Ketika yang Pergi, Datang Kembali

1.6K 114 0
                                    

Drrt...drrt...

Gawaiku bergetar. Aku sengaja tidak menyalakan nada deringnya karena aku sedang bekerja. Nomor yang muncul di layar adalah nomor yang tidak dikenal. Aku tidak pernah mengangkat panggilan telepon dari orang yang tidak kukenal. Aku menekan tombol reject.

Drrt...drrt...

Nomor yang sama. Berulang kali kumatikan dan masih terus saja menelpon. Ada kabar pentingkah? Dari siapa?

Akhirnya aku mengangkatnya.

"Mila, kamu sedang di mana?"

Suara itu. Suara yang membuatku terluka, mendengarnya saja membuat dadaku sesak. Inginnya aku langsung mematikan sambungan teleponnya. Entah mengapa aku tidak melakukannya.

"Ada perlu apa? Dari mana kamu tahu nomorku?"

Aku sudah mengganti semua informasi pribadiku sejak saat itu. Berharap bisa menghapus semua kenangan menyakitkan dalam hidupku.

Namun, dia menemukanku lagi.

"Aku kangen Kalila."

Aku mendengus, tetapi tak ada gunanya karena ia pasti tak bisa mendengarnya. Inginnya aku meneriakinya. Setelah sekian lama, apakah dia pikir masih pantas untuk kangen pada orang yang ditinggalkannya ketika masih berusia sebulan.

"Kalau mau ketemu Kalila, datang saja ke rumah Mami!" tegasku.

Aku tahu dia tidak mungkin berani ke rumah Mami. Setelah apa yang dia lakukan padaku dan bagaimana reaksi Papi ketika ia pernah mencariku di rumah Mami. Aku hanya berusaha menolak kehadirannya lagi.

"Bolehkah aku menemui Kalila di tempat lain? Bisakah kau bawa Kalila ke tempat bermain anak? Biar aku menemaninya main di sana," tawarnya.

"Untuk apa? Tak bisakah kamu berhenti mengusik kehidupanku lagi?" elakku lagi.

Dia terdiam. Aku menunggu.

"Tak bisakah kamu memberiku kesempatan untuk menemui anak kandungku sendiri?" Ia dengan sengaja menekan suaranya pada frase 'anak kandungku', membuat aku merasa bersalah jika tidak mengiyakannya.

Kali ini aku yang terdiam lama.

Aku belum bisa melupakan bagaimana ia bisa dengan mudah mengeluarkan uang untuk orang lain padahal ketika itu aku sedang mengumpulkan uang untuk akikah Kalila, suatu hal yang harusnya menjadi tanggung jawab ayahnya. Aku melihatnya sendiri pada resi yang tertinggal di saku celana kotor yang sedang kucuci. Saat kukonfirmasi padanya, ia hanya terlihat kikuk, tidak berusaha mengelak atau menyangkal tuduhanku. Mengecewakan sekali. Dan, kini ia bahkan menggunakan 'status' itu untuk menemui Kalila lagi.

Aku...tidak mau Kalila bertemu dengannya.

***

Nomor yang sama menghubungiku setiap hari. Aku merasa tidak perlu mengangkatnya. Di hari ke sepuluh, akhirnya aku menyerah. Aku menyebutkan satu playground yang paling dekat dengan rumah kami, tempat Kalila sering bermain di hari Minggu.

Aku sengaja datang lebih awal. Memastikan Kalila sudah nyaman dengan proses mainnya, juga memastikan diri bahwa aku bisa lebih nyaman bila harus bertemu dengannya lagi.

"Mila..." panggil seseorang dari belakang.

Jantungku berdebar kencang. Aku tahu siapa yang datang.

"Itu Kalila. Aku ada janji dengan teman di salon dekat sini, mungkin untuk beberapa jam saja. Kamu sendirian?" Aku bertindak sedingin mungkin, berharap ia tahu bahwa aku tidak suka dengan pertemuan seperti ini.

Ia hanya mengangguk.

"Apa tidak apa meninggalkan Kalila hanya bersamaku, bagaimana kalau ia harus ke toilet? bagaimana kalau dia mencari ibunya?"

Aku mendecak pelan. Aku sudah memperhitungkan sebelumnya bahwa ia pasti melarang aku pergi. Aku memasang wajah cemberut, lalu memanggil Kalila. Memperkenalannya pada Tyo, ayah kandungnya.

Seperti biasa, Kalila menolak berkenalan dengan orang baru. Ia memilih bersembunyi di balik tubuhku. Tyo sudah mempersiapkan itu, ia menggunakan permen lollipop besar untuk 'menyuap' Kalila.

Aku membiarkannya pelan-pelan mendekati sosok itu, walau dengan sedikit perasaan tak rela. Setelah Kalila terlihat nyaman dengan ayahnya, aku perlahan berjalan menjauh, mencari tempat duduk terdekat untuk menunggu.

***

"Sekarang Kalila usia berapa ya?" ujar suara di sampingku.

Aku menoleh. Sejak kapan ia duduk di sampingku?

Aku meletakkan gawaiku di dalam tas lalu mataku mencari Kalila.

"Dia bermain di sana," ujarnya lagi sambil menunjuk ke arah kiriku.

Aku melihat Kalila tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya sambil melambaikan tangan.

"Bulan depan usianya genap empat tahun," jawabku kemudian.

"Aku merasa bersalah telah meninggalkanmu dan Kalila. Bisakah aku menebus kesalahanku?" tanyanya dengan nada memelas.

Aku merasa tak perlu menjawab pertanyaannya.

"Aku sudah berubah, Mila. Trust me."

Aku menatapnya kesal.

"Ini bukan kali pertamamu mengatakan hal ini, Tyo. Kamu harusnya sudah tahu jawabannya, kan?" tanyaku menyindirnya.

Untuk pertama kalinya, aku melihat ia tampak sedih mendengar jawabanku.

Apakah kini ia sungguh-sungguh dengan rasa bersalahnya?

Apakah ia benar-benar telah berubah?

Kali ini, aku jadi merasa tidak enak dengan jawabanku yang terkesan sombong.

"Ayah..."Kalila memanggil sosok di sebelahku, rupanya permainan komidi putar mininya sudah berhenti.

Kulihat laki-laki itu segera beranjak dari tempat duduknya dengan tersenyum. Senyum terbaiknya. Senyum yang pernah melelehkan hatiku beberapa tahun yang lalu.

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang