Dong Sicheng merasakan dadanya naik-turun. Ia tidak melihat banyak cahaya sejak beberapa jam silam, mimpi buruknya barusan juga sama sekali tidak membantu. Seperti kebanyakan waktu, Sicheng terbangun di sela-sela rumput kelabu dan bau tidak sedap bangkai manusia. Hujan turut ambil bagian mempercepat proses pembusukan bangkai-bangkai itu (ibunya bilang, manusia adalah bangkai saat mereka sudah mati). Botnya tersangkut di antara potongan kaki dan senapan angin tak bertuan, sambil berusaha menyeimbangkan tubuh, Dong Si Cheng berdiri dan melangkahi dua-tiga bangkai sekaligus.
Pemuda itu tidak ingat kapan terakhir kali Beijing terlihat merah. Ia suka warna merah, ia suka lampion dan petasan yang dijual di pasar oleh penarik pedati tua (yang selalu makan sop wortel buatan Bibi Zhang), juga suara teater yang dimainkan oleh beberapa kelompok seniman. Sekarang, Sicheng merasa bau mesiu adalah bau sarapan paginya, begitu pekat sampai-sampai ia lupa bagaimana aroma bebek panggang.
Di tengah-tengah usahanya mencari manusia hidup lain, Sicheng menemukan dirinya merasa lapar. Kendati demikian, ia hanya punya roti basi bercampur lumpur dan pil prajurit sisa kemarin lusa. Sicheng beruntung dirinya masih hidup hari ini, ia beruntung karena orang-orang penyembah matahari itu menginjaknya begitu saja sama seperti bangkai lain, karena dengan begitu, ia masih bisa berharap dirinya akan melihat Tiongkok merdeka suatu hari nanti.
Dong Si Cheng benci kelaparan, dan sungguh nasib buruk bertemu prajurit Jepang yang kini membeliak padanya dari sela-sela kerangka gubuk yang sudah hancur. Senapannya otomatis terangkat, ia mendekat perlahan dan menyingkirkan penghalang apa pun yang ada di hadapannya. Sicheng tahu siapa prajurit tersebut, dia yang kemarin menembak selangkangan Renjun sampai bocah itu mati kehabisan darah. Meski si prajurit Jepang mengindikasikan penolakan, ia tetap membiarkan Sicheng mendekat.
"Kau." Katanya dalam bahasa Jepang.
"Tolong ambilkan aku air."
"Lalu apa yang akan terjadi setelah aku mengambilkan air? Kau akan membunuhku, tentu saja." Sicheng membalas menggunakan bahasa Mandarin.
"Aku mengerti itu, Prajurit. Aku tinggal di Beijing selama dua belas tahun hanya untuk berakhir menyedihkan meminta tolong padamu." Ia masih meringis kesakitan, Sicheng menduga pasti salah satu tungkainya tertembak.
"Tolong?"
"Bukankah itu yang kukatakan sebelumnya? Aku sudah membuang harga diriku demi seember air. Sekarang cepat ambilkan."
Sicheng menduga lagi, orang ini pasti sersan, atau pangkat apa saja yang lebih tinggi daripada prajurit biasa. Ia punya lencana bintang tersemat di seragamnya, juga senapan yang tidak pernah dilihat Sicheng dimana pun. Entah ia sudah gila atau Tuhan sedang menguji sisi kemanusiannya, yang jelas Dong Sicheng segera mencari sumber air terdekat untuk menimba air. Tidak ada yang bisa kau harapkan dari air di daerah pasca serangan, tentu saja penuh polusi, tapi tidak ada pilihan lain.
"Ini." Sicheng menyerahkan ember itu kepada si sersan. "Kau terluka?"
"Tidak parah. Aku hanya—" ia berhenti untuk menenggak air, "—sangat haus." Ia menyisakan setengah airnya untuk Sicheng, yang ditolaknya halus. "Well, akan kuhabiskan kalau begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper Of The Wind || yuwin [COMPLETED ✓ ]
Fanfiction[[BUKAN CERITA BXB (YAOI), CERITA INI MURNI FRIENDSHIP DAN FAMILY]] Nakamoto Yuta adalah seorang prajurit Jepang yang bertugas di Beijing pada akhir Perang Dunia II. Suatu hari, setelah pertempuran hebat di pusat Beijing, ia bertemu dengan Dong Sich...