Dalam pekatnya kegelapan, Mingyu terbuai oleh ketenangan dan riak air. Bagi mata cokelat pria itu, pemandangan malam ini tampak seperti lubang besar—purnama pucat—pada latar hitam—langit—di atas kepala seorang perempuan. Rembulan membuat kecantikan penumpang di sisi lain perahu Mingyu itu tampak misterius, malah sedikit mengerikan, tetapi di saat bersamaan menggembirakan, bak menemukan sepeti harta. Perempuan ini, barangkali, memang sebuah harta yang disembunyikan lautan. Bagaimana tidak? Dikepung perairan bersuhu di bawah nol, dengan tubuh mungil yang hanya dibalut pakaian tipis basah, si wanita menahan raga Mingyu agar tetap mengambang. Kemudian, ia membawa—menyeret—Mingyu ke sebuah sekoci yang mengapung di antara puing-puing kapal. Sekoci itu tidak sempat diturunkan karena kapal keburu tenggelam, tetapi mungkin bobot yang tak seberapa melayangkannya kembali ke permukaan setelah induknya karam.
Suhu rendah mencelupangkatkan kesadaran Mingyu. Ia berjuang tetap terjaga dan mempertahankan badan dalam posisi tegak biarpun udara dingin menerpa. Kontras dengannya yang menggigil dan biru, wanita berkulit seputih mutiara di seberangnya mendayung mantap menjauhi puing-puing.
"Paling cepat, kapal lain akan datang sekitar empat jam. Mereka tentu akan kesulitan mencapai tempat ini karena gunung-gunung es."
Bahkan jika pertolongan akhirnya datang, banyak orang sudah tidak terselamatkan. Bisa jadi, cuma Mingyu dan perempuan ini yang akan ditemukan kapal penolong tersebut.
"Ini mimpi buruk, kan?" tanya Mingyu terbata-bata, padahal ia sekarang berada dalam keadaan setengah bangun. Kapal yang menabrak gunung es dan terbelah dua, tenggelamnya para penumpang, lalu perempuan-perempuan berekor ikan yang mencabik korban-korban di air .... Mingyu mengamati semua dengan pandangan berkabut sebelum ia—lantaran amat kelelahan—melepaskan patahan tiang kapal yang dipeganginya untuk bertahan hidup.
Ah, benar. Kalau Mingyu melepaskan tiang kapal yang mengapung itu, tentu ia akan terbenam dan mati. Berarti, hal ia dan si pendayung berada di sekoci jelas bukan mimpi lagi, mengingat mimpi hanya mendatangi orang hidup. Dalam keadaan apa Mingyu sekarang berada, kalau begitu?
"Dengan sangat menyesal saya katakan, ini kenyataan."
Begitukah? Amat disayangkan. Mingyu ingin bersedih, tetapi hatinya sudah membatu, menyusul kakinya yang mati rasa sejak kepalanya kembali timbul ke permukaan dengan bantuan Mutiara. Kehilangan orang-orang terdekat bisa didukakan nanti; sekarang, prioritas Mingyu hanya bernapas dan menghangatkan diri.
Tapi, bagaimana?
Dingin. Dingin. Dingin. Dingin.
Pita suara Mingyu tidak bergetar. Mulutnya saja terbuka, namun tiada kata. Tangannya kaku memeluk raga. Darahnya beku. Napasnya mengkristal dalam paru-paru. Berada di atas sekoci ternyata tidak sebaik yang ia kira; musim dan samudra masihlah terlampau bengis untuk dihadapi sendiri.
"Buruk sekali udara ini." Mutiara berujar ringan layaknya menghadapi hujan deras musim panas saja. Tanpa melepaskan dayung, raganya condong ke depan—dan Mingyu terkejut setengah mati saat bibir si perempuan melekati dadanya, tepat di atas cincin akuamarin mata kalungnya. Bibir itu—ajaibnya—begitu hangat untuk ukuran seseorang yang baru terendam perairan minus dua derajat. Debar Mingyu berikutnya mendesirkan darah panas ke seluruh tubuh, nikmat bagai segelas anggur di hari bersalju. Pria itu serta-merta terbebas dari belenggu beku; otot-ototnya lemas kembali, bahkan ujung jemari kakinya pun terasa lagi.
"Ups, saya meleset," senyum Mutiara jahil. "Tadinya, saya hendak mengecup bibir Anda biar hangat."
Digoda begitu, Mingyu jadi salah tingkah.
"Tak apa." Suaraku menjadi normal di tengah udara sedingin ini? Hebat. "Terima kasih telah menolong saya—"
Hampir saja Mingyu menyebutkan satu nama buat memungkasi kalimatnya. Mutiara, kalau dilihat-lihat, memang memiliki fitur wajah yang sama persis dengan seseorang di masa lalu si lelaki, tetapi perempuan yang Mingyu maksud sudah meninggal lumayan lama. Ia seorang navigator kapal—seperti calon suaminya—yang terpaksa dimakamkan di lautan lantaran menderita sakit parah nan menular dalam sebuah pelayaran. Wanita itu tunangan pertama Mingyu, cinta paling awal yang tak sempat menapaki jenjang lebih tinggi. Usai kepergian sang kekasih, Mingyu dijodohkan dengan putri seorang pemilik kapal dengan harapan dukanya terlipurkan. Gagal. Kebahagiaan yang ia rasakan setelah untuk kedua kalinya bertunangan tidak sebanding dengan rasa berdosanya meninggalkan si pemandu wanita di tengah samudra.
Cincin akuamarin mata kalung Mingyu, sebenarnya, adalah milik kembaran Mutiara itu.
"Sama-sama." Mutiara mengerjap bingung. "Ada sesuatu yang Tuan pikirkan?"
"Tidak." Sesungguhnya, ya, Mingyu memalingkan wajah sungkan saat menyadari ia terlalu lama menatap paras rupawan perempuan ini. "Maaf. Anda pasti tidak nyaman saya pandangi seperti tadi."
"Mungkinkah saya mengingatkan Anda pada seorang kerabat atau sahabat?"
Diamnya Mingyu membuat Mutiara gugup.
"Jangan-jangan, mereka termasuk salah satu dari orang-orang yang—astaga. Sungguh, saya sangat menyesal!"
Meskipun tunangan barunya memang berada di antara daftar panjang korban tenggelam—dan mangsa karnivora aneh berekor ikan, Mingyu tidak merasa sedih seperti dugaan Mutiara. Kelenjar air matanya berdenyut bukan karena putri pemilik kapal, melainkan semata akibat pertemuan ini. Cincin akuamarin digenggam penuh cinta.
Aku merasakanmu di sekitarku sekarang. Mustahil, bukan?
"Saya turut berduka."
"Tolong jangan." Merasa cukup kuat, Mingyu mengambil alih dayung dari tangan Mutiara. "Duka Anda sendiri pasti sudah tak tertanggungkan."
"Untungnya, saya datang sendiri, jadi saya tidak kehilangan siapa pun dalam tragedi besar ini."
Dalam senyum Mutiara, Mingyu menemukan cahaya yang jauh dan temaram, tetapi menarik dan—licik? Berusaha berbaik sangka, si navigator berpikir senyum Mutiara hanya memuat kelegaan karena berhasil selamat. Pasti cuma itu, bukannya rasa senang menyaksikan drama para penumpang yang sekarat disergap dingin.
"Saya malah menemukan seseorang yang baru. Tuhan memberkati kita berdua, bukan, Tuan?"
Akhirnya, dari kejauhan, terdengar bunyi terompet dan bulatan sinar besar selain milik Bulan. Lampu kapal penolong menyinari separuh wajah Mutiara dengan warna jingga. Jantung Mingyu seketika bergemuruh begitu satu iris biru safir tertangkap netranya. Iris itu—sama dengan milik para pemangsa berekor yang terakhir dilihatnya berpesta.
Tapi, daripada tampak berbahaya, Mutiara lebih kelihatan bahagia bertemu dengannya, sebagaimana kawan yang lama tak bersua—atau yang lain.
Kru penyelamat menemukan Mingyu dan Mutiara. Mereka menawarkan bantuan untuk menaiki tangga tali menuju kapal. Mingyu menolak dan—anehnya, lagi—begitu pula Mutiara. Keduanya memanjat tangga tali dari sekoci dengan begitu lincah seakan tidak terpengaruh musibah barusan. Di dek, Mingyu dan Mutiara dirawat bersama oleh tim medis kapal sementara penyisiran area bergunung es dilanjutkan.
"Saya heran, mengapa Anda bisa setangguh ini? Laki-laki saja belum tentu mampu bertahan hidup di cuaca sejahat ini, tetapi Anda bahkan menaikkan saya ke sekoci."
Mutiara tertawa pelan.
"Tidak bakal seorang calon pengantin merelakan maut mendahului pernikahannya, Tuan."
---
okeh mutiaranya siapa yaaaa
five chaps to go guys uhuhuhuhuhu tinggal punya jangjun si cabe, una, dongsi, mbem, sama haseul-eomma. nunggu punya siapa nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Slumber ✅
FanfikceDalam pekatnya kegelapan, kamu menemukan fragmen-fragmen perasaan yang terserak. Kisah mereka tidak akan utuh tanpa kamu yang melengkapinya! [Let's play a little game! 28 ficlet dark fantasy featuring 28 97-line idols, 14 couples, 14 different unive...