Taeyong terduduk diam di dalam ruang kecil itu. Tempat tinggalnya sebelum dia tinggal di asrama sekolahnya. Tak ada yang berubah. Tempat yang mereka sebut rumah hanyalah sebuah ruangan yang tak terlalu besar. Di mana hanya ada beberapa lemari, kamar mandi, beberapa meja yang tak terlalu besar, bahkan dapurnya pun berada di dalam ruangan yang sama. Tak ada sekat-sekat yang membatasi.
Untuk apa? Mereka tak memerlukannya. Lagipula itu hanya akan membuat ruangan mereka yang kecil bertambah sempit. Tak ada sofa ataupun satu set meja makan. Tak perlu ada tempat tidur. Karena yang mereka gunakan adalah futon besar yang mereka pakai bersama.
Futon yang hampir tiap pagi Taeyong rapikan untuk disimpan kembali ke dalam lemari. Tak ada televisi. Mereka tak butuh. Karena ke empat penghuni rumah itu tak akan ada di dalam rumah terkecuali pagi-pagi sekali dan malam hari.
Taeyong mengingat semuanya. Di mana ibunya bangun saat matahari belum menampakkan diri. Melakukan tugasnya sebagai buruh cuci pakaian milik tetangga-tetangga mereka.
Dilanjutkan dengan kedua adiknya yang bekerja sebagai pengantar susu dan koran. Lalu dirinya yang akan mengambil bagian membereskan rumah dan menyiapkan sarapan. Tak jarang dia membantu pekerjaan ibunya.
Seluruh keluarga bekerja keras untuk membiayai sekolahnya.Ya. Hanya dirinya. Jongjin, adik laki-lakinya merelakan dirinya menjadi seorang office boy di sebuah perusahaan. Sedangkan Yongri bekerja di sebuah toko kelontong di pasar. Tak jarang adiknya itu membawa bahan makanan pulang meski dengan kualitas yang tak terlalu bagus.
Dia sempat menolak saat itu. Dia tak mau diperlakukan istimewa. Namun ibunya juga bersikeras. Taeyong harus sekolah agar dapat membawa kesejahteraan pada keluarga mereka. Taeyong menyerah. Menuruti keinginan ibunya. Hingga akhirnya dia mendapat beasiswa penuh di sekolah berasrama yang sekarang ditempatinya. Meninggalkan ibunya meski dia tahu ibunya sedang berjuang melawan penyakitnya dan bertambah parah sejak Taeyong berada di Seoul.
"Tae..."
Taeyong merasakan genggaman hangat di jarinya. Sedikit menolehkan kepalanya, pemuda itu bisa melihat Jaehyun yang tersenyum padanya.
"Johnny Hyung dan yang lain mengucapkan bela sungkawa padamu. Mereka juga minta maaf karena tak bisa datang."
Taeyong mengangguk. "Tak apa."
Jaehyun menyandarkan punggungnya di dinding rumah. Matanya melirik kesamping. Dimana Taeyong duduk dengan pandangan kosong. Kedua tangan mereka terpaut. Dengan lembut Jaehyun membelai jemari Taeyong yang lemah dan dingin.
"Kau sudah makan?" Jaehyun mencoba mengalihkan pikiran Taeyong.
Pemuda itu menggeleng, "belum."
Rumah sedang sepi. Kedua adik Taeyong masih menemui pemilik rumah yang mereka sewa ini. Entah ada urusan apa. Jaehyun tak paham. Namun pemuda itu tahu, dengan bantuan yang diberikannya, Taeyong tak perlu lagi memikirkan tagihan rumah sakit yang sempat membengkak ketika perawatan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beloved Moment • Jaeyong ✅
FanfictionKepindahan Taeyong ke sekolah yang baru menghantarkan ia pada sekelompok siswa yang sangat berpengaruh pada sekolah itu. Ia tidak bisa mengelak, menghindar, bahkan lari dari situasi itu. Jaeyong ft. Johnten, Yuwin, Ilyoung ⚠️bxb;mpreg Original fic b...