Memulai Hari Baru

1.5K 115 0
                                    

[Kamu menjanjikan apa pada Kalila?]

Aku segera memastikan via pesan singkat setelah mendengar ucapan Kalila kemarin. Dia bilang ayahnya akan datang di hari ulang tahunnya, akan ikut bersama ke Pangandaran. Itu dua hari lagi.

[Memang Kalila bilang apa? Aku memang akan datang di hari ulang tahunnya, acaranya di Pangandaran, kan?]

Ia menjawab dengan cepat.

[Tolong jangan ngomong hal yang nggak bisa kamu tepati. Kasihan Kalila], pintaku lagi.

[Mila, Trust me. Aku akan memenuhi janjiku pada Kalila, aku benar-benar sudah berubah]

Lagi-lagi dia berkata begitu, memaksaku untuk mempercayainya. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, tetapi aku harus menguatkan diriku dan Kalila untuk tidak mulai berharap lagi padanya.

***

Kalila's day.

Hari ini Kalila tepat berusia empat tahun. Bayi kecil berpipi tembem itu kini sudah bertransformasi menjadi seorang anak perempuan yang manis. Ia memiliki kemampuan berbicara yang sangat baik, perbendaharaan katanya banyak. Beberapa orang sering bertanya padaku untuk memastikan bahwa usia Kalila belum empat tahun.

Sedari pagi aku melihatnya bolak-balik ke pagar depan rumah kami.

Aku tahu dia menanti seseorang, aku sama sekali tidak ingin mematahkan harapannya. Namun, aku harus bisa menjelaskan pada gadis manis ini bahwa seringkali harapan kita tidak bisa menjadi kenyataan, dan kita harus bisa menerimanya.

"Yuk, kita jalan sekarang, Neng," ajakku.

Ia menggeleng.

"Neng mau tunggu ayah dulu, Bun, ayah janji akan datang, kok."

"Mungkin ayahmu sibuk, Neng. Ayo ah, daripada kita kesiangan, nanti Nek dan Abah menunggu kita terlalu lama."

Aku segera menarik tangannya menuju motorku. Kami akan berangkat dari rumah Abah, naik mobil dari sana menuju Pangandaran.

Aku melihatnya cemberut, mungkin ia takut ayahnya ketinggalan. Namun, aku justru lebih takut melihatnya kecewa karena ayahnya tidak akan pernah datang.

***

"Mana neng geulis Abah yang sekarang ulang tahun?" tanya Abah saat motor kami memasuki halaman rumah Abah. Abah langsung menyodorkan satu balon berwarna jingga, warna kesukaan Kalila.

Aku menurunkan barang bawaanku saat kudengar gawaiku berbunyi. Pesan masuk.

[Salam untuk Kalila, ya. Happy Birthday, maaf Abi belum bisa bawa kado]

Pesan dari Abi.

Setelah sekian lama dan aku punya banyak pertanyaan untuknya. Sayangnya aku tidak bisa langsung menjawabnya, aku harus segera merapikan barang bawaan kami ke mobil Papi.

Kami akan kesorean jika tidak segera berangkat.

***

Kupikir Kalila sudah melupakan janji ayahnya. Ia terlihat asyik dengan Papi sambil memandangi pemandangan selama perjalanan sebelum akhirnya tertidur di pelukan Papi. Aku tersenyum melihat Kalila. Cucu kesayangan abah, selalu saja aku kalah pamor bila ada abahnya.

Kalila mau makan sama Abah, Bun.

Kalila duduknya mau di sebelah Abah ya, Bun.

Kalila mau tidur di kamar Abah, Bun. Yang ini bila akhir pekan kami silaturrahim ke rumah abah.

Aku berniat mengabadikan momen Kalila tidur dan mengambil gawaiku dari dalam tas.

10 missed calls.

Nomor Tyo. Aku sudah siap dengan alasan apapun yang akan dia sampaikan untuk membatalkan janjinya.

[Kalian menginap di mana?]

[Aku juga sudah dalam perjalanan menuju kesana]

[Kalila sedang apa?]

Tyo terus saja mengirimiku pesan. Apa ia benar-benar akan datang? Aku bahkan belum bercerita pada Mami dan Papi bahwa Tyo akan datang di acara ulang tahun Kalila. Bagaimana reaksi Papi nanti? Aku tidak ingin Kalila melihat abah dan ayahnya saling bersitegang bila bertemu kelak.

Aku memutuskan tidak menjawab pesannya.

***

Sudah sore ketika kami sampai di penginapan. Kalila bangun ketika Papi menggendongnya menuju kamar.

"Bunda, mana ayah?"

Kalimat pertama Kalila ketika bangun membuat Papi memandangku heran.

"Apakah kamu mengundangnya?" tanyanya kesal.

Aku menggeleng, lalu memberi isyarat bahwa Kalila yang mengajaknya.

"Ayah belum datang, Neng. Kan tadi Bunda bilang, mungkin ayah sibuk dengan pekerjaannya," jelasku.

Kalila turun dari gendongan Papi, meminta menunggu di teras. Aku menjelaskan pada papi bahwa Kalila bertemu ayahnya belum lama ini dan ayahnya membuat janji akan datang di hari ulang tahunnya. Papi terlihat kecewa karena aku baru menceritakan hal ini, tetapi tadinya kupikir memang tak perlu karena ayahnya tidak akan benar-benar datang.

Sudah terdengar azan ashar saat Kalila belum juga mau masuk dan makan. Akhirnya kuputuskan untuk memberitahu Tyo lokasi penginapan kami.

***

Aku baru saja membereskan bekas makanan yang kami bawa ketika terdengar suara teriakan Kalila.

"Ayah..."

Aku menyusulnya ke teras. Kalila langsung menghambur ke arah Tyo, orang yang sudah ia tunggu sejak pagi. Kulihat Papi tidak menyukai kehadirannya, tetapi aku memberikan isyarat untuk menahan diri. Demi Kalila.

Tyo menghampiri kami. Papi jelas-jelas menampik uluran tangannya.

"Maafkan aku datang terlambat, Mila," ujarnya.

Aku tidak menjawab. Aku sebenarnya tidak menyangka bahwa ia akan benar-benar datang. Nyatanya, ia benar-benar ada di depanku. Membuat tawa Kalila menjadi lebih lebar.

***

Kami terlihat seperti keluarga bahagia. Seorang ayah dan anak yang berlarian mengejar ombak, sedangkan ibunya menunggu di bawah payung pantai sambil mengabadikan momen lewat gawainya.

Senja itu, kubiarkan Kalila puas bermain dengan ayahnya. Ini kali pertama Kalila bermain di pantai, wajar jika ia ketakutan melihat ombak bergulung ke arahnya. Tangan Tyo selalu cekatan menggenggam Kalila, memastikan bahwa Kalila aman bersamanya.

Aku menyusul mereka ke pantai setelah menjelaskan pada Mami Papi soal hubunganku dengan Tyo sekarang. Tidak ada hal baru yang terjadi, Tyo datang hanya untuk menemui Kalila. Itu saja.

Sesekali Tyo melihat ke arahku. Aku menyadarinya karena tak sengaja mata kami bersinggungan.

Tolong, Tyo. Jangan paksa aku untuk mengizinkanmu lebih dari ini.

Gambar diambil dari http://galuhmerryfitriana.blogspot.com/2015/02/pantai-angsana-nan-mempesona.html

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang