Ingatan Masa Kecil

5K 140 8
                                    

Aku sedang bekerja di mejaku, memisahkan beberapa proposal pengajuan sponsor yang ditujukan pada lembaga sosial tempatku bekerja. Proposal khitanan massal, pembagian sembako gratis dari berbagai panitia penyelenggara. Di kantorku, aku yang bertugas memilih dan memilah proposal mana saja yang akan kami beri kucuran dana. Tidak semua proposal yang datang bisa langsung mendapatkan dana dari lembaga sosial ini. Kami perlu memastikan bahwa dana titipan dari para donatur ini akan sampai pada kegiatan yang tepat, juga orang yang tepat.

Mungkin aku terlalu serius sampai-sampai tidak sadar ada seseorang di depan mejaku. Bukan salah satu rekan kerjaku, karena aku merasa baru melihatnya kali ini.

Ia sepertinya menyadari keherananku, lalu tiba-tiba menyapaku.

"Teteh, yang tinggal di seberang masjid, kan? Teh Mila, kan?" ujarnya memastikan.

Aku yang masih terkejut dengan kehadirannya bertambah heran dengan pertanyaannya. Namun, aku mengangguk cepat. Namaku memang Mila, tetapi aku tidak tinggal di seberang masjid. Rumahku terletak di ujung komplek, agak jauh dari masjid.

Namun, orang itu tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan apa pun. Ia melangkah pergi menjauh bersama rekanku yang akan bertugas ke lapangan sambil melambaikan tangan.

Dalam hati, aku masih berusaha mengingat-ingat. Mungkinkah aku pernah mengenalnya?

***

Esoknya, kami bertemu lagi. Ternyata laki-laki ini adalah karyawan baru di sini, pindahan dari kantor cabang lain. Tugasnya di lapangan, meliput kegiatan-kegiatan yang lembaga kami sponsori. Liputan inilah yang nantinya akan kami cetak di media bulanan kantor, untuk dikirimkan kepada semua donatur baik via surat atau email. Media ini dibuat sebagai bentuk laporan bahwa dana yang mereka titipkan sudah kami sampaikan kepada yang berhak menerimanya.

Ketika jam makan siang, tanpa permisi laki-laki ini mengambil posisi di depan mejaku, padahal biasanya rekan kerjaku tidak ada yang berani mendekatiku. Tanpa prolog ia langsung bercerita panjang lebar tentang liputannya tadi pagi, sulitnya perjalanan yang harus ia tempuh hingga panitia kegiatan yang minim.

Entah mengapa, walau baru pertama kalinya berbicara padaku, ia seolah sudah lama mengenalku. Dari nada bicaranya, ia terlihat sangat santai, tidak merasa canggung. Padahal kami baru dua kali bertemu. Apakah mungkin ia salah orang? Mungkinkah ia berpikir bahwa aku adalah orang yang ia kenal.

Aku tak ingin ia menjadi tak enak hati ketika mengetahui bahwa aku hanya orang yang memiliki nama yang sama dengan kenalannya. Namun, orang itu bukan aku.

"Abi, nampaknya aku perlu menjelaskan sesuatu."

Namanya Abi, aku mengetahuinya karena ia menyebutkan namanya sambil minta izin untuk duduk tadi. Kutaksir usianya belum 25 tahun, jadi aku merasa tidak perlu memanggilnya dengan embel-embel Mas atau Bapak.

Ia menghentikan ceritanya lalu menatap ke arahku, menunggu lanjutan kata-kataku.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Aku takut kamu salah orang," jelasku dengan nada khawatir. Tidak enak bukan, ketika kita sudah asyik dalam perbincangan ternyata orang yang kita ajak bicara bukan orang yang kita kira.

Namun, ia malah tertawa mendengar penjelasanku.

Tawa itu. Membawa pikiranku ke belasan tahun silam, saat aku masih berseragam putih merah.

Ketika seorang anak perempuan dengan rambut tergerai hingga bahu sedang bermain permainan tradisional. Sorodot gaplok. Permainan menggunakan pecahan genteng atau batu yang agak pipih, yang digunakan sebagai pion bagi pemainnya. Sekali waktu, batu pipih itu diletakkan di atas permukaan kaki, lalu oleh tim yang giliran main akan dilemparkan dari garis start mengenai batu milik lawan. Di tahap selanjutnya, pemain harus berjalan melompat-lompat menuju garis tempat lawan, kemudian melemparkan batu di kaki ke arah batu lawan yang diberdirikan di depan. Jika batu lawan jatuh, maka lawan dianggap kalah.

Permainan ini mungkin sudah jarang sekali dimainkan oleh anak-anak di zaman sekarang. Lahan untuk bermain semakin sempit, anak-anak lebih asyik main bersama di depan layar, merasa cukup bertemu hanya di dunia maya.

Anak perempuan itu tomboy. Tidak pernah merasa risih walaupun lawan mainnya kebanyakan laki-laki. Ia baru saja pindah dari luar kota sehingga merasa asing dengan permainan ini dan merasa tertantang untuk menaklukannya.

Anak perempuan itu juga ingat, ada seorang anak kecil yang selalu memandanginya. Adik dari salah seorang lawan mainnya. Entah apa yang dilihat oleh anak itu. Mungkin merasa aneh atau malah takjub dengan kelakuan perempuan tomboy ini.

Adik kecil yang menurut teman-teman lain memiliki perasaan suka padanya, selalu terdiam jika digoda untuk berpasangan dengannya. Namun, adik itu tidak sungkan ikut tertawa ketika sang perempuan jatuh tersungkur ketika bermain.

Tawa itu. Serupa dengan tawa orang yang ada di depanku. Lelaki yang sedang kuajak bicara.

Aku tiba-tiba tersenyum sendiri.

"Teteh sudah ingat aku ya?" tembaknya.

(Gambar diambil dari https://www.nurulfitri.com/2018/01/festival-kaulinan-barudak-sunda.html)

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang