Hidup Baru

1.8K 103 3
                                    

"Hai suami," panggilku kepada laki-laki yang terbangun di sebelahku. Sudah sebulan ini kami menjalani kehidupan pernikahan seperti ini. Bila orang bilang bahwa bulan pertama pernikahan terasa seperti di surga, ya mungkin memang beginilah rasanya.

Ini memang bukan kali pertama aku memiliki seorang suami, tetapi ini untuk pertama kalinya aku merasa sangat bahagia dimiliki oleh seseorang. Aku tidak perlu terlihat seperti orang lain yang bisa menyenangkan matanya. Aku cukup menjadi diriku sendiri.

"Hai, cintaku," jawabnya.

Ia paling tahu bahasa cinta yang sesuai untukku.

Cinta bagiku adalah kata-kata manis.

Walaupun ia tak segan membantuku dalam urusan domestik di rumah, aku akan langsung menunjukkan sikap murung apabila dalam sehari saja ia tidak memanggilku dengan panggilan istimewanya. Cintaku.

Aku pun belajar memahami bahasa cintanya. Cinta baginya adalah waktu yang berkualitas. Sejak menikah dan aku resign dari pekerjaanku, kami hanya bertemu di malam hari dan akhir pekan saja. Ketika ia datang, aku harus meninggalkan seluruh aktivitasku dan fokus hanya padanya.

Ia tidak terlalu rewel dengan makanan yang kubuat untuknya, ia memakan segala yang kusiapkan dan memujinya. Bila ia tidak suka, ia hanya mencobanya sedikit lalu meninggalkannya.

Ia tahu bahwa aku telah ikut kursus pijat khusus pasangan sebelum menikah dengannya, ia berkata bahwa aku adalah tukang pijat kesayangannya. Namun, sentuhan tanganku bukan hal yang paling ia suka.

Abimanyu adalah orang pertama yang membuatku bisa lupa di mana posisi gawaiku berhari-hari hanya karena ia tidak suka aku memperhatikan hal lain ketika berada dengannya. Aku pun mulai menikmati cerita soal pekerjaannya padahal aku sudah mendengarnya setiap hari, selama dua puluh hari semenjak ia selesai dari cutinya. Seolah-olah aku sudah bisa menjadi fotografer handal hanya karena aku mendengar dari ceritanya saja.

"Mas Abi, hari ini libur, kan? Ada agenda apakah?" tanyaku lagi.

Setiap Jumat, Kalila akan dijemput oleh Tyo. Kalila akan menghabiskan setiap akhir pekan bersama keluarga ayahnya. Itu berarti setiap akhir pekan, aku akan berduaan saja dengan Abi.

Ia mengangguk lemah. Seusai salat subuh tadi, tidak seperti biasanya ia meminta izin untuk tidur lagi. Biasanya kami akan berlari sampai ke puncak gunung untuk kemudian memandangi kota Bandung yang semakin padat.

Abi mengajakku pindah ke rumah yang sudah ia siapkan untuk keluarga kecil kami. Rumah di atas bukit yang nyaman karena semua penghuninya saling mencintai.

"Hari ini aku lelah sekali, bolehkah aku minta dibuatkan segelas susu jahe hangat? Bolehkah takaran susunya lebih banyak dari biasanya?" pintanya sambil tidak beranjak dari tempat tidurnya. Aku mengangguk.

Sebelum keluar kamar, aku mencium keningnya perlahan. Ia menahan tanganku seolah enggan melepaskanku.

"Istirahat saja dulu," kataku.

***

Aku menuju dapur. Mendidihkan air sambil membersihkan jahe di bawah aliran air. Aku memukul jahe itu dengan ulekan agar rasa jahe lebih terasa saat dimasukkan ke dalam rebusan air. Kutambahkan kayu manis, cengkeh dan gula pasir secukupnya. Lalu kuaduk semuanya sampai wedangnya mendidih. Terakhir kumasukkan susu kental manis. Biasanya aku hanya menyendokkan lima sendok makan, tetapi kali ini, sesuai permintaannya aku memasukkan tujuh sendok makan.

Aku menyiapkan gelas untuk menghidangkan. Gelas paling besar yang ada di rumah ini, ia bilang, ini menunjukkan bahwa ia lah yang paling besar tanggung jawabnya di dalam keluarga ini. Aku tersenyum mengingat perkataannya.

Pelan-pelan aku membawakan minumannya, takut mengganggu istirahatnya.

"Mas, Mas Abi..." panggilku sambil meletakkan gelas berisi wedang susu jahe di sebelahnya. Aromanya sudah tercium ke penjuru kamar. Biasanya ia akan terbangun setelah mencium aroma ini.

Aku memandang ke arahnya, wajahnya masih terlihat lelap. Aku mendekat ke arah telinganya, membisikkan namanya.

"Abimanyu Darmawan, my love."

Ia tidak bergeming. Otakku membisikkan satu perintah, tetapi hatiku menolaknya. Ini tidak mungkin, sanggah hatiku.

Aku memegang dahinya, masih hangat. Mungkin ia benar-benar kelelahan, paksa hatiku menenangkan.

Kuperhatikan tubuhnya, tidak ada gerakan kembang kempis di dadanya.

Please, Abi. Don't do this to me. You've promised me.

Aku mengambil kapas dari meja riasku, kuusapkan di kelopak matanya. Matanya tidak berkedip sama sekali. Aku langsung terduduk di samping tempat tidur, tidak tahu harus membangunkan Abi dengan cara bagaimana lagi.

Aku memaksa berdiri, mengambil gawai di laci lemariku. Menyalakan daya gawaiku lalu memencet satu nomor yang paling bisa kuingat. Mami.

***

Aku hanya terdiam saat Mami dan Papi datang bersama dokter yang juga masih tetangga di sebelah rumah Papi. Aku menatap mereka dengan tatapan kosong, berharap mereka membangunkan aku dari tidurku dan membuatku tersadar bahwa semua ini hanya mimpi. Namun, mereka tidak melakukannya. Mereka berjalan menuju kamar Abi, lalu terdengar tangis Mami yang datang untuk memelukku.

Mami, tolong katakan padaku bahwa Abi-ku baik-baik saja.

Lelaki yang Kupinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang