Tante Maya

1.4K 101 2
                                    

"Kamu dipanggil Ibu ke rumah," ujar Abi di depan mejaku.

Semenjak pertemuan kemarin, Abi meminta izin untuk tidak lagi memakai embel-embel 'teteh' ketika memanggilku. Aku menerima saja, toh bagiku tidak terlalu ada bedanya.

Aku membesarkan mataku, mencoba menanyakan maksudnya.

"Tenang aja. Ini bukan ajang perkenalan calon menantu ke mertuanya, kok" canda Abi. Aku menolak tertawa.

"Aku baru cerita ke Ibu kalau aku sekantor sama kamu. Beliau ingin ketemu," jelasnya lagi.

Aku mengangguk-angguk seolah mengerti. Dulu aku beberapa kali main ke rumah Abi hanya untuk bertemu Tante Maya, Ibunya Abi. Tante Maya terkenal memiliki suara yang bagus saat mengaji, istilahnya jago qiroah. Aku yang sempat diikutsertakan dalam lomba MTQ antar sekolah berlatih secara rutin bersama Tante Maya.

Abi saat itu sudah masuk pesantren sehingga kami tidak pernah bertemu di rumahnya.

"Kamu, sudah cerita sejauh apa?" tanyaku memastikan.

Dia tertawa lagi.

Aku berusaha untuk tidak menyukai lesung pipit yang selalu muncul di pipinya setiap tertawa. Namun, ia mudah sekali tertawa, dan aku selalu suka.

"Aku belum cerita apa-apa. Tidak sebelum jelas hubungan seperti apa yang mungkin untuk kita."

Aku memandang sekeliling. Memastikan tidak ada yang mendengar ucapannya barusan.

***

Siang itu aku datang bersama Kalila. Sudah kubawakan bolu pisang buatanku. Entah sekarang bolu pisang buatanku mendapat nilai berapa, dulu Tante Maya yang mengajarkanku pertama kali. Berbeda dengan Mami yang lebih suka memasak makanan berat sebagai pendamping nasi, Tante Maya justru lebih suka membuat beragam jenis kue.

Aku memastikan lagi alamat yang diberikan oleh Abi di gawaiku, lalu mengecek bangunan di depanku. Salahku. Aku tidak bertanya dulu pada Abi. Tante Maya sekarang punya toko kue di depan rumahnya. Aku tidak bawa oleh-oleh lain selain bolu pisang buatanku. Namun, memberi oleh-oleh kue kepada penjual kue terdengar absurd, bukan?

Tingtong.

Aku menekan tombol bel yang ada di depan pintu. Pintu ini nampak terpisah dari bangunan toko kue. Tak sampai lima menit, kulihat seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Ia memandangiku sejenak kemudian menyebut namaku.

"Mila..." sambutnya senang, "Hampir pangling Tante. Sekarang kamu gemukan ya?"

Aku membalasnya dengan senyum kecut. Sampai SMP tubuhku memang kecil jika dibandingkan dengan teman seusiaku. Setelah masa haidku datang, rasanya mudah sekali tubuhku membesar.

"Kamu bawa apa itu?" ujarnya sambil melihat bungkusan di tanganku.

Aduh, bagaimana menjawabnya ya.

"Ini...kue pisang buatanku, Tante. Tadinya aku ingin Tante memberi nilai untuk kue buatanku sekarang, tetapi melihat toko kue di depan. Rasanya aneh saja. Masa tukang kue dibawakan kue," ujarku melucu.

Tante langsung mengambil bungkusan di tanganku lalu membawanya ke dapur. Ia lalu melihat anak kecil yang bersembunyi di belakangku.

"Lho, sekarang sudah ada buntutnya? Siapa ini anak sholihah yang cantik?" ujarnya menyapa Kalila. Kalila yang biasanya malu-malu langsung menghampiri Tante Maya. Ternyata karena Tante membawa piring berisi bolu pisang, Kalila langsung mengambil sepotong setelah mencium tangan Tante.

"Anakmu baru satu, Mil? Sepertinya sudah saatnya untuk nambah momongan lagi," ujarnya mencoba menghangatkan suasana. Aku tersenyum kikuk, tak berniat untuk menjawab pertanyaannya.

Obrolan kami selanjutnya membuka kenanganku di masa lalu, mengingat masa-masa saat aku sering dimarahi karena lagam suaraku saat membaca ayat suci Al-Quran tidak sesuai arahannya, atau ketika kami ingin muntah saat mencicipi kue buatanku yang selalu gagal padahal sudah mencoba sesuai resep yang ia tuliskan.

Hingga akhirnya,

"Tante bercerai, Mil."

Aku memandang ke arah tante, kesedihan tiba-tiba menggelayuti wajah tante yang mulai banyak dihiasi keriput.

Lalu mengalirlah kisah perceraian Tante Maya dan Om Bachtiar, tentang orang ketiga yang yang masuk ke dalam rumah tangga mereka. Tentang Om Bachtiar yang mulai berubah sikap dan akhirnya meninggalkan keluarga mereka. Bagaimana Tante berusaha bangkit dari keterpurukan membesarkan tiga anak laki-laki sendirian, lalu merintis usaha toko kue sampai sebesar ini. Tentang Bram, adik Abi yang sempat kecanduan narkoba karena stres menghadapi perceraian kedua orang tuanya. Juga tentang Abi, seorang anak sulung yang berusaha bertanggung jawab menjadi kepala rumah tangga saat usianya masih belia.

Banyak hal baru yang aku ketahui tentang Abi, sesuatu yang tidak pernah kuduga. Abi, anak korban perpisahan kedua orang tuanya juga?

Wajahnya kembali ceria ketika ia mencoba kue buatanku.

"Yang ini sudah bisa dapat nilai 8, Mil," ujarnya sambil mengangguk-angguk.

Aku akhirnya lega. Lega karena kue buatanku sudah dinilai baik, juga karena kupikir tante sudah tidak bersedih lagi setelah menceritakan kisah hidupnya.

"Mil, suruh adikmu segera menikah lah. Mungkin Abi akan mau mendengar bila kamu yang menyuruhnya. Usianya sudah cukup kan untuk menikah? Barangkali ada temannya di kantor yang ia taksir?"

"Hm,," aku berpura-pura mengingat.

Bagaimana reaksi Tante Maya ya bila mengetahui bahwa wanita yang disukai anaknya adalah aku,

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang