Semua Menghilang

1.3K 94 2
                                    

"Apa yang membuatmu ragu, Mila." Abi terlihat sedih di depanku.

Kami memutuskan untuk berbicara tentang niatan kami menikah sekali lagi. Kemarin Abi sudah bertemu Mami dan kelihatannya Mami menyukai Abi. Mereka berbincang tentang masa lalu, juga masa depan di kursi tamu di teras rumahku. Aku hanya bisa bersembunyi di balik jendela sambil mencuri dengar percakapan mereka di luar.

Tidak ada yang salah pada Abi. Aku yang ragu. Namun, hingga kini aku belum menemukan apa penyebab timbulnya keraguan ini.

Aku mencoba berani memandang ke arahnya.

"Aku janda, Bi, dan aku punya Kalila," mulaiku.

"Aku tahu dan aku sedang belajar untuk siap menjadi ayah baginya."

Aku tahu Abi sungguh-sungguh dengan ucapannya. Beberapa kali ia memajang status di whatsapp tentang kegiatan bertajuk 'keayahan', lalu menuliskan kata-kata bijak tentang belajar menjadi ayah yang baik. Ketika bertemu Kalila pun ia sudah melakukan pendekatan dengan cara yang baik. Kalila beberapa kali menanyakan kapan Om Abi akan datang ke rumah lagi dan bermain dengannya.

Aku menarik nafas lagi. Itu bukan alasan yang tepat.

"Kamu tahu, kan? Cicilanku banyak, aku harus bekerja untuk membayar cicilan rumahku, motorku..."

Abi memotong perkataanku.

"Itu kan ketika kamu harus memutuskan sendiri. Jika kamu menjadi istriku, kita akan buat perencanaan hidup yang lebih baik, insyaa Allah," tegasnya mantap.

Aku menatap laki-laki di depanku, mencoba melihat ke dalam matanya, lalu tersipu.

Aku mengulang perkataannya lagi di dalam hati, jika kamu menjadi istriku, mendengarnya saja membuatku benar-benar malu. Untungnya kulitku gelap sehingga rona merah di pipiku tidak begitu terlihat.

Aku memandang Resa yang duduk di kananku. Dia hanya tersenyum menggoda.

Resa yang mengusulkan pertemuan ini, kami berdua harus yakin akan keputusan kami. Jika tekad kami sudah bulat, barulah kami akan serius melanjutkan kepada masing-masing keluarga. Namun, jika aku masih ragu, haruskah kami melanjutkan ini?

"Abi...apakah...kamu mencintaiku?" Aku menunduk malu. Pertanyaan ini sangat memalukan bagiku, tetapi Resa mengingatkan bahwa semua hal yang membuatku ragu harus disampaikan.

Aku memandang kentongan yang tergantung di pojok saung yang kami duduki. Mencoba mengalihkan pandangan dari laki-laki yang terus mengganggu pikiranku. Restoran ini sangat sepi, siang ini hanya kami yang berkunjung untuk makan siang. Tempatnya memang agak jauh dari pusat kota, sengaja dipilih Abi agar kami bisa leluasa bercerita.

Abi tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Mila, can't you feel it?" tanyanya.

Aku menoleh sebentar ke arah Resa, mencoba meminta persetujuannya untuk menjawab pertanyaan Abi.

"Kamu tahu... Tyo, mantan suamiku, dia juga berkata begitu di awal pernikahan kami. Dia bilang, dia tidak akan pernah melepaskanku dengan alasan apa pun," isakku tertahan.

"Kalian tahu yang terjadi selanjutnya, kan? Akhirnya ia pergi dan meninggalkanku demi wanita lain yang menurutnya lebih baik dariku." Aku mengelap air mata yang mulai menetes dari mataku.

"Sejak saat itu, aku tidak yakin bisa percaya lagi dengan ucapan lelaki. Sampai kamu datang, Bi. Pengakuanmu yang terkesan mendadak sejak pertama kita bertemu, aku mudah sekali untuk percaya lagi. Kali ini aku ragu pada diriku sendiri, Bi."

Aku suka lesung di pipimu jika kamu tersenyum, suka pada kata-kata manismu yang meronakan pipi. Aku suka pada perhatianmu pada Kalila dan aku. Namun...

"Aku...belum siap jika harus disakiti lagi, Bi."

Lega rasanya mengeluarkan itu semua dari hati. Perasaan dicampakkan, sekalipun sudah bertahun-tahun, masih terasa sangat sakit. Abi harus tahu bahwa hati ini pernah hancur berkeping-keping, dan tidak mudah untuk menyatukan kembali. Butuh orang dengan kesabaran dan kesungguhan hati untuk bisa membuatku yakin lagi.

Abi menghentikan senyumnya. Tangannya hampir saja meraih tanganku di atas meja sebelum akhirnya ia menyadari bahwa kami belum pantas melakukan itu.

"Mila, Mamay ibuku bercerai dengan Papap ketika aku berusia 15 tahun. Aku yang baru saja masuk ke sekolah baru bahkan harus izin sebulan karena harus menemani Mamay."

"Mamay masih muda dan cantik. Beberapa kali datang lelaki yang tampak baik dan membuat Mamay percaya pada kesungguhan mereka. Namun, tidak ada yang benar-benar mengucap akad pada Mamay."

"Aku melihat Mamay pura-pura tegar di hadapan kami, tetapi aku tahu hatinya terluka. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk tidak mau menikah dengan siapa pun lagi dan fokus pada aku, Bram dan Restu."

"Sejak saat itu aku bertekad, aku tidak akan main-main dengan perasaanku pada wanita."

"Aku bertemu denganmu, dan rasa itu muncul begitu saja. Aku cinta padamu, aku ingin menjagamu. Mungkin ini jawaban doaku, aku berharap akan ada laki-laki yang bisa menjaga Mamay dengan tulus. Bagaimana bisa aku berharap hal itu, jika aku saja tidak berani melakukannya."

"Aku pikir tadinya aku hanya terbawa perasaan. Aku menghilang setelah mengirimkan pesan pertamaku bukan hanya karena pekerjaan. Aku...harus memastikan perasaanku. Dan sekarang aku yakin"

"Aku sadar kamu butuh waktu, aku hanya takut...kamu ragu karena Tyo kembali."

Blass.

Tatapan Abi kali ini tidak akan kuhindari. Aku memandangnya lekat, dalam telingaku lagu Christina Perri, lagu tema pernikahanku dengan Tyo dulu pun mengalun lagi.

How to be brave?

How can I love when I'm afraid to fall

But watching you stand alone?

All of my doubt suddenly goes away somehow

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang