Epilog

2.2K 116 16
                                    

"Mungkin harusnya kita pergi berbulan madu, Cinta," ujarnya sambil memainkan ujung rambutku. Kami masih saja berada di atas tempat tidur padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 10.00. Ini hari libur, dan kami hanya berduaan di rumah. Wajar bukan bagi sepasang pengantin baru enggan beranjak dari tempat paling nyaman di rumah ini?

"Ah, boros. Di rumah ini pun kita bisa berduaan sepanjang hari di akhir pekan, kan?" Aku mengerlingkan mataku, mencoba menggodanya.

Aku memejamkan mata.

Telingaku seolah masih mampu mendengar suaranya, hidungku masih mencium aroma tubuhnya yang melekat pada seprai di kasur kamarku. Aku menolak menggantinya. Aku bahkan tidak mau membereskan semua pakaiannya yang ada di lemari.

Biarlah tetap seperti itu, sama seperti saat dia masih ada di sisi.

Abi-ku, sedang apa kamu di sana?

***

"Mi, aku pergi dulu ya," pamitku pada Mami yang sedang menyiapkan sarapan untuk Kalila. Aku memandang ke arah Kalila yang masih sibuk bermain masak-masakkan dengan sepupu-sepupunya, cucu dari adik Mami yang masih menginap di rumahku.

"Mau kemana, Sayang?" Mami terlihat begitu khawatir, sudah sepekan ini aku hanya melakukan hal yang sama, setiap hari.

Bangun pagi lalu meletakkan dua mangkuk di atas meja, menuang sereal berbentuk bintang dan menuangkan susu putih ke dalamnya. Makan sendiri sambil tersenyum lalu membereskan kembali kedua mangkuk itu. Lalu bersiap pergi dengan kerudung marun dan jaket hitam sepanjang lutut.

Aku memandangnya lekat, seolah berkata, Mami sudah bisa menebak aku akan pergi ke mana. Ia mengangguk, aku melangkah pergi. Mengambil kunci dan helm, menemui Abimanyu, Abi-ku.

***

Aku meletakkan selembar kertas di atas nisan. Surat ketujuh. Tentang perasaanku pada Abi, rindu yang menggebu. Surat yang kubuat tiap malam, sambil memandangi foto pernikahanku dengan Abi yang baru saja selesai beberapa hari yang lalu. Abi bahkan belum sempat melihatnya.

Aku menahan tangis, mengingat janji bahwa tidak boleh ada air mata lagi. Aku harus menerima kenyataan bahwa lelaki baik ini memang sudah pergi.

Seorang penjaga mendekati tempatku.

"Kesini lagi, Bu?" sapanya. Ia menyapu dedaunan yang jatuh di sekitarku, lalu meninggalkanku sendiri. Nampaknya, ia sudah hafal dengan kebiasaanku selama sepekan terakhir ini dan tidak ingin menggangguku lebih lama.

Setiap pagi, aku akan datang ke sini, meletakkan surat untuk Abi sambil memanjatkan doa-doa istimewa. Tidak lama, tidak pernah sampai tiga puluh menit. Lalu melangkah pergi.

Tiga hari pertama, Papi selalu minta orang untuk menemaniku, mungkin khawatir aku akan melakukan hal yang tak wajar. Namun, tak pernah terjadi apa-apa, dan akhirnya Papi membiarkan aku pergi sendiri.

Aku tidak langsung pulang, masih ada tempat lain yang ingin kusinggahi.

***

Di depan sebuah kafe di atas bukit, aku memandangnya plang nama yang terpasang kokoh. Mengingat saat itu.

"Kenapa, Mil?" tanyanya bingung. Ini hadiah istimewanya di hari kelima pernikahan kami, makan malam romantis di kafe di atas bukit.

Aku masih menolak melangkah sekalipun tangannya sudah menggandengku ke arah pintu.

"Aku...pernah melihat gambar kafe ini di ponsel Tyo. Tyo ke sini bersama... "Aku tak sempat melanjutkan ceritaku, ia menarik tanganku lebih keras dari tadi.

Ia mengajakku ke meja di pinggir tebing, menatap bintang di langit dan bintang di keramaian kota Bandung.

"Mari kita buat memori baru, Mila. Tempat ini pernah membuatmu sakit? Biarkan kali ini aku akan membuatmu mengingat tempat ini sebagai tempat terindah di bumi," ujarnya sambil memeluk pinggangku dengan tangan kirinya.

Lamunanku terhenti ketika terdengar klakson mobil terdengar dari belakangku. Aku menghalangi jalan masuknya. Aku menepi, memarkirkan motorku di tempat yang seharusnya.

Aku memesan dua cangkir hot lemon tea. Pelayannya memastikan ulang pesananku, aku mengangguk membenarkan bahwa aku memang memesan dua cangkir.

"Diantar sekarang, Bu atau..." tanyanya lagi. Mungkin dia pikir aku menunggu seseorang.

Aku tersenyum, Sekarang saja.

***

Kursi yang sama. Pemandangan yang sama, walaupun tidak seindah ketika malamnya. Hanya saja, kursi itu akan selamanya kosong. Aku tidak akan membiarkan seorang pun mengisinya tempatnya, tidak juga di hatiku.

Ini hari terakhir aku akan melakukan rutinitas ini, mengunjungi tempat-tempat yang pernah kudatangi bersama Abi. Menyisakan satu kursi kosong di setiap tempatnya, terus memberi ruang.

Di wahana pemicu adrenalin di dalam sebuah mall pun aku harus bersitegang dengan penjaga karena aku menolak memberi kursi kosong di sebelahku kepada pengunjung yang lain. Penjaga itu akhirnya menyerah karena aku memang membeli dua tiket.

***

Abimanyu Darmawan,

terima kasih untuk hari-hari terbaik dalam hidupku, semua hari yang terisi dengan kata manis bahkan pada hal yang tak kau suka tentangku,

terima kasih untuk terus berjuang hingga di sini, membuat aku merasa berharga. Aku bukan lagi perempuan yang disisihkan, bersamamu aku merasa dicintai sepenuh hati,

terima kasih karena kamu... adalah jawaban terindah dari doa-doa yang melangit sepanjang waktu.

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang