Dalam pekatnya kegelapan, nyawa Cha Eunwoo berayun di antara suara lirih yang memintanya bangun dan rasa nyeri yang menusuk perut.
"Yang Mulia, kumohon .... Tinggal selangkah lagi menuju takhtamu, kumohon sadarlah ...."
Perempuan yang enggan melepaskan Cha Eunwoo ini sudah pasti pengawalnya yang setia, Kesatria Tembaga. Sosoknya yang lebih mungil namun tangguh dalam balutan baju zirah dan menyandang pedang bersarung di pinggang tak akan bisa sang pewaris takhta lupakan. Ia kesatria paling cantik dalam pasukan, paling terpercaya, dan paling loyal, mengingat ia bangkit dari kematian hanya untuk membersihkan jalan Cha Eunwoo menuju singgasana. Kisahnya lolos dari maut dan cinta yang makin berakar antara mereka merupakan keajaiban, tetapi kesempurnaan cerita mereka ternyata memiliki akhir.
Cha Eunwoo pikir mustahil kekasihnya menghindari ajal sebegitu mudahnya dengan luka tusuk yang amat besar dari lawan. Ia benar; gadis bersurai tembaga itu suatu hari muncul di depan tendanya dengan lengan kanan yang menghijau mengerikan. Air mata sang kesatria pun tumpahlah saat menuturkan bagaimana sebuah bisikan tak dikenal menawarinya untuk kehidupan kedua ketika ia sedang sekarat. Rupanya, kehidupan kedua ini memiliki batas yang ditandai dengan rusaknya kulit si ahli pedang, tetapi perempuan itu tak bisa menyerah sekarang. Bukankah alasan kehidupan kedua ini ada semata untuk mengantarkan putra mahkota sah Kerajaan pada haknya yang dirampas seorang tiran? Demi tujuan itu pula, Cha Eunwoo rela membantai demi takhta; ia tak ingin rasa sakit yang makin menggerogoti tubuh Kesatria Tembaga--juga pengorbanan lain yang sepadan oleh para pendukungnya--sia-sia.
Tinggal sedikit lagi, benar. Cha Eunwoo ingat sudah hampir menghunjamkan pedangnya pada raja tiran yang menjajah negerinya, lantas apa yang terjadi?
Apakah aku ... tertusuk?
Ketika membuka mata, Cha Eunwoo menemukan dirinya terkapar di atas tikar panjang yang melapisi lantai balairung istananya--dulu. Pandangannya yang kabur menyaksikan bagaimana kesatria berkepang merah, pujaan hatinya yang jelita, menyerang dengan membabi buta musuh mereka. Tak hanya mengayunkan pedang, gadis itu menyuarakan dengan parau amarahnya pada si raja tiran.
"Mengapa kau membunuh pangeran kami?! Kau lebih pantas mati! Mati! Iblis sepertimu harus terbakar di neraka! Terbakarlah seribu kali dan rasakan kepedihan kami yang kaujajah!"
Namun, raja tiran--yang terluka sama berat dengan Cha Eunwoo--hanya tersenyum. Serangan membabi buta membuat perwira terhebat sekalipun tampak seperti anak-anak yang konyol. Sekali tepis, senjata Kesatria Tembaga melayang, menancap di sebelah kakinya yang busuk separuh. Gadis malang itu terkapar dengan tangis membasahi wajah, sementara raja tiran menghunus pedangnya.
"Kau yang membuat perjanjian dengan Iblis. Kau saja yang terbakar!"
Tidak, tidak lagi. Tugas Kesatria Tembaga memang melindungi pewaris takhta, tetapi bagi Cha Eunwoo, perempuan ini dan dirinya tak hanya terikat tugas, melainkan juga persahabatan dan kasih sayang. Cukup sekali melihat Kesatria Tembaga tertembus pedang saat melindunginya dulu itu; sekarang harus ia yang bangkit untuk melindungi sang prajurit.
Keinginan kuat dapat menyeberangi garis batas rasio. Dalam keadaan kehabisan darah dari luka di perutnya, Cha Eunwoo mestinya tidak sanggup berdiri lagi, tetapi lihatlah, ia terhuyung di atas kakinya dengan sisa tenaga yang ada dan menerjang pria tua yang nyaris menghabisi kekasihnya. Kedua pedang buatan pandai besi raja beradu kembali; tangan para pemegangnya sama-sama gemetar tatkala menahan serangan satu sama lain.
"Sialan, masih hidup saja kau," kekeh sang tiran. Ia mendadak mengangkat pedangnya sebagai usaha terakhir untuk melayangkan serangan telak. Mengantisipasi hal ini, Cha Eunwoo menarik Kesatria Tembaga ke sisi, menghindari amukan senjata lawan. Takdir memihak sang putra mahkota; pedang raja tiran tertancap pada celah lantai dan butuh waktu agak lama untuk mencabutnya. Pada waktu yang sempit itu, Cha Eunwoo yang sekali lagi berada di titik nadir menebas kepala musuhnya, menyudahi perjuangan sepuluh tahun dengan kotornya darah.
"Yang Mulia ...."
Cha Eunwoo memusatkan pandangannya pada si pemanggil yang kini bersimpuh di sebelah raga berdarahnya, tetapi membuka mata saja terasa sulit sekali.
"Di mana kau?"
"Di sini." Perlahan, telapak Cha Eunwoo diangkat, lalu ditempelkan ke pipi sehalus beledu, padahal kemarin, pipi itu masih berlendir akibat pembusukan. "Terima kasih telah bertarung sampai akhir, Yang Mulia. Utang saya kini telah lunas ...."
"Tidak. Tolong jangan pergi." Belum lupa Cha Eunwoo akan 'kehidupan kedua' Kesatria Tembaga yang hanya bisa ditebus dengan naiknya ia ke singgasana. Berhubung sekarang raja tiran telah tamat, ia akan mengembalikan dinastinya ... tetapi sanggupkah ia bertahan? Darahnya yang menganak sungai seakan memutus harapan untuk itu.
Biarpun samar, cahaya yang memancar redup dari Kesatria Tembaga tertangkap manik gelap Cha Eunwoo bagai ribuan kunang-kunang. Apa ini?
"Ini adalah salam dan penghormatan terakhir saya," bisik Kesatria Tembaga sengau, menyampaikan perpisahan yang menyesakkan Cha Eunwoo. Sekian puluh tahun hidup bersama gadis itu, haruskah diakhiri seperti ini? Ia bahkan tidak dapat menatap wajah Kesatria Tembaga untuk yang penghabisan!
Sayang sekali, kehendak alam tidak menyediakan keajaiban lain untuk Cha Eunwoo. Sang pangeran menelusuri sisi wajah Kesatria Tembaga, menyimpan reliefnya dalam ingatan karena ia tahu, setelah ini mereka tidak memiliki kesempatan lagi. Bersama embusan napasnya, Cha Eunwoo menggumamkan nama kecil sang pendekar dan tersenyum.
"Andai ragamu tidak bisa tinggal lebih lama ... tolong abadikan dirimu dalam jiwaku."
Dapat Cha Eunwoo rasakan Kesatria Tembaga mengangguk. Kecupan bibir itu pada telapaknya pun terasa sangat nyata. Jika saja gadis berkepang itu bisa ia jadikan permaisurinya, mereka dapat melanjutkan perjuangan bersama ....
"Memimpinlah dengan ketulusanmu yang sekarang, Cha Eunwoo." Begitu namanya disebut tanpa gelar--panggilan yang paling disukainya--telapak sang putra mahkota jatuh ke lantai sebab tangan yang menggenggamnya pudar dalam ketiadaan. "Aku, abdimu, sahabatmu, kekasihmu yang setia, akan selalu mendampingi setiap langkahmu."
***
"Cha Eunwoo, jangan takut! Pegang tanganku, kita bertarung lagi!"
Di bawah altar tempat ia ditahbiskan sebagai raja baru negerinya, Cha Eunwoo sempat kewalahan akibat debaran cemas yang menyertai gelarnya sebagai penguasa. Saat masih remaja dan merintis pasukan militer loyalisnya bersama Kesatria Tembaga, ia pun pernah memiliki kekhawatiran ini. Bagaimana jika orang-orang yang telah memperjuangkannya kecewa pada pemerintahannya setelah ia dimahkotai? Saat itu, ia bahkan belum bisa mengalahkan gadisnya dalam adu pedang dan buta sama sekali soal strategi perang. Namun, Kesatria Tembaga menempanya, semula dengan pukulan-pukulan keras di landasan, lama-lama lembut membentuknya hingga setajam pedang warisan raja terdahulu.
"Hidup Raja Cha Eunwoo! Hidup Kerajaan! Hidup Raja Cha Eunwoo! Hidup Kerajaan!"
Jubah biru tua bersulam benang emas berkibar ketika Cha Eunwoo berdiri tegak di balkon tertinggi istana, secara simbolis mengembalikan kemakmuran dan kemandirian kerajaannya. Terselip bunga mawar merah tembaga pada kait rantai perak yang menyatukan jubah itu di bagian dada. Para prajurit yang menemukan Cha Eunwoo mengatakan mereka melihat bunga itu alih-alih Kesatria Tembaga di atas tubuhnya. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu di mana jasad pendekar jelita itu berada--andai dia benar gugur--tetapi raja muda tahu di mana gadis itu.
Setiap keping ruh Kesatria Tembaga telah melebur ke dalam diri pemimpin baru Kerajaan, menyatukan keteguhannya dengan ketulusan Cha Eunwoo di bawah jubah agung sang raja. []
ini adlh pairing terdekat yg tereveal :p kesatrianya eunwoo siapa ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Slumber ✅
FanfictionDalam pekatnya kegelapan, kamu menemukan fragmen-fragmen perasaan yang terserak. Kisah mereka tidak akan utuh tanpa kamu yang melengkapinya! [Let's play a little game! 28 ficlet dark fantasy featuring 28 97-line idols, 14 couples, 14 different unive...