Prasetyo, Lelaki Pertama

1.6K 98 1
                                    

"Kamu benar akan menikahinya, Mil?" ujar Resa sahabatku. Aku tahu ia meragukan keputusanku. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Aku belum pernah seyakin ini, Sa," tegasku.

"Apakah dia lelaki yang selalu kamu pinta dalam tiap doamu?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.

Aku memandangnya lagi. Resa, dia adalah orang yang sangat mengenalku. Dia tahu betapa aku sudah ingin menikah, dia juga yang selalu mau menemaniku mengikuti kelas-kelas pernikahan untuk mempersiapkan diri. Dia khawatir aku tergesa-gesa, hanya karena ingin segera menikah.

"Tenang saja, ya, Sa. Aku sudah meminta petunjuk-Nya, doakan aku," pintaku.

Wajar ia terkejut, wajar ia khawatir. Mami dan Papi pun tampak tidak percaya padaku. Mila, yang tidak pernah bicara apapun soal laki-laki, tiba-tiba mengatakan akan menikah, dan laki-laki itu akan datang untuk berkenalan akhir pekan.

***

Semuanya memang serba cepat. Aku bertemu dengannya di sebuah acara di dekat kampusku. Seniorku bilang, ia menangkap binar mata yang berbeda ketika aku melihatnya. Alasan inilah yang membuatnya berani untuk mengenalkan aku dengan lelaki itu lebih jauh.

Pertemuan pertama, laki-laki itu tampak percaya diri. Tidak seperti yang lainnya, yang ragu untuk mendekatiku karena latar belakang keluargaku- aku adalah anak orang yang cukup terpandang di kota kami.

Aku banyak bercerita tentang lelaki idaman yang kuharapkan menjadi seorang imam dalam hidupku, dan ia hanya tertawa mendengarnya. Aku banyak mengajukan syarat untuk kehidupanku kelak, dan ia malah membuatku merasa kalah dengan pertanyaan 'kamu sudah siap, kan, jika sebagai istri kamu harus mematuhi perintah suamimu?'

Pertemuan kedua, di rumahku. Aku sudah gelisah menunggu kehadirannya, ia bilang akan datang pukul 19.00. Sedari sore hatiku sudah berdegup kencang. Akankah ia benar-benar datang? Atau ia hanya laki-laki yang gemar mengumbar kata-kata tanpa berani membuktikannya.

Namun, ternyata ia benar-benar datang bersama ayah dan ibunya.

Ia tersenyum padaku saat melihatku membawakan cangkir berisi teh manis ke ruang tamu. Senyum yang mampu menghipnotisku. Untungnya, nampan biru muda yang kupegang tidak terlepas saking gugupnya. Aku memindahkan cangkir itu dengan tangan bergetar, yang berusaha kusamarkan agar tidak ada yang menyadarinya.

Pertemuan kedua yang menghasilkan tanggal yang dipilih oleh kedua orang tua kami untuk melangsungkan pernikahan. Aku agak terkejut mendengar semudah itu orang tuaku menerima Prasetyo untuk menikahiku. Biasanya kulihat di film-film, ayah sang gadis akan melakukan beberapa ujian apakah laki-laki yang datang melamar anaknya adalah orang baik-baik atau bukan. Apalagi aku adalah anak perempuan satu-satunya.

Prasetyo justru diterima dengan tangan terbuka.

Padahal kami jelas berbeda. Kami berasal dari suku yang berbeda, tak lazim bagi keluargaku untuk menikah dengan orang antarsuku. Beberapa sepupuku bahkan menikah dengan 'sepupu tiga kali', sebutan untuk cucu-cucu dari seorang nenek yang memiliki hubungan sepupu. Alasannya, untuk terus mempererat hubungan keluarga.

Kami berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi berbeda, sebenarnya aku tidak mempermasalahkan ini, tetapi seringkali -masih dalam film yang kutonton, masalah 'level ekonomi' menjadi hal yang begitu penting untuk dibahas. Tidak mungkin menikah dengan orang dengan strata berbeda. Aku sempat melihat betapa canggungnya orang tua Tyo ketika masuk ke ruang tamu kami, rumah Tyo bahkan tidak lebih luas dari ukuran ruangan ini.

Aku memandang takjub pada kedua orang tuaku, berusaha mengucapkan terima kasih atas kerelaan hati mereka menyambut 'calon suami'-ku dengan baik sekaligus mempertanyakan, apakah harus prosesnya berjalan secepat ini.

Resa, yang juga hadir di rumahku saat itu memegang tanganku erat, berpesan agar aku terus meminta petunjuk dari Allah. Aku menangkap raut yang berbeda pada wajahnya, raut yang baru ku mengerti artinya setahun setelah itu.

***

Prasetyo.

Aku menyebut nama itu lagi dalam hatiku. Lelaki dengan senyum termanis yang pernah Allah anugerahkan kepadaku. Jika pernikahan kami masih berlangsung, tahun ini akan menginjak tahun kelima. Namun, tidak sampai hitungan satu. Perahu kami sudah karam di tengah jalan.

Awalnya semua terasa baik-baik saja. Kami, pasangan baru yang baru mengenal saling jatuh cinta. Kemana-mana bila berdua rasanya seperti menjadi pasangan raja dan ratu. Aku paling suka bersender di punggung Tyo sambil melingkarkan tangan di pinggangnya. Ya, raja dan ratu ini bukan menaiki kereta kencana, namun sebuah motor matic besar hadiah dari orang tuaku.

Perselisihan kecil akibat perbedaan kebiasaan adalah hal yang lumrah di awal pernikahan, kan? Soal meletakkan handuk di pinggir kasur, soal meletakkan barang kembali pada tempatnya. Namun, hal itu menjadi hal yang cepat dilupakan, apalagi setelah itu aku langsung dinyatakan hamil.

Reaksi Prasetyo di luar dugaan.

"Kamu hamil, Mila?" Ia menanyakan itu dengan ekspresi yang sulit kujelaskan. Pertanyaannya kujawab dengan senyum lebar sambil mengangguk-angguk selayaknya seorang anak perempuan yang baru mendapat hadiah permen dari orang tuanya.

Berbeda denganku yang sangat mengharapkan anak, dia berharap bisa lebih lama untuk bisa menjadi sepasang kekasih saja. Kita butuh saling mengenal lebih jauh, aku ingin bersamamu berdua saja dulu, begitu ujarnya.

Kehamilan pertamaku yang lebih banyak kujalani sendiri. Tyo dipromosikan di tempat kerjanya, ia mulai sering ditugaskan keluar kota, tetapi ia juga yang melarangku untuk tinggal di rumah papi. Alasannya, supaya aku tidak mudah bergantung pada orang lain.

Tidak ada cerita 'ngidam' yang kualami. Aku berusaha memakan makanan yang sehat demi nutrisi yang dibutuhkan janinku. Semakin besar janinku tidak menambah rasa peduli Tyo terhadapku. Berkali-kali aku mengajaknya merasakan tendangan-tendangan yang mulai dilakukan jabang bayi di trimester kedua kehamilan. Ia hanya sibuk memandangi layar gawainya dengan pandangan yang genit. Entah dengan siapa ia sedang bercengkrama.

Berkali-kali aku memintanya menjadi imam salat wajibku, tetapi ia memintaku salat duluan karena masih ada urusan kerjaan yang harus diselesaikan segera. Aku mendorongnya untuk pergi ke masjid agar salat di awal waktu, sambil mendoakan kelancaran kehamilan pertamaku ini, ia malah bilang bahwa doa bisa dilakukan di mana saja.

Aku sempat merasa aneh. Benarkah ini Prasetyo-ku? Bukankah ia adalah orang yang seorang yang paham agama. Sering menjadi imam salat di masjid dekat rumah orang tuanya, seseorang dengan bacaan tilawah yang merdu, yang membacakanku surat Ar-Rahman setelah ijab kabul dulu. Mengapa sekarang ia berubah menjadi seperti ini?

Gambar diambil dari https://i.pinimg.com/736x/46/7d/84/467d84331d318159e6851bde3da01021.jpg

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang