Lembaran Hitam dari Masa Lalu

1.5K 105 2
                                    

Prasetyo berubah. Jabatannya pun naik sekarang. Motor lama kami sekarang lebih banyak parkir di garasi rumah karena ia mendapat mobil dinas dari kantornya.

Jika ada orang yang berkata bahwa uang bisa mengubah segalanya, aku membuktikannya. Tyo bukan lagi lelaki yang dulu kukenal. Hampir setiap hari ia pulang terlambat dan selalu tercium bau rokok dari kemejanya. Pernah sekali aku menyinggung hal ini dan ia berdalih bahwa bau rokok berasal dari rokok milik kliennya.

Aku tahu, pernikahan ini harus dilandasi percaya. Maka, aku mencoba percaya saja dengan semua perkataannya.

Hingga akhirnya, ada seorang kerabat dekat yang menelponku, memberi tahu bahwa ia baru saja melihat Tyo dan teman-temannya di sebuah kafe di tengah kota. Pertanyaan terakhirnya membuatku tersentak, 'memangnya Tyo pernah meminum alkohol, Mil?'. Lalu, ia memberiku wejangan agar bisa mengingatkan Tyo dalam memilih teman.

Siapa yang salah? Apa perlu mencari siapa yang bersalah?

Aku merasa aku juga punya andil dalam situasi yang terjadi. Membiarkannya memiliki persepsi yang salah sejak awal, lalu tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya berbuat lebih jauh. Obrolan kami tentang visi misi di awal pernikahan ternyata tidak menyatukan pola pikir kami.

Kami bersepakat soal poligami, bahwa ini adalah syariat yang kadang dianaktirikan. Namun, yang tidak kusangka ternyata itu dijadikan dalih untuk berkenalan dengan banyak wanita, sebagai bentuk menawarkan bantuan dalam bentuk pernikahan.

Aku yang lemah. Terpuruk pada pikiranku sendiri yang membuatku rendah diri. Aku tidak pernah merasa bahwa diriku cantik. Di depan cermin aku melihat seorang wanita bertubuh besar dengan kulit agak gelap.

Tyo adalah lelaki pertama yang mengatakan bahwa sebenarnya aku cantik, hanya saja aku perlu tampil lebih percaya diri. Sebagai pria, ia jauh lebih pandai untuk memadupadankan kostum yang kukenakan, sepatu yang harus kupakai. Seolah-olah aku punya seorang penata gaya di rumah.

Tetap saja, aku selalu merasa rendah diri ketika Tyo memperkenalkan aku dengan rekan-rekan kerjanya yang selalu tampil full make up.

Aku yang tak pernah bisa marah padanya walau kulihat caranya memperlakukan teman wanitanya sudah tidak lazim. Sering membelikan pulsa, mentraktir makan seusai kerja. Apakah lelakiku adalah tipe lelaki yang gemar tebar pesona di mana-mana?

Hingga akhirnya kuputuskan menegurnya. Ia sedang bersandar di kursi tamu sambil tetap memegang gawai, aku duduk di sebelahnya. Aku masih ingat sekali apa yang terjadi saat itu.

"Tyo, sepertinya kita perlu bicara," mulaiku.

Tentang kabar dari kerabatku, keacuhannya terhadap kehamilanku, juga rasa keberatanku dengan kebaikannya kepada semua wanita.

Hasilnya, Tyo hanya menatapku marah, lalu meninggalkanku di rumah sendirian. Sejak saat itu Tyo sering beralasan lembur di kantor, dan baru pulang mendekati subuh.

Apakah salah jika aku menegur tindakannya? Apakah caraku kurang lembut sehingga tertangkap olehnya sebagai bentuk penghakiman?

***

Aku butuh masukan soal kehidupan pernikahanku. Apa masih wajar hubungan pernikahan seperti ini, kadang aku merasa aku hanya sendirian mengupayakan pernikahan yang sakinah.

Dengan perut hamil besar, aku datang ke rumah Resa. Setelah menikah dan langsung diberi janin dalam rahimku, kami jarang sekali bisa melepas rindu, bercerita tentang apa pun seperti yang sering kami lakukan sebelumnya. Tyo yang kukabari via pesan singkat mengingatkanku agar tidak mengumbar masalah keluarga kami pada orang lain.

Aku berteman dengan Resa sejak SMA. Orang tua Resa bahkan sudah menganggapku anak mereka, kedatanganku dengan wajah sendu pun langsung diartikan bahwa aku butuh waktu untuk mengobrol berdua dengan Resa. Mereka membiarkanku langsung menuju kamar Resa yang terletak di bagian belakang rumah, paviliun yang terpisah dari rumah utama.

Kami hanya saling bertatapan, kemudian aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak sanggup menceritakan apa-apa dan Resa pun tidak memaksaku untuk bercerita. Hampir satu jam aku menangis sampai akhirnya bibi yang kerja di rumah Resa memanggilku karena ada orang yang menjemputku di luar. Itu Tyo.

Situasi tidak menjadi lebih baik. Tyo yang mulai berpikir bahwa aku menceritakan kekurangannya pada Resa dan menganggapku tidak bisa menjaga harga dirinya. Padahal aku tidak menceritakan apa-apa, hanya saja Resa mengirimiku pesan yang terbaca olehnya, soal doanya agar aku selalu dikuatkan dan mendekat kepada Yang Mahakuat.

Aku pun terus-terusan memaksa Tyo agar memperbaiki kelakuannya dan lebih peduli pada bayi kami. Hingga akhirnya Kalila lahir, dan aku tahu bahwa Tyo sedang dekat seorang wanita lain.

Tyo mengucap talak saat aku selesai dari masa nifasku. Anehnya, setelah kata talak aku malah merasa dibebaskan dari sebuah beban yang terus memberatiku. Papi Mami yang enggan mendesakku karena melihat bayi merah yang kugendong sambil membawa seluruh pakaianku hanya bisa menangis, kemudian berjanji akan melindungiku dari apa pun, termasuk Prasetyo.

Sejak saat itu, aku dipindahkan ke tempat yang baru. Tempat di mana aku bisa menenangkan diri dengan status baruku. Mami memaksa menemani di rumah baru, memastikan aku tidak depresi atas perceraian yang baru saja kualami.

Aku tidak depresi. Aku bersedih karena gagal, tapi tidak memilih menyerah. Kalila butuh ibu yang bahagia untuk membesarkannya dengan baik, dan aku memilih bahagia.

***

[Mila, bolehkah aku berusaha jadi partner yang baik untukmu?]

[sebagai ayah Kalila, tentu saja]

Aku membaca sebaris pesan darinya. Lalu menangis. Perasaan marah, kesal, kecewa, semua bercampur jadi satu. Namun, semua perasaan itu tidak pernah bisa kusampaikan padanya, hanya terus saja membuat dadaku sesak.

Ketika ia datang (lagi), tak bolehkah aku berharap ia hanya jadi bagian dari masa laluku saja?

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang