[Mina] Flowing Through You Are Million of My Crystals

143 17 8
                                    


Dalam pekatnya kegelapan, Mina adalah sebatang pohon meranggas yang rakus. Kendati tidak mampu menumbuhkan daun-daun cinta pada ranting nyawanya, ia terus memanjangkan akar demi memuaskan satu nafsu kebinatangan. Siapa menyangka, wajah bujur telur berhias sepasang obsidian berbinar, hidung mancung, dan bibir merah ranum itu menjadi umpan untuk memenuhi sebuah kolam besar dengan darah manusia? Bahkan, jika kerongkongannya sedang kering sekali, Mina tak ragu menyelami wadah raksasa berbau anyir tersebut, tetapi semenjak menambahkan sejumlah darah yang 'salah', ia jarang berenang lagi di dalam sana.

Langsung menggigit memang lebih nikmat.

"Menungguku?"

Sialan benar laki-laki ini, batin Mina, walaupun rasa haus segera mendorongnya menerkam dan menghunjam pembuluh leher tunangannya sendiri. Berbeda dengan korban Mina yang lain, Darah Racun tergelak penuh kemenangan di bawah geliat gelisah si empunya taring. Ia menyukai bagaimana perempuan yang dulu nyaris membunuhnya kini ketagihan akan sari kehidupannya. Sering Mina mendapati diri berlumur merah gelap seusai 'minum'; pantulan sosok yang demikian di cermin rias senantiasa membuatnya bergidik.

"Mengapa kau membersihkannya? Aku suka kau tercium persis darahku."

"Berisik. Kalau tidak karena kecanduan ini, aku bakal membunuhmu untuk kali kedua," balas Mina tajam. Ia pastikan seluruh jejak merah dari Darah Racun lenyap terguyur air sebelum menyiramkan sejumlah besar rendaman lavender ke kulitnya. Wangi menyejukkan ini memanjakan hidung pria di balik tirai mandi—yang lantas bersiul.

"Aku heran, bagaimana kau bisa tidak jatuh cinta padaku? Semua wanita menggilaiku, tetapi kau—yang paling luar biasa dari mereka semua—malah tidak sedikit pun berpaling. Aku sangat menginginkanmu, lho, Cantik."

"Dasar murahan."

Selang beberapa pujian genit kemudian, Mina selesai mandi, tetapi teman sekamarnya telah jatuh tertidur, masih dengan kemeja tak terkancing dan noda amis meliuk-liuk sampai bahu. Berantakan sekali! Segera Mina menarik selimut bulu di kaki Darah Racun, lalu menuruni anak tangga menuju ruang tengah, rebah di sofa. Sungguh rendah manusia bila terpikat hanya oleh gelapnya manik hitam itu, atau bibirnya yang menjinakkan, atau cengkeramannya yang posesif pada pinggang-pinggang ramping mereka, jika kenyataannya pria itu begini kacau.

Huh, gila.

Terlahir tanpa sentuhan kasih, tumbuh dewasa tanpa diacuhkan, dan hidup sebatang kara selama berabad-abad membekukan hati Mina. Afeksi yang ia tunjukkan pada para korbannya laksana sekerat daging pada perangkap hewan: sekadar penjebak, sangat dangkal. Oleh karena itu, cinta merupakan hal yang sulit ia resapi, meskipun puja-puji Darah Racun yang ditujukan hanya untuknya dapat membuat perempuan lain mabuk kepayang. O, siapa pun bisa berlatih merangkai kata-kata memanjakan, bukan? Yang istimewa jika ada ketulusan di baliknya; tentu Mina tak pernah menemukan yang demikian.

Keesokan pagi, Mina terjaga di atas tempat tidurnya yang sudah bersih dari jejak-jejak Darah Racun.

"Aku tak mengerti apa asyiknya bersih-bersih, tetapi kulakukan karena kau suka segalanya berkilau seperti baru. Ya sudah." Darah Racun menjelaskan dengan tumpul, tangan kanannya terlipat di belakang kepala selagi yang kiri membalik halaman 'Flower of Evil' karya Baudelaire. Hei, pria semrawut itu membereskan semuanya?

Tunggu.

"Mengapa kau membaca bukuku?"

"Buat meredam haus. Kau mau kugigit saat tidur?"

"Tidak, lah!"

"Nah, makanya," Darah Racun menyisihkan salah satu bunga rampai koleksi Mina itu, lantas menggerakkan telunjuknya nakal, "berhubung kau sudah bangun, ayo, sini."

'Menjengkelkan' memang nama tengah Darah Racun, tetapi Mina luluh oleh usahanya beradaptasi dan—untuk pertama kali—rela dihisap lumayan banyak. Taring Darah Racun tak pernah tak melukai, lucunya belakangan ia belajar menghapus nyeri yang ditinggalkan menggunakan kecupan, sebuah sentuhan hati-hati yang rasanya muskil ia tanam pada kulit satin wanita. Jujur, seiring waktu, Mina mulai mendamba setiap kontak, sampai-sampai rambut lurusnya dipangkas sebatas tengkuk agar si perayu bebas menjamah lehernya. Gengsi melarangnya mengaku, apalagi Darah Racun bukan tipe pangeran idamannya, sayang upaya pendekatan yang gencar berangsur merobohkan pertahanan dan kondisi kecanduan ini lama-lama berubah menyenangkan.

"'Seseorang harus mabuk. Dengan apa? Dengan anggur, puisi, maupun kebajikan sesuai kemauanmu, tetapi mabuklah.' Aku memilih mabuk karenamu, kalau begitu."

Mina yang dulu jelas akan menganggap Darah Racun menyalahgunakan kutipan dari kitab syairnya ...

"'Hatiku tiada; makhluk buas telah melahapnya.'"

... tetapi ia kini mampu mengulas selengkung pemikat ketika menimpali nukilan favoritnya. Darah Racun tak tahan; rengkuhannya menutup lapang pandang si perempuan dan membuat ranting-ranting gundul di sekeliling merunduk malu. Terbiasa dikepung sepi, Mina diam-diam menyesali masa silam usai mencicipi panasnya asmara. Mengapa sangat terlambat, herannya di sela mencumbu mesra Darah Racun, yakin kebersamaan mereka akan berdamping keabadian. Benang rapuh saliva terulur saat mereka memutus keintiman dan tak seperti biasa, si pria menyeka lembut sisa-sisa kenikmatannya dari bibir Mina.

"Padahal katamu, pesonaku makin memancar setelah kau menodaiku." Jahil Mina mengedip, meloloskan erangan frustrasi Darah Racun.

"Percayalah, bibir basah dapat merangsangku melumatnya lebih lama—dan kau tak akan kuat menahan napas hingga aku selesai."

Astaga, kalimat begini saja sanggup mengaduk Mina dalam geli, rasa diinginkan, sekaligus hasrat yang membakar. Pantas Darah Racun dulunya menggenggam puluhan jiwa sebab ia tidak pernah mengetuk pintu; ia mendobrak, jadi si pemilik hati tak kuasa melawan. Bagai keajaiban, sudut pandang Mina berubah 180 derajat; apa yang semula dianggapnya menjijikkan dari Darah Racun sekarang mengalir bersama tiap denyut nadinya.

Itulah mengapa sekian pasang kaki beralas tumit tinggi terangkat sepuluh depa dari ubin ruang pesta yang Mina hadiri. Bencana; Darah Racun berniat mengenalkan pasangan terbarunya pada khalayak ramai, tetapi tanpa tahu diri, beberapa jalang dengan riasan tebal tergoda oleh aroma maskulinnya dan mengajaknya ke lantai dansa. Tak tahukah mereka siapa sejatinya yang berhak menggamit lengan kokoh itu?

"Mina," bisik Darah Racun, "terima kasih untuk kecemburuanmu, tetapi bisakah kau turunkan mereka?"

Serta-merta, Mina membebaskan darah perempuan-perempuan tadi dari kendali kekuatannya, mengempaskan mereka semua ke lantai dengan keras, pastinya meremukkan beberapa tulang. Suasana gempita mendadak tertelan kecemasan, tetapi Mina tidak peduli.

"Aku ingin pulang," mohonnya, membenamkan wajah ke dekapan Darah Racun. "Aku tidak mau membagimu seperti ini lagi."

Kekeh Darah Racun terselip di belantara harum surai Mina. Sejenak kemudian, ia berbalik dan membawa sang belahan jiwa bersamanya, mengabaikan raga-raga terluka di tengah ruangan.

"Baiklah, kita pulang. Sebagai permintaan maafku, teguk aku sepuasmu."     

---

darah racunnya siapa hayo ^^ bisa nebak?

Deep Slumber ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang