Bagaimanapun perasaan tetaplah perasaan. Ia datang tanpa ragu.
Kekhawatiran yang kuwanti-wanti akhirnya terjadi juga. Aku dulu sangat menjaga hatiku untuk seseorang yang tepat, namun setelah kehadirannya kini prinsipku mulai goyah. Aku menyukainya bahkan menginginkannya. Apa ini sebuah kesalahan? Salah memilih rasa, salah mengambil langkah dan salah karena aku menyukainya.
Terkadang aku membenci proses bagaimana aku bisa mencintainya. Aku tersadar aku memanglah salah, salah mendefinisikan cinta. Karena cinta yang sebenarnya hanyalah cinta dari seorang hamba kepada pemilik cintaNya.
Rasanya aku telah gagal, gagal menjaga hati untuk waktu yang dinanti dan untuk orang yang pasti. Dan sekarang dia apa? Dia pergi dan entah pulang kepada siapa. Dan sekarang aku apa? Aku menanti untuk orang yang belum pasti. Aku ingin kita impas, aku menantimu dan kau juga menjemputku. Aku egois? Memang aku ini egois pada harapan. Keegoisanku membuatku lupa bahwa ada skenarioNya dari segala harapan. Menurutku hal yang paling berat adalah ikhlas menerima ketetapanNya.
Disaat aku sedang berbicara pada diriku sendiri, aku tidak mendengar apa yang dosen jelaskan tadi. Kemudian semua sorot mata menatapku saat dosen tersebut memberikan pertanyaan padaku.
'Bagaimana pendapatmu tentang hukum kebenaran di Indonesia?' Sontak aku langsung menjawab secara spontan.
Aku berdiri ' Di Indonesia adu gulat antara kebenaran dan ketidakbenaran selalu menuai konflik yang tak berujung, yang kutahu kebenaran bisa dikalahkan dengan mudah karena uang. Jadi, di Negara tercinta ini, Di Indonesia ini, uang adalah pengendali segalanya. Bisa kalian lihat hukum di Indonesia itu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Yang kaya semakin bersorak yang miskin semakin serak. Menurutku hukum di Indonesia belum benar-benar adil. Sekian terimakasih' .
Entah apa yang kubicarakan tadi itu adalah spontan. Dan aku tidak menyadarinya, semua orang bertepuk tangan dan bersorak ria memujiku.
Dan saat aku melihat dosen yang mengajarku saat ini rasanya terlihat aneh. Maksudku kali pertama aku melihatnya dan ada apa denganku? Aku melewati berapa banyak waktu yang kubuang sia-sia untuk memikirkan sesuatu yang tidak jelas.
Aku tersenyum saat dia memberiku pujian " wahh kamu ini pengamat yang baik. Bagus. Dan saya suka pengamatanmu".
Jujur aku tidak memperhatikannya dan tidak mengenalnya maka dari itu aku hanya tersenyum sebagai respon atas pujiannya.
Dia melirik jam yang dia kenakan di tangannya dan ada sedikit nafas gusar yang dia hembuskan. Sepertinya ia belum puas dengan waktu yang ia habiskan untuk mentransfer ilmunya "baiklah kalau gitu saya keluar karena waktu mengajar saya sudah habis. Dan jangan lupa belajar yang serius karena Indonesia butuh kalian".Setelah dia keluar aku menggeser kursiku untuk mendekati Lira karena kebetulan duduk kami bersisian. Lira melirikku aneh.
"kenapa? ".
Aku melirik sekeliling untuk menghindari tatapan yang mencurigakan.
"Ra lo tau gak tadi namanya siapa?".
Lira menatapku intens dan mengerutkan alisnya "hah siapa yang lo maksud?".
Jujur aku sebal dengan Lira, dia ini tidak bisa diajak kerjasama. Kukira dia paham aku mendekat dan berbicara pelan itu agar tidak ada yang mendengar, dia malah membalas dengan suara yang nyaring. Lihat kan mereka? Seisi kelas jadi fokus melihat kami.
Aku mendengus kesal "hih bisa gak si suara lo di pelankan dikit?".
Lira menutup mulutnya dan membulatkan matanya kemudian dia berbicara sesuai keinginanku.
"Ahhh iya maaf Mai gue gasengaja, emangnya siapa yang lo maksud?".
Aku menjawabnya dengan cepat "dosen tadi".
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Remember Me
Spiritualpenantian yang dinanti tumbuh menjadi penantian yang tertinggal. Rasa yang membekas sulit untuk diobati, hingga akhirnya ada sebuah akhir yang menjadi titik akhir. Don't R e m e m b e r Me .