[Jung Chaeyeon] Why Does My Heart Pound so Fast?

109 6 3
                                    


Dalam pekatnya kegelapan, Chaeyeon baru saja menuntaskan makan besar. Sebuah kapal tenggelam malam ini dan ratusan penumpangnya terombang-ambing dalam kebekuan samudra. Ini berarti pesta bagi taring-taring tajam lautan, baik milik ikan-ikan pemakan daging maupun roh-roh penghukum yang cantik. Para pendosa tidak selamanya 'disucikan' dalam api selama ada monster yang mengantarkan ajal paling menyakitkan di bawah permukaan air. Satu-satunya yang dapat menghalau para pemangsa ini adalah kemurnian hati yang tak dimiliki sebagian besar manusia, maka tentu saja, setiap kecelakaan di laut akan berujung pada bangket berdarah.

Satu kerangka manusia utuh tertarik gravitasi ke dasar begitu Chaeyeon menandaskan kulit dan daging yang melekati. Sebelumnya berwujud seorang wanita muda menawan, sekumpulan tulang itu kini tidak lebih berharga dari korban lain sang roh air. Rasanya pun tak lezat. Mungkinkah kebusukan nurani seseorang dapat merembes ke seluruh raganya hingga demikian menyiksa lidah ketika dilahap? Ada sesuatu yang memantik kebencian Chaeyeon pada mangsa terakhirnya itu, entah apa, dan ia makan semata hanya untuk melampiaskan emosi, bukan untuk menikmati.

Penutup yang menyedihkan.

Bulan akan segera memanggil pasang. Chaeyeon berenang ke titik di mana cahaya purnama tertumpah paling banyak, lalu membiarkan kulitnya berkilau oleh sapaan lentera langit ini. Laut sekarang sudah lebih hening dibandingkan beberapa saat lalu, ketika orang-orang yang tenggelam berteriak meminta tolong atau menjeritkan ketakutan yang penghabisan akibat serangan kaum Chaeyeon. Kawan-kawan sang penghukum juga bergerak menuju bayangan Bulan, mengisi tenaga setelah semalaman mencabik dan mengunyah.

Namun, seseorang rupanya tertinggal. Ia megap-megap tak seberapa jauh dari bayangan Bulan. Lengannya gemetar berpegang pada patahan tiang kapal, berjuang tetap terapung walau uap-uap putih dari bibirnya yang membiru mulai surut. Ia menengadah agar kepalanya tidak terbenam—dan saat itulah, tatapannya bertemu dengan Chaeyeon.

Aneh. Mata yang satu tak fokus, mata yang lain hampa, tetapi mengapa ketika dipertemukan memercikkan getar yang ganjil?

Tak lama kemudian, si laki-laki menyerah. Kelopaknya tertutup, patahan tiang kapal meluncur dari raganya yang berat, kemudian sosoknya tertelan jernih tirta beku. Hatinya yang murni tidak menarik bagi penghukum-penghukum yang bermandi sinar Bulan. Kendati begitu, alih-alih lanjut meresapi ketenangan malam purnama, Chaeyeon mengayunkan ekornya ke arah tubuh yang berangsur menjauh dari permukaan.

Pria itu tewas karena suhu rendah dan paru-paru yang disesaki terlalu banyak larutan garam.

Jangan mati.

Sehari-hari, Chaeyeon menyaksikan manusia meregang nyawa, lantas mengapa ia tidak bisa melepaskan laki-laki janggal yang terakhir tenggelam itu? Tangan dan ekor perenangnya bergerak di luar kemauan. Semula hanya berniat mempelajari lekuk wajah elok pria berhati bersih ini, Chaeyeon berakhir merengkuh raga kosong yang membangkitkan degup rindu.

Seuntai kalung terdesak keluar dari rongga pakaian si laki-laki yang dilonggarkan arus. Pada rantai perak itu, tertaut cincin bermata akuamarin; gemerlapnya menyatu dengan cahaya malam yang dibiaskan melengkung-lengkung oleh laut. Keindahan batu biru ini mengempaskan Chaeyeon begitu keras pada masa lalu yang ia kira akan hilang selamanya di kedalaman palung tempat lahirnya—dan wujud pembunuh berdarah dingin itu diambil alih oleh seorang pecinta yang tercederai tragedi.

Rupanya, takdir tidak menghendaki perpisahan kita.

Di kehidupannya terdahulu, Chaeyeon berjalan di daratan menggunakan sepasang kaki, tetapi ia lalu dikenalkan pada dinamika lautan oleh seorang petualang muda memesona. Bersenjatakan kompas, peta, dan kemampuan membaca angin, pria itu dijuluki Bintang—petunjuk para pelaut—dan menjadi bagian penting pelayaran-pelayaran mengelilingi dunia. Mata Chaeyeon yang sejak kecil dimanja hamparan hijau lambat laun terbiasa oleh birunya perairan sejuta misteri, bahkan kelabu badai sesekali. Kalbu yang rapuh tercerabut, digantikan yang sekokoh tiang kapal demi hari-hari di dek bersama Bintang. Kesetiaan tersebut juga memicu metamorfosis seorang gadis desa biasa menjadi navigator lihai—dan berdua, mereka menuntun para penjelajah menuju pulau-pulau eksotis yang keindahannya belum terjamah.

"Kau penasaran pada siapa aku akan berlabuh selamanya. Nah, izinkan aku menambatkan jangkar sekarang."

Bintang menyematkan cincin akuamarin ke jari manis Chaeyeon di dermaga negeri mereka sebagai tanda pinangan. Gadis itu ingat menanamkan kecupan yang diasinkan air mata ke bibir calon suaminya, dadanya bergemuruh bahagia. Berbinarlah manik hitam si laki-laki, seakan konstelasi pembimbing yang Chaeyeon gauli saban malam berkelip di sana. Detik-detik yang mereka habiskan bersama selanjutnya diisi lebih banyak kasih sayang, membuat iri orang-orang di geladak.

Salah satu kedengkian ini nantinya akan menamatkan Chaeyeon.

Pada pelayaran terakhir menjelang pernikahan, Chaeyeon jatuh sakit. Ruam-ruam menakutkan merusak paras ayunya, merambati tubuh hingga ia terus terjebak di tempat tidur. Ia tidak lagi mendampingi Bintang di ruang nahkoda, pun si pria jarang menengoknya karena penyakit yang dikatakan menular. Kamarnya dipindah ke tingkat terendah, jauh dari awak-awak kapal dan penumpang lain. Orang yang merawatnya satu persatu mulai menunjukkan gejala serupa dalam bentuk lebih ringan, lalu kunjungan ke bilik deritanya lambat laun berkurang. Menanggung lara seorang diri, Chaeyeon dikuatkan oleh memori mesra bersama Bintang yang dikunci dalam cincin akuamarinnya.

"Selamat tinggal. Bintang akan menjadi milikku setelah kau dilempar keluar kapal ini."

Mendekati kematiannya, Chaeyeon dikejutkan oleh pernyataan putri pemilik kapal yang ia sangka berjiwa malaikat. Sudut-sudut bibir merah musuhnya terangkat arogan, membongkar semua tipuan. Perempuan licik itu ingin merebut Bintang, maka ia memasukkan bibit penyakit dalam makanan Chaeyeon untuk mengenyahkan sang pemandu. Ia menghibur Bintang selama calon pengantin wanita menggeliat tersiksa di dasar kapal, lalu setelah Chaeyeon tak lagi berdaya, si ular betina mengungkapkan kekhawatirannya soal sebaran kuman yang mempengaruhi para pelayar lain 'karena sumbernya tidak dibuang'.

Bulan mengguyurkan kemilau pucatnya pada dua sejoli di ambang duka. Bintang membopong Chaeyeon yang nyaris tak dikenalinya lagi; konstelasi musnah dari matanya yang digelantungi kantong gelap tebal. Cincin akuamarin telah dipindahkan dari jari kurus Chaeyeon ke rantai yang menggantungi leher lelaki petualang itu—tentunya setelah dicuci berulang kali.

"Chaeyeon, aku memang laki-laki yang terkutuk."

Demikianlah salam perpisahan mengantarkan Chaeyeon. Badan berlumur nanah meluncur lurus ke laut, tidak untuk dilihat lagi. Bintang berpaling segera setelah menceburkannya, sementara putri pemilik kapal menyeringai menang. Kembali ke masa kini, Chaeyeon menyadari bahwa mangsa terakhirnya adalah perempuan yang menyeringai itu, sedangkan Bintang masih berada dalam pelukannya, lengkap dengan kalung akuamarin lambang janji tak terpenuhi.

Jangan mati.

Chaeyeon berenang ke permukaan, menyeret tubuh sang navigator bersamanya. Mereka timbul di tengah lingkaran terang pantulan Bulan—dan di atas sana, roh penghukum menjelma menjadi dirinya sebelum bereinkarnasi: seorang dara jelita, tanpa nanah dan ruam, mutiara yang diorangkan. Satu tiupan napas Chaeyeon persembahkan pada mantan kekasihnya. Sekali lagi. Sekali lagi.

Bintang tersedak, berdengih meraih kesempatan kedua, meninggalkan alam jenazah. Genangan pada pelupuknya merefleksikan ilusi kabur seorang dewi, tercipta dari purnama dan pasang, memantik cinta yang lama padam. 

---

setelah membaca lagi bbrp fic sblmnya, kok formatnya di bawah2 ada yg berubah ya? .-. spasinya ilang huft. nanti kubenahi lagi deh. btw ada yg tau ini bintangnya siapa ahahahaha. hint: pairingan mbak ini adalah cowok segala umat, semua idol cewek aja kalo dipairing sama dia :p  

Deep Slumber ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang