29. The Hurtful Truth

5.9K 292 11
                                    

"Rey..." panggilan dengan suara serak itu membuat Rey mendongak

Saat itu netra biru milik Rey beradu dengan netra merah milik Rex. Rey langsung menghampiri kembarannya itu. Tangan Rex terangkat dan melambai meminta Rey menundukan kepalanya. Rey menurut dan saat Rey menunduk, Rex mengusap rambut adiknya perlahan

"Maaf.." ujar Rex masih dengan suara yang serak dan lemah

Rey menggelengkan kepalanya. Rey tahu alasan yang membuat kakaknya meminta maaf. Rey hanya tidak mau kakaknya merasa bersalah atas apa yang bukan salahnya

"Pasti sakit kan kemarin?" Tanya Rex lagi

Rey kembali menggeleng. "Gue gak pa-pa. Asal lo gak pa-pa juga..." ujar Rey pada akhirnya. Rey mengangkat kepalanya dan melihat bibir pucat kembarannya tersenyum tipis ke arahnya

"Mau minum?" Tawar Rey dan Rex mengangguk

Luke menaikan ranjang pasien itu agar Rex bisa duduk dan Rey membantu kakaknya untuk minum. Marlyn dan Charles tersenyum melihat dua kembar itu. Bagi Marlyn rasanya baru kemarin dua anak itu lahir dengan usaha keras dari Erika dan saat ini mereka sudah sangat besar

"Kami keluar dulu. Mau mengabari ayahmu" ujar Marlyn

"Thanks uncle, grand aunty"

Marlyn dan Charles  mengangguk lalu, keluar dari sana. Rex dan Rey juga Jacob, Luke dan Leon berdiam disana. Keheningan melanda mereka sampai suara pintu terbuka dan tertutup membuat Rex menoleh ke arah pintu. Mata Rex melebar saat melihat sosok yang tengah berdiri disana. Bukan kakaknya tapi, sosok yang datang bersama kakaknya. Sosok yang berhasil membuat Rex lupa dimana dirinya sekarang, lupa cara bernapas sampai dia menahan napasnya

"Ignis!" Suara lembut diiringi pelukan hangat dan wangi yang sangat Rex kenal menyadarkan dia dari lamunannya

Rex sendiri tidak sadar kapan dia melamun dan sejak kapan sosok itu sudah berada di depannya dan memeluk dirinya seerat ini? Hati Rex tidak bisa mengelak, dia tahu dan hafal dengan pelukan dan wangi yang menguar memasuki indra penciumannya. Bahkan tanpa dia sadari tangannya sudah bergerak dan memeluk sosok di depannya

"Axella..." panggil Rex dengan lirih

"Hnn..."

Rex membenamkan hidungnya di ceruk leher gadis di depannya. Menghirup dalam-dalam wangi yang dulu selalu masuk ke dalam hidungnya saat sang gadis bersamanya

"Axella. My Xella" ujar Rex lagi

Saudara-saudara Rex hanya bisa tersenyum dan menonton pasangan di depan mereka. Mereka terharu dengan apa yang mereka lihat. Rey bisa merasakan kakaknya akan menangis kalau saja tidak ada mereka disana

"Kak, gue sama kak Vannya dan yang lain ke ruang tamu ya" ujar Rey dan Rex hanya berdeham sebagai jawaban

Selepas semua saudaranya berpindah ke ruang sebelah, Rex melepaskan pelukannya dan menangkup pipi Axella. Dia menatap wajah ayu itu dengan tatapan lembut.

"Kemana saja kamu selama ini?" Tanya Rex

"Dad dan Mom mengirimku ke Celztia dan mereka tidak mengizinkan aku kembali."

Rex mengangguk dan memejamkan kembali matanya. Badannya masih sedikit linu. Dia memilih memejamkan matanya kembali. Axella duduk di sisi Rex kembali dan menggenggam tangan hangat itu.

"Aku bakal minta Dad buat melamar kamu." Ujar Rex bahkan matanya masih menutup.

Axella terkejut dan menatap tidak percaya ke wajah yang kini tengah terpejam itu. Axella tersenyum dan mengeratkan genggamannya.

"Kenapa?" Tanya Axella.

"Biar gak ada yang berani menyentuh kamu lagi. Kamu itu milik aku. Milik seorang Rex Ardlan."

"Dasar posesif!"

Rex terkekeh kecil. Dia benar-benar terlelap setelahnya. Axella menatap wajah tampan itu dengan tatapan sendu miliknya. Dia mengusap pipi Rex dan juga punggung tangannya lalu, dia menghela napas kecil.

"Bagaimana aku bisa melepaskanmu, kalau kamu seperti ini? Aku dikirim kesana bukan karena mereka mau. Mereka terpaksa..." gumam Axella.

"Aku minta maaf Ignis. Aku rasa, percuma kita tunangan sekalipun. Aku tetap nggak bisa menemani kamu terus..." sambungnya.

Axella tidak tahu kalau saat itu para saudara Rex sedang berdiri di belakangnya. Mereka mengerutkan kening saat mendengar ucapan Axella.

"Dengan penyakit seperti ini, aku mana bisa hidup dengan kamu..." Axella berucap dan setelahnya dia terisak kecil.

Mata Rey dan juga Vannya melebar karena kaget. Ucapan Axella mengejutkan mereka. Axella nampak begitu sehat di mata mereka. Jelas saja mengejutkan kalau hal seperti itu terjadi. Bryan yang baru datang melihat keterkejutan adik-adiknya. Dia mengajak mereka semua keluar.

"Axella Wanson. Dia mengidap penyakit paru-paru akut. Baru-baru ini penyakitnya berkembang menjadi kanker paru. Alasan orangtuanya mengirim dia ke Celztia adalah untuk berobat." Ujar Bryan. Dia mengulurkan kertas yang entah darimana dia dapatkan.

"Kalau Rex tahu dia bisa jatuh..." ujar Rey.

Semua orang menatap ke arah Rey. Bryan tahu seperti apa sifat adik sepupunya yang satu itu. Dia mengangguk menyetujui ucapan Rey. Rey mengarahkan tangannya ke dadanya.

"Gue bisa ngerasain seberapa besar sayangnya Rex buat Xella. Dia sangat amat sayang sama Xella. Kalau dia tahu Xella sakit seperti ini, Rex bisa gila..."

"Kita nggak bisa kasih tahu Rex. Axella harus bilang dan menjelaskan ke Rex sendiri. Dia harus membuat Rex mengerti sebelum semuanya terlambat." Ujar Bryan.

Bryan melirik ke arah belakang badannya dan kembali menatap kertas di tangan Rey.

"Ini gue yang simpan. Kalau Rex sampai menemukan ini sebelum Axella bilang ke dia. Kalian tahu akibatnya..." ujar Bryan dan semua orang itu mengangguk.

Bryan memasukan lembaran kertas itu ke dalam map yang dia bawa. Dia juga melirik arlojinya dan langsung merapikan barang-barangnya.

"Gue ada jadwal jam tiga nanti. Kalau ada apa-apa kabarin gue." Ujar Bryan dan anak-anak itu tersenyum juga mengangguk.

"Uncle juga jangan beritahu Rex soal ini..."

The Devils langsung menoleh ke arah Bryan saat Bryan mengucapkan hal itu. Tak lama Daverick muncul dari ujung lorong bersama dengan ayah mereka. Dario menepuk bahu Bryan pelan.

"Tahu sejak tadi?" Tanya Dario dan.Bryan hanya mengangguk kecil.

"Ryan berangkat Dad. Sepertinya akan pulang terlambat juga. Kalau ada sesuatu beritahu Ryan ya..."

"Hn. Hati-hati..."

Bryan mengangguk dan berjalan menjauh. Jadwal pemotretannya sebenarnya sudah dipindahkan menjadi besok. Tapi, ada pekerjaan lain yang harus Bryan lakukan. Dia harus melakukannya untuk menambah pundi-pundi uangnya.

"Hhh... membiayai seseorang itu berat ya..." ujar Bryan pelan

......

Keheningan melanda di seluruh jalan Kanzpia. Mobil hitam pekat itu berhenti disebuah rumah besar. Sang pemilik mobil turun dan berjalan masuk ke rumah besat itu. Langkahnya tenang dan teratur. Ketika banyak yang menghadang langkahnya, dia tetap tenang dan berjalan dengan santai sambil melayangkan senjatanya ke arah para penghalangnya.

Jerit kesakitan dan juga jerit permintaan ampun menggema di rumah besar itu. Tidak mendapatkan apa yang dia cari, dia hanya meninggalkan onggokan mayat disana bersama selembar kartu. Kartu hitam dengan tinta perak yang bertuliskan,

"Punish for his sins"

Sudut bibirnya terangkat naik dari balik jubahnya. Dia pergi dari sana dan segera menjauh sejauh mungkin. Dia berhenti di sebuah telepon umum dan menghubungi kantor polisi. Membiarkan polisi menemukan hasil karyanya.

[KS #1] Daemoniorum FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang