Dalam pekatnya kegelapan, Junhoe mencium bau anyir yang menggelisahkan kelenjar liurnya. Terpanggil, ujung telapaknya berkedut sedikit-sedikit, mengetuk ubin yang dibasahi zat lengket entah apa, pertanda berangsur pulihnya kekuatan usai satu periode hilang kesadaran. Ia mengerang, kini sanggup menggunakan tangan untuk menyangga berat, lantas bangkit dan menjatuhkan apa yang menindihnya sebelum ini.
O, ternyata mayat seorang laki-laki yang dadanya berlubang sekepalan tangan. Jasadnya benar-benar pucat—begitu pula puluhan tubuh dalam ruangan di mana Junhoe berada. Pakaian si pria jangkung sendiri koyak pada beberapa bagian, yang terparah di tengah dadanya.
Sebuah seringai terkembang di bibir Junhoe.
Dia ingin bermain-main denganku, hah?
Daging-daging hampir busuk di bilik sempit itu tidak menyurutkan langkah Junhoe menuju pintu. Gagang berkarat diputarnya sekali; terkunci, maka tanpa basa-basi, ia melayangkan bogem lurus ke papan kayu di hadapan, menjebolnya serta-merta. Darah pada pakaiannya menetes-netes membentuk jejak ketika ia melajukan kaki sepanjang lorong bawah tanah kediaman tunangannya, tidak akan menunggu untuk melabrak jalang yang menyakitinya segera setelah melihat mentari lagi.
Biasa gonta-ganti pasangan untuk senang-senang, Junhoe tidak mengira perempuan yang ia cintai sepenuh hati justru berupaya membunuhnya di tengah suasana romantis. Jebakan yang disiapkan begitu melengahkan: jamuan malam, masakan lezat tersaji lengkap, lilin-lilin syahdu, dan Gaun Merah terhidang anggun seakan memohon untuk disantap. Sengaja ia menggelung tinggi rambutnya, menampakkan leher jenjang yang memanjakan mata, juga mengenakan pakaian yang memeluk tubuhnya di lengkung-lengkung padat. Satu hal penting lain adalah tangan harum itu melayani Junhoe langsung persis seorang istri, padahal pekerja-pekerjanya lebih dari siap untuk mengatur segalanya. Sang tamu menegang ketika mereka berbagi anggur, tak tahan menjamah bibir merah gadisnya, tetapi di sanalah ia selesai; Gaun Merah menusuk jantungnya dengan tangan kosong saat mereka berciuman, lalu gelap.
Ruang bawah tanah berujung pada tembok berlumut yang dari celahnya menyisip cahaya. Mematuhi instingnya, Junhoe menggeser dinding itu dan spontan memicing ketika retinanya dihajar terang lampu kaca. Ini perpustakaan Gaun Merah, rupanya.
Aku datang, Sayang.
Jelas sudah, pengkhianat betina itu bukan manusia normal. Ia menuang anggur untuk tamunya, memang, tetapi warna ganjil yang mengisi gelasnya sendiri tidak berasal dari minuman yang sama, melainkan hasil perasan pembuluh-pembuluh jenazah di ruang bawah tanah. Masih Junhoe ingat nyeri tajam penembus dadanya, kenang-kenangan dari kuku belati Gaun Merah yang entah sudah melumpuhkan berapa ratus mangsa, tetapi kali ini, si buas telah salah memilih korban.
Aroma yang akrab menuntun Junhoe sampai selasar paling belakang kediaman Gaun Merah, di mana sebuah pintu baja menyembunyikan rahasia terbesar sang tunangan. Dengan satu dorongan, pintu itu roboh, menampakkan pelataran gersang dan kolam luas yang penuh likuid kental amis, sementara di tepi kolam, buronannya bersimpuh, memegangi leher seraya terengah-engah. Warna merah mengalir dari tepian bibir yang lembab, warna yang sama dengan yang menodai nyaris seluruh permukaan kulit basahnya. Sekalipun sangat tersiksa, gelegak kemarahan tercermin jelas dari sepasang maniknya yang bersirobok dengan Junhoe.
"Kau ... masih hidup?!"
"Jangan konyol. Kau kira gampang membunuhku? Kuakui manuvermu bagus, tetapi mencuri darah dari tubuh seseorang untuk koleksi itu tidak baik, lho."
"Berhenti bersikap sok suci!" hardik Gaun Merah. "Kau pasti minum lebih banyak dariku, jadi jangan coba-coba menasihatiku!"
"O, kau bisa mengamuk, ya? Ngeri sekali," Junhoe menjepit dagu lancip gadisnya yang sekarat, "tetapi apa kau masih bisa marah bila darahku menguasaimu?"
Gaun Merah menepis tangan Junhoe jijik, meskipun sentuhan lelaki itu—jujur—meredakan demam yang membakarnya hingga sulit bernapas.
"Keras kepala dan angkuh. Kau benar-benar mirip aku. Sepertinya, kita akan menjadi pasangan yang sempurna; itu pun jika kau masih mau melanjutkan hubungan ini denganku."
"Mimpi saja!"
Kolam di belakang Gaun Merah bergejolak, lambat laun menciptakan ombak raksasa yang menghajar Junhoe, tetapi pria itu tetap tegak berdiri. Tatapan tajam dan senyum kemenangannya memojokkan si perempuan yang kuyup oleh peluh.
"Begitu saja?" Junhoe mencekal pergelangan pujaan hatinya. "Ayo, bunuh aku lagi dan keringkan aku. Kau menginginkannya, bukan? "
Dahaga Gaun Merah memuncak; Junhoe yang berlumur darah begitu memabukkan, namun berbahaya laksana candu. Getar halus merambati sosoknya sebagai perwujudan nafsu yang terlalu lama ditekan sekaligus serapah tak terungkapkan. Sungguh sialan bila ia berubah jadi budak mangsanya semudah ini; ia harus memikirkan cara lepas dari pesona pembuluh-pembuluh samar pada leher monster yang memerangkapnya.
Berdenyut. Nadi yang berdesir penuh energi kehidupan, hangat dan segar, membasahi kerongkongan ....
Secara tak sadar, telunjuk lentik Gaun Merah menelusuri tonjolan tipis di bawah rahang Junhoe. Rasa haus menggelantungi lidah serta ujung runcing gigi wanita itu, memancing desah yang jenuh akan hasrat.
"Kurang ajar ...."
"Bukan itu kata ajaibnya, Manis. Ucapkan yang benar."
***
"Kau. Aku ingin kau, Bangsat."
***
Junhoe terkekeh pelan—puas karena berhasil menyudutkan sang kekasih pada akutnya adiksi—sebelum menancapkan taring ke leher mulus itu untuk menihilkan pengaruh mantra cair yang deras di sana. Bagaimana Gaun Merah melunglai dalam kungkungan lengan kekarnya membuat Junhoe merasa dicurangi; mengapa si ratu delima kian menggugah selera justru ketika sedang melemah dan pasrah?
-----
second story feat. iKON's Junhoe aka the international playboy! ini gaun merahnya sapa ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Slumber ✅
FanfikceDalam pekatnya kegelapan, kamu menemukan fragmen-fragmen perasaan yang terserak. Kisah mereka tidak akan utuh tanpa kamu yang melengkapinya! [Let's play a little game! 28 ficlet dark fantasy featuring 28 97-line idols, 14 couples, 14 different unive...