7. Hadiah

246 16 1
                                    

Aku memperhatikannya.

Sedari pagi aku terus memperhatikan dirinya. Dimana pun dia berada, aku terus memperhatikannya. Hanya ada satu alasan kenapa aku memperhatikannya. Aku sedang mencari sisi lain dari sosok raja yang dicintai rakyatnya ini. Diriku di masa lalu menginginkan aku menghentikan pembunuhan ini, tapi diriku yang sekarang sedang menginginkan sebuah pengakuan dari ibunya. Aku ingin menyakinkan diriku dengan cara melihat sisi buruk dari raja ini.

"Yang Mulia... " panggil Himeka yang sedari tadi berada di belakangku. Sebagai pelayan pribadiku, sudah tentu dia selalu mengikutiku.

"Jika anda ingin tahu sesuatu tentang Yang Mulia Raja, kenapa tidak langsung tanyakan langsung saja padanya?" Kata Himeka dengan suara kelelahan.

Aku menatap Himeka tajam, menunjukkan kesungguhanku yang sedang mencari tahu tentang sesuatu.

"Himeka, tunggulah sebentar lagi. Tenang saja, aku akan menyelamatkanmu." Jelasku serius.
"Apa yang anda bicarakan Yang Mulia?" jawabnya kebingungan.

Mataku kembali mengarah pada pergerakan raja itu. Dia tidak melakukan apapun selain berjalan di sekitar kerajaan.

Sudah berjam-jam aku memperhatikannya. Tapi sisi yang sedang aku cari tidak pernah dia tunjukkan.

Di taman, ketika tukang kebun salah memotong ranting pohon. Di dapur, ketika seorang pelayan terpeleset dan menumpahkan air panas pada bajunya. Di koridor, ketika penasihatnya tidak sengaja merusak vas bunga yang ada di sekitarnya. Raja itu tidak marah, dia tidak menghukum siapapun diantara mereka. Atau mungkin memang karena itu merupakan permasalahan sepele dia tidak menghukum mereka. Aku tidak menemukan sisi buruknya kecuali melihatnya yang memasang wajah jahatnya hanya kepadaku.

Sudah kusiapkan pisau dibalik gaunku yang besar. Aku sudah siap sedia jika dia melakukan hal yang tidak aku suka sedikit saja. Himeka memang bersamaku, tapi dia tidak tahu tujuanku dibalik tingkah lakuku ini.

Sekarang aku melihatnya berbicara bersama dengan ratu ke-82. Aku melihat raut wajah Sang Ratu yang kaget ketika mendengar perkataan cucunya itu. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi setelah itu mereka pergi keluar istana menggunakan kereta.

"Himeka, ayo panggil seorang kusir juga! " perintahku pada Himeka untuk mengejar raja itu.

Himeka masih terengah-engah. Dia lelah karena terus menemaniku yang terus mengikuti Sang Raja.

Aku tidak tega melihat pelayanku seperti itu. Seharusnya dia tidak perlu melakukan semua ini untukku. Lagi-lagi aku salah melangkah karena tidak memperhatikan sekitar.

"Himeka, kau tidak apa-apa?" tanyaku mendekatinya.

"Sebaiknya kau tidak memaksakan diri, ayo kita istirahat Himeka."
Di tangga dekat pintu masuk utama kastil kami duduk. Sejenak mengistirahatkan badan Himeka yang sedang kelelahan. Aku merasa bersalah karena membiarkan Himeka terus mengikutiku sedari tadi.

"Maafkan aku Himeka, karena diriku, kau jadi kelelahan." Kataku yang sedang mengelus pundaknya.
"Bagaimana jika aku mengambilkan minum untukmu?" tawarku.

"Tidak perlu Yang Mulia," tolak Himeka. "Sangat tidak sopan bagi saya jika anda melakukan itu."
Wajahku memelas kasihan. Aku merasa bersalah kepadanya.
Himeka hanya tersenyum, mengatakan padaku bahwa dia baik-baik saja.

"Ngomong-ngomong Yang Mulia, kenapa anda melakukan pengamatan seperti itu pada raja?"

Pertanyaan Himeka membuatku kaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa pada dirinya.

Aku menundukkan pandanganku, mengepalkan tanganku agar lebih berani mengatakan yang sejujurnya pada Himeka.

"Maaf, aku hanya sedang mencari sisi lain dari Yang Mulia." Jelasku.
"Maksud anda?"
"Aku sedang mencari sosoknya yang selalu ditakuti oleh orang-orang. Dengan kata lain, aku sedang mencari sosoknya yang mengerikan."

Assassination a King [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang