Dalam pekatnya kegelapan, Roa menumpahkan darah ke ranjang pengantinnya.
"Hapus senyum angkuh itu dari wajahmu, Tuan. Aku sedang memakanmu, tahu."
Usai melayangkan ultimatum, Roa memotong tangan suaminya dalam satu gigitan. Kedua lengan ramping perempuan itu menahan tangan mangsanya yang lain di sisi, sementara tiga pasang lengan tambahan kurus panjang di balik punggungnya mencengkeram erat raga si pria di beberapa bagian berbeda, tak ada celah untuk bergerak. Benang-benang sutra terjalin tak beraturan menyelimuti mereka, tampaknya saja rapuh, tetapi sesungguhnya ampuh untuk menjerat lelaki-lelaki malang yang tak waspada akan identitas makhluk ganas bertangan banyak ini.
Walaupun nyawanya di ujung tanduk, ganjilnya, aristokrat muda rupawan yang jatuh dalam tipuan Roa tetap menyunggingkan senyum, mengusik laba-laba betina penikmat tubuhnya. Ia menjerit, tentu, tetapi justru ketidaklaziman raut sekaratnya yang membalikkan keadaan. Yang tersisa darinya hanya separuh tubuh, lengan kiri, dan kepala; mestinya ketakutan sudah mulai mengambil alih. Apa yang memicu kurva tipis itu untuk tetap mengembang? Di luar kamar ini, Sang Bangsawan bisa menjadi orang yang amat licin dan ada sedikit kecemasan bahwa dalam kondisi ambang pun, ia akan memutar cerita, mengarahkan akhir penuh derita ke sisi istrinya.
"Aku tidak sedang menyombong. Ini adalah senyum kebahagiaan karena sekarang, antara kita tak ada lagi rahasia."
Bodoh benar. Kenyataan yang telanjang tidak sama dengan kemurnian cinta seperti yang Sang Bangsawan impikan. Inilah akibatnya jika sehari-hari seorang pria dewasa hanya memikirkan bagaimana cara mengeruk pundi-pundi orang lain tanpa memiliki cukup pengalaman asmara sebagai hiburan: pandangannya terhadap cinta jadi amat superfisial. Roa adalah titik mula kisah kasih yang selama ini tak diperoleh si lelaki membosankan dari orang tua, rekan kerja, maupun rival bisnisnya, maka segala tentang Roa baginya merupakan kesempurnaan. Ya, itu termasuk bagaimana tiga pasang lengan tambahan si perempuan mencabik daging, bagaimana gigi-gigi runcing itu mengoyak kulit, dan bagaimana kebuasannya yang demikian dapat mewujud dengan memesonanya.
"Kau iblis."
"Maka takutlah padaku."
"Tapi aku lebih merasa tertantang untuk mencintaimu ketimbang mengutukmu, apa itu wajar?"
Sialan. Bisa-bisanya Roa tidak memperoleh sedikit pun esens kengerian dari pria yang tampak jauh lebih tidak matang dari suami-suaminya terdahulu? Apa sebegitu tak berartinya hidup bagi Sang Bangsawan hingga ia—alih-alih memikirkan cara menyelamatkan diri—malah mencari jalan menuju maut? Apakah karena ia kepalang terpikat? Namun, semabuk-mabuknya seorang lelaki, ia pasti akan meronta ingin kabur saat diseret laba-laba janda hitam pada kematian. Mimik putus asa itulah yang menambah selera si pemangsa, tetapi lihatlah, sempat-sempatnya orang ini merayu seekor monster di gerbang akhirat! Ini bukan urusan main-main!
"Kau benar-benar makanan yang alot. Menyesal aku menjeratmu dalam jaringku."
Akhirnya, keretak tengkorak membungkam Sang Bangsawan selamanya dalam tidur panjang. Malam ini, terpaksa si laba-laba melahap kepala lebih dahulu, menyalahi kebiasaan bersantapnya. Tak butuh banyak waktu hingga Roa menyisakan satu tubuh tanpa kepala, lengan, maupun kaki, lalu sang nyonya—yang dalam kurun kurang dari sehari kembali menjanda—duduk diam di pinggir ranjang dengan delapan lengan merah basah terangkat ke udara. Malam pertama yang mengenyangkan sekali lagi terlalui; rahangnya lumayan lelah mengunyah.
"Aku mencintaimu dalam keadaan senang dan sakit, hidup dan mati."
Lucu. Rasanya Roa mendengar suara Sang Bangsawan dari dalam perutnya ... atau dari mana? Sumpah yang ditukar di depan altar, setulus apa pun diikrarkan, harusnya dilupakan sesudah makan.
***
Konon, laba-laba janda hitam melahap pasangannya segera setelah kawin agar keturunannya kelak aman dari si jantan. Roa menolak mitos itu. Dia—pembunuh yang mengincar kekayaan pria-pria perlente—menganggap keberadaan seorang anak hanya akan menghalanginya berhura-hura, jadi semua bayi suci yang masih bau ketuban ini selalu ia telan sendiri sebelum sempat berusia 24 jam. Tanpa adanya pewaris, harta para korban Roa tak akan terbagi, sehingga ia bisa melanjutkan kehidupannya yang mewah tiada tanding.
Namun, entah mengapa, Sang Bangsawan versi mungil yang Roa lahirkan terlihat terlalu berharga untuk mati cepat.
Selama ini, Roa mengira perasaannya pada Sang Bangsawan bagai sejumput merica yang ditabur ke atas daging panggang: sedap, tetapi cepat lenyap, sama dengan yang lain-lain. Rupanya, ada sedikit perbedaan pada diri lelaki dingin tersebut yang mau tidak mau mendorong Roa bersikap 'melenceng' pula. Bagaimana tidak? Demi belajar mengasihi, Sang Bangsawan rela menyisihkan urusan uang sampai-sampai mampu melembutkan auranya, merobohkan benteng antara ia dan hati kecilnya, bahkan menekuni langkah dansa dasar hingga berhasil membuai belahan jiwanya sesuai kekhidmatan tempo waltz. Misi menaklukkan laki-laki ini menjadi lebih riskan; bohong kalau dibilang si laba-laba jelita tidak pernah tergoda untuk tulus menyayangi calon mangsanya. Yang parah, beberapa hari pasca kematian menggegerkan suaminya yang ke-66 itu, terbetik penyesalan dalam batin Roa.
Mengapa aku membunuhnya?
Cermin rias memantulkan raut berduka seorang ibu yang tengah menyusui putra tunggalnya. Roa masih sulit percaya bahwa itu—alih-alih satu dari kebanyakan perempuan yang terkungkung superioritas pasangan—adalah dirinya, si wanita berbahaya. Satu suara dalam kepalanya mencemooh dan bersama terlintasnya ejekan 'lemah' ini, bekas luka yang malang-melintang di punggungnya berdenyut ngilu.
"Siapa yang tega menyakitimu?"
Tuan-tuan tanah berkeriput halus—dari mana Roa biasa mendulang emas—akan marah jika ia tidak tampil menawan, tetapi Sang Bangsawan naik pitam justru gara-gara parut panjang yang tak pernah mereka semua sadari. Keharuan menggeser satu sesi yang mestinya intim; setengah mabuk Roa bertutur soal cemeti dan nyaris seketika, teman tidurnya bersimpati. Malam itu, seminggu sebelum pernikahannya, ia tak keberatan selimut dinaikkan lebih awal demi bisa mencicipi hangatnya mencinta tanpa bercinta. O, andai saja kesempatan itu datang sekali lagi ....
Matahari telah tergelincir di ufuk barat usai bayi Roa tertidur pulas kekenyangan. Sedikit banyak, pangeran kecil di pembaringan mengingatkan ibunya pada sang ayah.
Mengapa dadaku sesak?
Roa menutup wajah putus asa, menolak untuk merasa kehilangan. Seumpama mengupas kacang, apakah kita akan rindu kulitnya setelah isinya meluncur masuk kerongkongan? Sang Bangsawan tak ubahnya kudapan minum teh, paling bagus hanya jadi hidangan utama pada jamuan makan malam ...
... bukan kekasih.
Berdiri di ambang pintu, sejenak Roa mengarahkan lentera lilin ke peraduan anaknya, memastikan si bayi baik-baik, tetapi ia tersentak mendapati bayangan seseorang di jendela yang kelambunya tersibak.
"Dia—"
Lingkaran cahaya lentera bergoyang tak teratur tatkala Roa yang kalut berlari mendekati jendela, sayang pria berpakaian serba hitam dengan rambut diikat yang tadi dilihatnya terlanjur menghilang ke dalam malam. Darah Roa berdesir gelisah; ia mundur beberapa langkah sebelum pergi ke kamarnya sendiri diiringi berbagai tanya.
Sang Bangsawan ... bangkit kembali?
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Slumber ✅
FanfictionDalam pekatnya kegelapan, kamu menemukan fragmen-fragmen perasaan yang terserak. Kisah mereka tidak akan utuh tanpa kamu yang melengkapinya! [Let's play a little game! 28 ficlet dark fantasy featuring 28 97-line idols, 14 couples, 14 different unive...