Bertemu denganmu tidak kurencanakan, namun pertemuanku denganmu sudah terjadwalkan olehNYA.
Sepatu kita bertemu lagi ternyata" katanya.
Deg..
Deg..
Deg..
Siapa dia? Sepatu? Aku tidak paham. Aku menoleh ke belakang, sumber suara.
Dan ternyata..
Namun aku terkejut saat yang kutemui adalah pak Azhar. Aku berfikir sejenak, kenapa aku tidak mengenali sepatunya. Ahh mana mungkin aku mengenalinya? Yang memakai sepatu boot hitam itukan banyak. Setelah aku mendelik sepatuku, ternyata memang benar. Sepatuku sama seperti kali pertama bertemu dengan sepatunya. Di masjid. Lucu memang.
Pak Azhar duduk ditepi masjid untuk memakai sepatunya, kini ia tersenyum kepadaku. Kubalas senyumnya dengan senyum kikuk.
"Mari pak saya duluan" ucapku setelah selesai mengenakan sepatuku.
"Lagi-lagi gelang ini saya ambil" suaranya seperti sedang meledekku.
Aku memutar tubuhku untuk mengambil gelang yang tidak sengaja tertinggal. Aih cerobohnya aku. Aku memutar bola mataku kemudian mendengus nafas gusar.
"Hehe makasih pak" setelahnya aku pergi.
"Lain kali hati-hati. Kasian kan terlupakan terus ditinggal pula" katanya.
Dia ini siapa? Apa kemampuannya sebagai indigo? Kenapa dia selalu saja tahu? Mungkin yang di katakannya memang benar, gelang ini selalu tertinggal bahkan aku lupa memakainya kembali setelah dilepas. Bukan maksudku tidak menghargai pemberian seseorang namun lupa itu memanglah kelemahanku. Pelupa memanglah kelemahanku, sedangkan kelebihanku adalah mengingatmu. Aneh tapi aku mengalaminya.
"He he he iya pak. Permisi".
Meninggalkan pak Azhar di rumah Allah dengan suara merdunya yang masih terngiang indah di otakku. Seperti tidak ada penolakan untuk tidak mengingatnya melantunkan ayat suci Allah.
Sudah 2 kali ini aku bertemu pak Azhar di masjid dan itu tanpa sepengetahuanku. Tiba-tiba saja kami bertemu.
Aku pergi meninggalkan masjid kampus kemudian langkahku mengarah pada taman kampus dekat lapangan basket. Bukan tanpa sengaja aku duduk disini. Aku disini karena sebelumnya sudah ada janji dengan Lira untuk menunggunya. Dia pergi ke perpustakaan untuk mencari berbagai referensi sks mata kuliah. Tadinya aku menolak ajakan Lira untuk pergi, namun setelah ku fikir-fikir pergi dengan Lira cukup menarik untukku. Aku membereskan semua buku yang berserakan di meja kemudian pergi keluar mengejar Lira. Beruntung Lira masih belum jauh untuk ku kejar.
***
Aku tidak pulang dulu. Aku pergi bersama Lira ke salah satu pantai di Jakarta. Aku bersyukur atas nikmat Tuhan Yang Maha Esa karena di Jakarta masih ada tempat seindah ini. Rasanya aku ingin pindah ke desa. Mungkin disana sangat asri, nyaman dan tidak ada polusi apapun. Itu hanya keinginanku saja.
Dari sekian banyak manusia yang aku lihat. Aku terfokus pada sebuah keluarga dimana hanya ada ibu, ayah dan seorang anak kecil yang sangat bahagia. Aku begitu menikmati pemandangan itu. Rasanya bahagia melihatnya. Tidak sadar dengan apa yang kulihat, Lira menepuk pundakku.
"Lo ngebet ya pengen nikah?" Katanya.
Aku mendengus kesal padanya "apaan, kuliah aja belum selelsai lu udah ngomongin nikah".
"Itu buktinya lu senyum-senyum sendiri melihat mereka".
"Emang gitu ya tanda-tandanya ngebet nikah? Ngaco lu!".
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Remember Me
Spiritualepenantian yang dinanti tumbuh menjadi penantian yang tertinggal. Rasa yang membekas sulit untuk diobati, hingga akhirnya ada sebuah akhir yang menjadi titik akhir. Don't R e m e m b e r Me .