8

39 6 0
                                    

Lupakan masalah dan luangkan waktu untuk menikmati hidup. Inilah sensasi baru.


Entah sejak kapan aku merasakan sakit sesakit ini? Sahabatku yang sudah lama mengenalku kini dia menjauh. Sepanjang jalan aku melangkahkan kaki dengan setengah niat, menatap jalanan dengan pandangan yang entah fokus kemana.

Aku membuka hp sekedar untuk menghubungi Yoseph namun niat itu aku urungkan. Aku takut jika pesanku tidak lagi diterima. Entah mengapa air mata ini kembali terjatuh, begitu sangat mendesak memaksa untuk keluar. Aku segera menghapus air mataku, aku tidak boleh cengeng dan lemah.

Seruan adzan berkumandang sangat merdu bahkan sangat menenangkan. Aku mencari Masjid terdekat dan ternyata masjid itu hanya berkisar 100 M dari tempatku berdiri. Aku melaksanakan shalat maghrib disana untuk menunaikan ibadah sekaligus mengadu tentang sakit yang kurasakan. Karena tempat terbaik untuk mengadu hanyalah kepada Allah.

Setelah selesai, aku meletakan kembali mukena yang kupakai di lemari. Kupakai kembali gelang pemberian dari seseorang yang sampai sekarang aku tidak memahaminya.

Saat aku ingin mengambil sepatuku aku kaget ada seorang pria yang sedang duduk disana. Aku tidak menggubrisnya, aku tetap melangkahkan kakiku dan akupun tidak melihatnya sama sekali. Hingga aku tersadar dia menyapaku dengan senyumnya.

"Hei kamu belum pulang? Ini jam berapa? Bukannya jadwal kuliahmu hanya sampai jam 4 sore? Kenapa masih keluyuran?".

Aku kaget saat mendengar suara itu dan aku langsung gugup saat aku tahu pria itu adalah dosenku pak Azhar.

"Hehe maaf pak saya tidak menyapa, tadi soalnya saya kira bapak bukan pak Azhar. Dan mm anu pak ada urusan sebentar" aku tersenyum kikuk.

"Orangtuamu sudah tahu belum?" Dia menatapku dengan tatapan khawatir.

Jangan biarkan tatapan itu aku lihat lebih lama, karena jika aku lihat hanya akan membuatku sakit. Tatapan khawatir itu sama persis dengan tatapan ayahku dulu saat aku masih kecil.

Aku menunduk menenggelamkan kebenaran apa yang ku sembunyikan "apa yang harus kuberitahu? Aku terluka? Aku sakit? Atau aku baik-baik saja? Aku bingung".

Kudengar dia menghela nafas panjang kemudian dia tersenyum.

"kabari apapun yang ingin kau kabari sebelum kamu kesulitan mengabari orang yang kamu sayangi dan sebelum kamu tidak bisa melihatnya lagi. Saat kamu tidak bisa lagi melihat mereka, percayalah akan ada banyak yang ingin kamu ceritakan".

Aku melihat raut mukanya yang menampakan senyuman penyesalan. Dan dia nampak sekali bahwa tegarnya hanya untuk menguatkan hatinya yang rapuh.

Aku diam tidak meresponnya karena yang kufikirkan adalah diamku lebih baik daripada harus berkata yang tidak bermakna.

"Jangan memberikan tatapan iba pada saya, saya benci tatapan itu" dia tersenyum mengunci mataku.

Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku ke arah lain "maaf pak. Dan kenapa bapak masih ada disini?".

Dia bangkit kemudian disusul olehku, tangannya saling memegang dan sesekali mengusap-usap kedua tangannya karena dinginnya malam.

"Kebetulan tempat tinggal saya disekitar ini".

Aku membulatkan mataku "ohhh begitu ya".

Dia mengangkat satu alisnya dan tersenyum ramah kepadaku "mm maaf kalo boleh saya tahu nama kamu siapa? Soalnya saya sering lihat kamu tapi gatau nama kamu".

Aku tersenyum mendengar pak Azhar "nama saya Humai Asyifa pak".

"Humai Asyifa, nama yang bagus" dia mengeja namaku dengan mengangguk-anggukan kepalanya.

Don't Remember MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang