Aku ini apa? Tidak lebih dari itu.
Menyedihkan.[Rangga pov]
Rumahku yang jauh dari keramaian hilir-mudik manusia membuatku nyaman berada dirumah ini apalagi ditemani oleh seorang ibu yang selalu menjagaku. Rumahku di Bandung, sejuk, damai, dan menenangkan.Kini aku jauh darinya karena aku harus menjalankan kewajibanku sebagai pengajar di salah satu kampus di Jakarta. Terkadang aku bosan berada disini, rasanya suara jangkrik dan sunyinya malam lebih kurindukan dibandingkan dengan suara bising kendaraan dan ramainya malam di Jakarta.
Ibuku sudah menua dan aku masih belum bisa menjaganya dengan baik. Aku rindu ibu.
Ibuku pernah bilang 'jangan pernah mengkhawatirkan ibu, karena ibu disini baik-baik saja.' Tapi aku rasa ibuku ini sedang berbohong dan sedang menghiburku agar aku tidak cemas.Dan sekarang aku sedang duduk dibalkon menikmati suasana Jakarta dari ketinggian. Aku menetap di apartemen hasil jerih payahku menjadi dosen. Sejenak aku memejamkan mataku. Namun seketika aku dibangunkan oleh suara bel. Aku beranajak keluar dan ternyata sudah ada 2 orang yang mengahadangku tepat di depan pintu apartemenku.
"Hey nak, apa kabar?" Dia tersenyum renyah kepadaku dengan seorang wanita yang ku yakini dia adalah istrinya. Mereka seolah-olah mengenalku namun aku tidak mengenalnya.
Suara bariton yang asing di telingaku, namun aku mencoba tersenyum kepadanya meskipun aku tidak mengenalnya sama sekali. Kemudian keduanya merangkulku secara bergantian aku hanya mengikutinya.
Meskipun aku tidak mengenalnya aku tetap mempersilahkan mereka masuk apartemenku karena rasanya tidak sopan jika membiarkan tamu berbicara diluar dengan posisi berdiri.
"Silahkan pak, bu masuk dulu" ajakku kepadanya. Aku menuntunya masuk apartemenku dan duduk di ruang tamu.Ibu itu mengusap punggungku kemudian mengatakan "kamu sudah besar ya nak, ibumu sering bercerita tentangmu dulu saat kau masih kecil sekali".
Aku hanya tersenyum untuk meresponnya.
"Mungkin nak Rangga bingung dengan kami. Jadi kami berdua ini dulu tetangga ibumu, saat di Bandung. Saat kau masih sangat kecil dan pastinya kamu tidak akan mengingatnya" bapak-bapak itu kemudian angkat bicara dengan terus memberikan senyum ramahnya."Ohh jadi kalian ini teman ibuku hehe maaf sebelumnya saya tidak tahu" aku menjawabnya kembali dengan sedikit malu.
Beliau kemudian memperkenalkan dirinya masing-masing "jadi nak Rangga bisa panggil bapak ini pak Umar dan ibu ini bu Sani ya".
Aku kemudian bersalaman seolah-olah berkenalan dengan teman baru "iya pak Umar.. iya bu Sani".
Setelah beberapa menit berbincang aku sampai melupakan hidangan yang belum terhidangkan saking bingungnya atas kedatangan pak Umar dan bu Sani ini.
"Haduhh maaf pak Umar saya jadi lupa, tunggu sebentar ya? Saya mau ke dapur dulu".
Mereka tersenyum dan menganggukan kepalanya."Ini pak bu silahkan diminum dan dimakan maaf saya cuma seadanya hehe".
"Tidak usah repot-repot begitu nak Rangga". Tutur bu Sani.Aku menyodorkan makanan dan minuman seadanya "tidak apa-apa bu ini tidak merepotkan".
Setelah cukup lama berbincang tiba-tiba mereka terdiam seperti ada yang ingin mereka sampaikan "jadi begini nak Rangga maksud kedatangan kami kesini, kami ingin nak Rangga jadi guru privat anak kami namanya Humai, kebetulan dia juga kuliah ditempat nak Rangga mengajar".
Aku tersenyum kikuk kemudian mengiyakannya. Karena dirasa tidak enak jika harus menolak, itung-itung menjaga silaturahmi saja hehe.
Setelah mereka memintaku untuk menjadi guru privat anaknya, mereka langsung berpamitan kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Remember Me
Duchowepenantian yang dinanti tumbuh menjadi penantian yang tertinggal. Rasa yang membekas sulit untuk diobati, hingga akhirnya ada sebuah akhir yang menjadi titik akhir. Don't R e m e m b e r Me .