Entah ini senang atau sedih, semuanya tampak begitu serupa.
Satu minggu berlalu setelah perginya Yoseph di kehidupanku membuatku merasa takut untuk berteman. Bukan aku menyamakan semua orang itu sama sepertinya, tapi ini hanya perasaanku saja yang terlalu takut untuk di tinggalkan. Hari-hariku berjalan seperti biasanya, kini aku ikhlas meski tidak seutuhnya. Ikhlas menurut versiku hehe.
Berpijak diatas bumi memanglah uji nyali. Berjalan ramai-ramai hingga akhirnya berjalan sendirian, sepi dan tanpa suara.
"Mai tugas pak Akir udah belum?" Tanya Lira menepuk pundaku dari belakang.
Aku hanya berjalan lurus tidak menghiraukan Lira dan menjawab secuil kata "belum".
"Lah ko belum? Kenapa?"
"Ya karena emang belum ngerjakan Lira".
Lira berhenti mengikuti langkahku sepertinya dia kesal kepadaku "ko kesel ya!".
Aku berbalik badan untuk memastikan Lira sekesal apa kepadaku. Lucu si, tapi ini hiburan receh untukku. Setelah itu aku dan Lira melanjutkan langkah kami ke kelas.
Ponselku bergetar, kulihat nampaknya pesan dari grup mapalaku. Dari Adam rupanya, ia memerintahkan kami untuk kumpul dalam rangka pemantapan acara.
Bandung, akan tiba saatnya aku mengenangmu. Menjadi salah satu dari ribuan ingatan yang harus kuingat. Semoga saat aku dan teman-temanku menginjakan kaki kami, kamupun menyambut kami dengan Bandung yang indah.
Kulihat jam, sepertinya aku tidak telat. Namun, mengapa kantin ini sepi tanpa Adam dan kawan-kawan. Aku paling benci dengan keadaan ini. Dimana aku harus menunggu sesuatu yang harusnya tidak ada kata tunggu. Satu dari mereka akhirnya ada yang datang, meskipun baru satu dan orang itu adalah Amar. Dia duduk kemudian memesan minuman kepada bu rasmi, ibu kantin kampusku.
"Bu jus jeruk satu ya"Bu rasmi menghampiri kami dengan langkah pedagang sejati "ohh siap, dan adek sendiri pesan apa?"
Aku tersenyum "samain aja deh bu".
"Ok siap! Lain kali mas nya jangan lama-lama! kan kasian si adek manis ini harus nunggu".
Aku mengerutkan alisku, heran dengan apa yang dikatakan bu Rasmi tapi tidak dengan Amar yang santai saja. Dia salah paham mengenai kami yang duduk hanya berdua. Jengkel si tapi bukan karena pernyataan bu Rasmi. Melainkan karena mereka korupsi waktu.
"Kira-kira berapa lagi kita harus nunggu?"
Amar tersenyum namun senyumnya aneh. Harusnya dia kesal tapi dia santai-santai saja "gatau gue juga bingung, gakbiasanya mereka korupsi waktu".
Aku mendengus nafasku gusar, ku buka ponsel berharap ada notif dari grup mapala. Dan nyatanya nihil.
"Apa aku balik lagi ya? Soalnya ini juga lagi ngejar deadline"."Santai aja kali Mai, kasian kan si jeruk kalo lo tinggalin".
"Ahh iya jus..".
"Santaiiii....."
Kesel juga si lama-lama liatin Amar yang so asik. Tapi, emang asik sih. Dan dia juga salah satu spesies yang cukup membuatku mual di mapala haha. Tidak banyak bicara, tapi sekalinya bicara dia akan menbuat semua orang tertawa atau paling tidak jangkrik yang renyah lah.
"Ini jusnya, silahkan dinikmati" bu Rasmi menyodorkan 2 jus jeruk dengan gaya centilnya. Dan menurutku bu Rasmi juga termasuk orang yang bisa menyeimbangkan zaman. Maksudku meskipun ia sudah berkepala 6 tapi bahasanya sama seperti kami mahasiswa di kampus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Remember Me
Spiritualpenantian yang dinanti tumbuh menjadi penantian yang tertinggal. Rasa yang membekas sulit untuk diobati, hingga akhirnya ada sebuah akhir yang menjadi titik akhir. Don't R e m e m b e r Me .