Pengakuan Abi

2.2K 124 2
                                    

"Teteh sudah ingat aku, ya?" tembaknya.

Aku mengangguk. Lesung pipit di pipi kirinya sangat khas.

"Ini Dede, kan, ya? Dari kemarin aku kira siapa ini ada orang SKSD. Ternyata Iwan. Sehat, Wan?" tanyaku lagi.

Ia terlihat senang karena aku mengingatnya, lalu memperkenalkan dirinya secara lengkap.

Abimanyu Darmawan. Seingatku dulu ia dipanggil Iwan, dan hanya aku yang memanggilnya Dede. Sekarang nama panggilannya berganti menjadi Abi. Tiga nama untuk satu orang yang sama.

Beberapa orang yang makan di kantin mulai memperhatikan kami. Aku lupa, kami bukan kanak-kanak lagi. Seorang laki-laki muda yang baru masuk kantor dan seorang kepala divisi yang biasanya tertutup soal urusan pribadinya terlihat asyik berbincang berdua. Mencurigakan.

"Wan, aku balik duluan ya, ada yang harus kuselesaikan di mejaku."

Aku meninggalkan Iwan yang mungkin heran mengapa obrolan kami harus terhenti. Aku harus pergi, menghindar dari fitnah yang mungkin bisa timbul karena kedekatan kami.

***

Setelah obrolan kemarin, entah mengapa aku jadi lebih sering bertemu Iwan alias Abi. Ia memintaku memanggilnya Abi, agar sama dengan panggilan orang lain untuknya. Bahkan hari itu, aku bertemu dengannya di lapangan.

Aku bertugas mewakili lembaga untuk menyerahkan cinderamata bagi anak-anak yang dikhitan. Abi, seperti biasa, ia bertugas mendokumentasikan kegiatan.

Ia mendekat ke arahku seusai acara. Bicaranya terdengar gugup menutupi wajah kagetnya karena melihatku sedang menggendong balita.

"Teteh, sudah menikah?"

Pertanyaan retoris. Harusnya ia tahu jawabannya. Anak perempuan yang kugendong memiliki bentuk wajah, hidung dan bibir yang sangat mirip denganku. Kalila, anak sematawayangku. Ia tertidur setelah aktif berlarian sepanjang acara.

Sebelum menjawab, aku menghela nafas panjang dan mengangguk.

"Aku sudah bercerai, Bi. Tiga tahun yang lalu."

Aku tak mengerti mengapa bisa semudah itu menjelaskan statusku pada Abi. Biasanya aku menutup diri. Rekan kerjaku mungkin tahu, tetapi aku tidak pernah menjelaskan secara gamblang tentang statusku.

Setiap kegiatan yang melibatkan keluarga. Aku selalu bilang ayah Kalila ada di luar kota. Jawaban yang paling diplomatis yang bisa kusampaikan. Aku tidak bohong, ayah Kalila memang ada di luar kota, dengan keluarga barunya.

Lamunanku terhenti karena ucapan maaf dari Abi.

"Maafin Abi, ya, Teh. Sudah lancang bertanya hal-hal yang bersifat pribadi."

"Never mind," tangkisku cepat.

Ia lalu pamit pulang duluan, sedangkan aku masih menunggu taksi online pesananku. Setiap bersama Kalila, aku merasa tidak aman membawa motor sendiri. Sebagai gantinya, aku memesan taksi online untuk mobilisasiku.

Selepas kepergian Abi, aku malah terheran-heran dengan diriku. Mengapa semudah itu menjelaskan statusku pada Abi?

Apakah karena aku masih menganggapnya 'anak kecilku'?

Dulu, setiap kali bermain aanjangan. Abi selalu berperan sebagai anakku, ia manut saja ketika 'kusuapi makanan dengan sendok', lalu kugandeng tangannya sambil berjalan-jalan ke 'pasar buah'.

Dulu, kami begitu dekat.

Hingga akhirnya Abi pesantren di luar kota dan aku sibuk dengan persiapan SNMPTN-ku. Kami melanjutkan hidup masing-masing.

***

Aku tahu Abi menjaga jarak setelah pengakuanku hari itu. Kami masih sering berpapasan di kantor, di kantin ataupun di tempat parkir. Lalu saling melempar senyum, tanpa kata.

Kami juga tidak pernah bertukar nomor telepon untuk sekedar menyimpan kontak -untuk kemudian menghubungi ketika sempat.

Hingga malam itu, aku sudah siap untuk tidur. Kalila baru saja terlelap di sampingku. Aku mendengar gawaiku berbunyi, tanda pesan masuk.

Nomor tak dikenal. Jantungku berdebar membaca tiap kata yang tertulis di sana.

'Dear, Mila.

Maafkan aku lancang menghubungimu begini.

Aku masih merasa bersalah atas pertanyaanku tempo hari. Tapi, itu membuatku berani bertanya banyak tentangmu pada teman-teman lain di kantor kita.

Adalah takdir aku dipertemukan denganmu lagi.

Aku bukanlah Iwan yang dulu, bukan anak lima tahun yang hanya bisa menurut ketika diajak bermain masak-masakan oleh seorang kakak perempuannya.

Aku Abi, seorang pria dewasa yang menolak diam saja ketika takdir membawanya menemui cinta pertamanya.

Tolong izinkan aku menjalani takdir ini dengan baik.

Sampai bertemu besok, Teh'

***

Ini... Abi? Hampir saja aku tergelak dan menekan tombol emot tertawa lebar banyak-banyak untuk menjawab pesannya.

Lalu, aku tersadar bahwa ia tidak main-main dengan apa yang ia sampaikan.

Cinta pertama? aku terkekeh lagi.

Ingatanku melayang saat usiaku 14 tahun, berseragam putih biru. Ada teman laki-laki yang menaruh hati padaku. Sering main ke rumah hanya untuk mengerjakan PR bersama, bukan hanya berdua.

Abi selalu ada. Memastikan bahwa laki-laki itu tidak melakukan PDKT denganku. Dulu aku kesal karena ia seolah menjadi adik kecil nakal yang usil pada teman-teman kakaknya. Jadi, itu... cinta?

Abi salah kira. Aku baik padanya karena murni menganggapnya adik. Sosok adik yang tak pernah ada dalam hidupku, karena aku juga anak sematawayang dari Papi dan Mami.

Aku tak sabar menunggu esok hari. Melihat betapa kikuknya ia setelah mengirimkan pesan ini. Aku terpejam sambil tersenyum tanpa melepas gawai dari genggaman.

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang