[Rosé] I'd Died, but I Opened My Eyes

140 17 0
                                    

Dalam pekatnya kegelapan, nyawa Rosé dibelenggu napas yang tinggal setengah. Ia tergugu, memohon pada tangan-tangan tak kasatmata untuk membiarkannya mencapai kehidupan sekali lagi. Pada pertempuran terakhir, pedang musuh berhasil menembus jantungnya, memeras darahnya, tetapi gadis berkepang itu dapat memastikan bahwa pedang yang sama tidak melukai Putra Mahkota. Apalah makna Rosé jika pengorbanannya tetap berujung kematian sang pewaris takhta?

Sayang, perang belum berakhir. Putra Mahkota belum menduduki singgasananya sebagai raja baru. Mata pedang suci si pangeran sulung belum menebas kepala tiran yang dengan barbar menaklukkan negerinya serta menghabisi raja terdahulu. Bukankah Rosé sudah berjanji pada ayahnya untuk melayani keluarga kerajaan bila ia diperbolehkan berlatih pedang? Tak peduli betapa kekanakan dan gegabah ucapannya saat itu, sang dara tidak ingin melanggar sumpahnya sendiri. Ia harus termasuk dalam jajaran kesatria yang berdiri tegap saat Putra Mahkota dilantik nanti!

"Bersediakah kau menukar kematianmu dengan satu kesempatan membantu putra raja?"

Entah siapa yang berbisik itu, apa pula arti di balik kata-kata samar ini, Rosé tidak mau tahu. Seseorang menawarkannya peluang untuk meraih Putra Mahkota lagi; mengapa ia harus menolak?

"Bersedia! Tolong, hidupkan aku kembali! Izinkan aku membantu Putra Mahkota merebut kerajaan!"

"Kau siap untuk segala akibatnya?"

Rosé gusar mengiyakan, putus asa pada ketidakberdayaannya di alam antara ini hingga hampir gila. Andai ia bangun, ia bertekad tak akan mengulang kesalahan yang membuatnya mati konyol dua kali. Performanya baik di medan perang, layak mendapat pujian Putra Mahkota, tetapi sore itu, ia dilengahkan angin debu sejenak dan sang pangeran nyaris tertusuk karena itu. Untung hanya nyaris sebab si gadis segera pasang badan, tak gentar demi seseorang yang dikasihinya.

Sedikit demi sedikit, keremangan cahaya Bulan dan embusan angin malam berbau amis menyapa indra Rosé. Dadanya seakan ditindih, susah betul menghela satu napas saja, tetapi lambat laun, ia mampu mengatur kembang kempis parunya. Setelah cukup kuat untuk melihat sekeliling, pahamlah sang prajurit bahwa ia berada di tengah sekian puluh—atau bahkan ratus—anggota pasukannya, senjata mereka tersilang di atas tubuh masing-masing (termasuk tubuhnya) sebagai penghormatan terakhir. Beberapa gelintir prajurit yang masih hidup tengah berjuang mengubur yang gugur dengan peralatan seadanya ketika Rosé bangkit perlahan, mengejutkan mereka.

"Rosé?! Kau masih hidup?!"

"Bawa dia ke tenda pengobatan segera!"

"Sampaikan pada Yang Mulia, Rosé masih hidup!"

Rosé pasrah manakala raganya yang jauh lebih ringan dari seluruh tentara loyalis Putra Mahkota itu dibopong pergi dari lautan mayat. Prajurit-prajurit tadi sesungguhnya adalah teman-teman mendiang ayahnya—sang panglima tidak suka menyebut mereka bawahan sebab 'pemimpin tidak harus selalu berdiri lebih tinggi'—maka jelas mereka gembira mengetahui 'keponakan' mereka selamat dari serangan sengit musuh. Begini saja, Rosé telah menganggap kehidupan keduanya mampu memantik harapan baru bagi pasukan Putra Mahkota, mengulas sebuah senyum tipis di bibirnya yang pecah-pecah dan berdarah.

"Yang Mulia akan mengunjungimu sebentar lagi." Tabib istana membalut luka Rosé dengan hati-hati. "Mukjizat, Anakku, bagaimana kau bisa bertahan dari serangan fatal ini?"

"Aku pun tidak mengerti. Ada suara-suara yang menggangguku, lalu aku menarik napas dan ... tiba-tiba bangun?" Rosé menggeleng. "Tidak penting lah. Yang Mulia baik-baik saja, kan?"

"Cukup baik. Ia sedang berdiskusi dengan para panglima mengenai strategi musuh yang diberitahukan mata-mata kita ketika diberitahu tentangmu. Aku tak pernah melihatnya membelalak selebar itu."

"Benarkah?" Hebat, wajah Rosé masih bisa bersemu malu. Ia kira darahnya terlanjur banyak terbuang ... tetapi tunggu.

"Dia tidak menangis atau apa, begitu? Aku 'tewas' di hadapannya, lho. Dia langsung merencanakan penyerangan berikutnya?"

"O, Yang Mulia harus bekerja ekstra keras untuk mengambil haknya atas gelar raja, Nak."

Rosé berupaya untuk tidak kecewa. Dahulu, mendiang ayahnya melarikan si pangeran cilik yang ditawan tiran ke rumah mereka. Berhubung sebaya, mereka cepat berkawan, menyelami seluk-beluk satu sama lain, dan Rosé bahkan rela mendampingi Putra Mahkota dari sejak menghimpun pasukan diam-diam hingga menyatakan perang terbuka seperti ini. Bukankah sedikit sekali wanita yang bernyali mengenakan baju zirah atas nama persahabatan dan cinta? Kendati demikian, sebagai perempuan jelata, Rosé tidak pernah berangan tinggi, membatasi perasaannya sesuai hukum tak tertulis bagi seorang pengabdi, seistimewa apa pun ikatannya dengan Putra Mahkota.

Malam semakin larut, tetapi di pembaringannya, Rosé enggan memejam. Putra Mahkota belum menjenguknya, sehingga ia takut terlelap dan melewatkan pertemuannya dengan sang pangeran, tetapi kantuk sungguh bandel menyerang. Helai-helai rambut kesatria itu mulai melekati wajah bujur telurnya, tidak lagi teratur karena ia beberapa kali mengubah posisi tidurnya agar tetap terjaga. Hampir saja kelopak matanya menyerah tatkala dari belakang punggungnya, terdengar bunyi terpal disibak.

Di ambang tenda, berdirilah sosok jangkung Putra Mahkota seorang diri. Pertarungan demi pertarungan tidak lantas membakar kulitnya yang sepucat purnama maupun mengikis keteduhan tatapannya, tetapi hari ini, ia tampak amat letih. Rosé jadi agak menyesal sudah mengharapkan kedatangan pria itu begitu sadar betapa sang pangeran membutuhkan rehat. Meski demikian, si gadis masih gemetar saat telapak tangannya dikecup lembut dan lama oleh bibir yang ia rindukan.

"Puji Tuhan, Rosé," ucap Putra Mahkota, beriring desah sarat syukur dan pelupuk mata tergenang. "Kupikir aku akan kehilanganmu selamanya."

Rosé tersenyum tipis, menahan tangis yang mengancam turun ke pipinya.

"Saya kembali untuk menunaikan kewajiban pada Yang Mulia."

"Tolong jangan berkata seperti itu," sahut Putra Mahkota, menyisihkan rambut-rambut liar yang menempel ke wajah Rosé. "Kehadiranmu bagiku lebih dari sekadar tugas dan janji."

Sampai di situ, kalimat Putra Mahkota berhenti dan Rosé tidak ingin menerjemahkannya secara berlebihan. Bahkan ketika pewaris takhta sah menatapnya haru lantaran menemukan rasa aman dari gempuran senjata di sepasang maniknya, gadis itu tidak terburu berpikir cinta. Abdi tak mengharap balas budi; kisah kasih Rosé untuk seterusnya adalah kisah kasih searah yang indah.

Usai satu perbincangan bertopik acak untuk melepas penat, Putra Mahkota jatuh tertidur dalam tenda Rosé. Dara pengagum sang pangeran kemudian merenungkan sedahsyat apa rintangan yang meniruskan pipi itu, juga mengukir parut di kulit halus itu. Tak disangka, pedih mampu memaksa beludru jadi lempengan baja. Rosé mengulurkan telapak tangan buat menghapus jalur basah di wajah Putra Mahkota, tetapi alangkah mengejutkan: sebelah dalam pergelangan tangannya telah menghitam dan keriput ... seperti orang mati.

Konsekuensi menghindari maut adalah pewaktu yang terus menghitung mundur. Seketika Rosé sadar bahwa impiannya—mengantarkan Putra Mahkota ke singgasana—dibingkai keterbatasan masa yang tak boleh disia-siakan.

***

marking my official comeback in wattpad pasca ujian ~~ kira2 putra mahkotanya siapa ya?

Deep Slumber ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang