Penolakan

1.2K 92 1
                                    

"Jangan lupa, akhir pekan ini kamu harus ke rumah lagi," ujarnya di depan mejaku sambil membawakan nasi kotak dari restoran siap saji dari Jepang.

"Punyaku mana, Bi?" ujar Bella yang tiba-tiba datang. Abi menyerahkan satu kotak lagi untuk Bella.

"Untung aku sudah hafal kalau di sini ada premannya," ujarnya menyindir Bella yang selalu saja mendekat setiap Abi ke mejaku.

"Jangan berduaan sama istri orang, Bi. Bahaya." Bella menyindir kedekatan kami, karena tidak ada yang pernah tahu secara gamblang bahwa statusku memang bukan lagi istri orang. Kami memang lebih banyak berbicara di luar jam kerja, membahas strategi yang harus kami lakukan untuk meyakinkan keluarga besar kami.

"Itu kan kalau istri orang, ini kan sama calon istri," jawab Abi asal. Aku memanyunkan bibir, tanda tidak suka pada keterusterangannya pada Bella. Please, Abi, kita sama-sama tahu Bella orang seperti apa.

"Haah, calon istri? Beneran?" Bella menatap ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum kikuk menjawabnya. "Kita harus bicara, Mil," ujarnya sambil menarik tanganku.

***

Interogasiku berlangsung cukup alot karena aku masih menolak menyampaikan banyak hal.

"Kamu janda, Mila?" tanyanya pertama.

Aku mengangguk.

"Nggak ada yang salah dengan statusku, kan?" Aku balik bertanya.

"Iya sih, cuma nggak nyangka aja. Rumor ini sih pernah terdengar di awal-awal aku kerja di sini. Tapi, rumornya menghilang karena banyak berita baru," ujarnya sambil tertawa kecil.

"Yang Abi bilang tadi, bener?" tanyanya lagi.

"No comment, Bella. Sudah kubilang dia adikku, aku ke mejaku dulu ya, laper," balasku sambil memegang perut. Bella tidak lagi bisa menahanku karena aku menghindar dengan cepat.

***

[Kamu masih marah?]

Abi mengirimiku pesan karena aku buru-buru pulang sehabis jam kerja usai.

[Kamu percaya padaku, kan?]

Setelah kukirim foto yang kudapat dari Bella, Abi berkali-kali mencoba menghubungiku. Akhirnya aku mengangkat telepon darinya, mendengarkan penjelasannya sambil sesekali bergumam. Aku percaya padanya, hanya saja aku ingin tahu bagaimana reaksinya bila aku mengirimkan gambar itu.

Perempuan itu tidak sendirian, ia bersama teman-temannya adalah adik kelas Abi di kampus dulu. Mereka meminta Abi menjadi pengisi acara tentang fotografi, dan malam itu mereka sedang membahas konsep acaranya.

Aku hanya tertawa dalam hati karena Abi berusaha keras untuk meyakinkanku.

[Ya, apalagi setelah disuap dengan sekotak nasi+ebi furai dari H*kben, aku nggak berhak marah lagi]

[Alhamdulillah]

[Banyak berdoa ya, aku sudah bilang Mamay akan membawa calon istriku ke rumah Sabtu ini. Jangan bawa kue lagi!]

Aku tahu pasti Abi sedang membalas menertawakanku, aku mengingat kunjungan pertamaku ke rumah Tante Maya.

[Tante sudah tahu bahwa itu aku?]

Abi hanya terlihat mengetik, tanpa pernah mengirimkan pesannya. Aku tahu pasti ia belum bilang bahwa aku calon istrinya. Pasti sulit berkata pada Mamay bahwa orang yang akan menjadi menantunya adalah orang yang sangat ia kenal dan bahkan sudah ke rumahnya beberapa waktu lalu.

***

Aku sudah memakai baju terbaikku, oleh-oleh untuk Tante Maya juga sudah kusiapkan di tas kertas bermotif batik. Kali ini aku membawakan sebuah mukena hijau berbahan sutera, aku tahu dari Abi bahwa hijau adalah warna kesukaan Tante Maya. Aku sudah memoles tipis lipstik warna nude yang biasa kupakai. Namun, aku masih saja gelisah.

Stop, Mila. Ini kan Tante Maya, ujar salah satu sudut hatiku menenangkan.

Ya, tapi kali ini kamu akan datang sebagai calon menantunya, bukan mantan muridnya atau anak tetangga dekatnya, balas satu sudut hati yang lain.

Bismillah...

Abi terlihat sama gugupnya denganku, kami janjian di kafe dekat rumahnya sebelum akan bersama-sama menemui ibunya.

"Kamu gugup?" tanyaku mencoba memecah keheningan yang terjadi.

Ia mengangguk.

"Karena aku janda? atau karena aku Mila?" tanyaku lagi.

"Ah sudahlah Mila, kita hadapi saja Mamay bersama-sama." Abi langsung menyeruput kopinya sampai habis dan mengajakku meninggalkan kafe tersebut.

***

Tante Maya terlihat cukup terkejut melihat aku yang datang bersama Abi. Ia terlihat mencari apakah ada orang lain yang ikut bersama kami, mungkin ia pikir aku hanya pengantar saja.

Bram yang ternyata juga ada di rumah menyambut tak kalah kagetnya.

"Jadi calonnya Abang itu Teh Mila?" Aku tersenyum. Bram pernah bertemu denganku dulu saat aku belajar bersama Tante Maya, sedangkan Restu, adik Bram, baru pertama kali ini melihatku.

"Kupikir calon Abang lebih muda dari ini," Abi terlihat menonjok bahu adiknya.

Abi dipanggil ke dapur oleh Tante, pasti Tante butuh penjelasan akan ini.

"Bukannya Teteh sudah menikah?" tanya Bram yang diminta menemaniku duduk di ruang tamu.

Aku mengangguk.

"Pernikahanku tidak berjalan baik, Bram," jelasku pendek.

"Bukan karena Abang, kan?" tanyanya menyelidik.

Aku tergelak. "Memangnya Abangmu ada tampang jadi PIL?" ujarku menghangatkan suasana. Sebenarnya aku sudah siap bila penerimaan keluarga Abi tidak akan sehangat yang aku harapkan, tetapi tetap saja, aku merasa detak irama jantungku lebih cepat dari biasanya.

"Kami baru bertemu beberapa bulan saja. Dia, orang pertama yang berusaha membuatku percaya lagi bahwa aku layak untuk dicintai. Dia baik, Bram," terangku lagi.

Aku mendengar suara deheman orang dari arah belakang. Abi.

"Mamay kurang enak badan, Mil. Sebaiknya kita tidak perlu berlama-lama di sini ya. Maafkan aku," ujarnya sambil mengajakku pergi.

"Bram, terima kasih telah menemaniku." Aku melambaikan tangan ke arah Bram yang bingung dengan kepergian kami. Aku tidak sampai 15 menit ada di rumah itu, bahkan aku belum disuguhi minuman.

***

Kami kembali ke kafe tempat kami bertemu tadi. Mungkin pelayan kafe akan merasa heran jika melihat kami lagi. Aku tahu Abi sedang tidak enak hati, mungkin marah, kecewa juga merasa bersalah padaku.

"Bi..." panggilku.

"Biar aku yang urus Mamay," tegasnya.

Aku tahu bahwa Abi tidak terlalu suka kopi, tetapi kali ini ia bahkan sedang menyeruput gelas keduanya di pagi hari ini hanya untuk menutupi hal yang mengganggu hatinya.

Gambar diambil dari https://www.jeparaheritage.id/product/kursi-tamu-sofa-retro/

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang