mutia mengelus keningnya.
Aku tertawa, "Aku kan perhatiannya cuma sama kamu seorang."
"O, yeaah?" Mutia menggamit lenganku, "coba, hari ini hari apa?"
Hwaduh? Perasaan masih Bulan Juni, anniversary Bulan Agustus. Ulangtahun Mutia Bulan Februari. Trus hari apa? Ada hari besar apa Bulan Juni?
"Tuh, kan ngga tahu," Mutia tertawa melihat kebingunganku.
Aku masih diam, tak mau ambil risiko salah menjawab.
"Hari Jum'at, Sayang," dia makin keras meledekku dengan tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Hati, 1 Kata: Cinta
RomansaBagus tak pernah berpikir untuk selingkuh, apalagi sampai melakukannya. Tapi semua orang mengatakan dia selingkuh. Beserta bukti-bukti yang Bagus sendiri tak tahu datangnya darimana...