CHAPTER 8

420 102 45
                                    

Prajurit Jepang sudah menguasai kota, mereka ada di setiap sudut bangunan dan jalan-jalan besar. Sicheng, Xiaojun, dan Guanheng sedang menembaki prajurit Jepang dari balik parit yang dibangun di depan toko buku yang sudah ambruk. Amunisi mereka tidak banyak, maka dari itu ketiganya harus menembak dengan cermat. Yongqin awalnya ada di sana, namun ia pergi karena dimintai bantuan untuk mengurus warga sipil yang tersisa di balai kota selepas Jepang selesai 'berpesta' di sana.

Sicheng menembak satu orang yang tadi bersembunyi di balik gerobak yang terbalik di aspal, ia jatuh pada tembakan pertama, dan tewas pada tembakan kedua. Sicheng mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa membunuh dalam sekali tembak. Di bawah kakinya, selongsong peluru bertebaran seperti semut raksasa berwarna keemasan.

"Mereka tidak ada habisnya," Xiaojun frustasi.

"Kenapa? Kau menyesal pergi kemari alih-alih terbaring nyaman di tenda perawat?" Guanheng menyahut dengan kalimat yang, jika dilontarkan pada Sicheng, mungkin akan membuatnya tersinggung.

"Menyesal kepalamu. Kita kekurangan peluru, bodoh."

Sicheng berhenti menembak, "seseorang perlu kembali ke markas untuk mengambil peluru."

Tiba-tiba Guanheng tersenyum, "tidak perlu. Lihat."

Dari arah belakang, Sicheng melihat Yangyang mengendap-endap membawa berenteng-renteng peluru dikalungkan menyilang di atas badannya. Ia sendirian, tidak ditemani prajurit pelindung.

"Terima kas—"

"Berterima kasihnya nanti saja. Sicheng, ikut aku."

"Kau tidak bisa menarik Sicheng dari sini! Aku dan Xiaojun, dia—"

"Diam, Guanheng." Yangyang menyahut ketus, kemudian berucap, "ini soal ibunya Sicheng."

"Ada apa dengan ibuku? Dia baik-baik saja kan?" Sicheng berkata sembari menggoncang bahu Yangyang. "Lebih baik kau jelaskan situasinya, Liu Yangyang."

"Ayo jalan."

Sicheng meninggalkan Xiaojun dan Guanheng di parit, ia memberi tahu prajurit Tiongkok mana pun yang ada di jalan untuk membantu kedua sahabatnya. Awalnya, Sicheng tidak mengerti sepatah kata pun yang diucapkan Yangyang, ia terus mengulang kata 'diculik' dan 'truk tentara kosong' sampai Sicheng sebal mendengarnya.

"Demi Tuhan, langsung pada intinya!" Bentak Sicheng.

"Ibumu diculik! Ia diculik dan dibawa entah kemana! Aku tidak tahu mengapa hanya ibumu, di antara ratusan wanita dan anak-anak yang tersisa di penampungan, ibumu-lah yang ditarik-tarik paksa oleh dua prajurit Jepang berpangkat rendah atas perintah seorang sersan mayor! Dan kau tahu apa yang membuatku heran? Jenderal. Ada seorang jenderal dan sersan mayor di sana, menggeret-geret ibumu dengan cara paling tidak manusiawi!"

"Se-sersan mayor katamu?"

"Jangan buat aku mengulanginya, Dong Sicheng. Kau tidak tahu aku baru saja mendapat bogem dari sersan sialan itu karena berusaha menolong Bibi Dong. Kalau saja—"

Apa yang dikatakan Yangyang setelah itu sama sekali tak terdengar oleh Sicheng. Benaknya dipenuhi Nakamoto Yuta; wajah serampangan yang sok berkuasa, membentak dan meneriaki ibunya dengan cara kasar, dan tertawa penuh kemenangan pada detik berikutnya. Dalam benak Sicheng, ia sudah menghajar Yuta berkali-kali sampai wajah pria itu penyok, dan ia akan melakukannya sebentar lagi.

Mereka berdua sampai di tempat penampungan tak lama selang, namun Sicheng tidak melihat ada truk tentara. Tenda-tenda terbuka dengan lusinan wanita ketakutan, anak-anak yang berada di pelukan ibu mereka; tapi tidak ada Dong Mingfen. Yangyang mengambil inisiatif untuk bertanya pada seorang gadis belia yang duduk di pinggiran tenda, gadis itu bilang truk tadi sudah pergi. Sicheng menolak untuk percaya dan mulai menyisir tempat itu, ia berjalan ke belakang tenda, kemudian lebih jauh ke jalan raya yang mengarah ke balaikota, namun truk itu tidak ada, demikian pula dengan ibunya.

Whisper Of The Wind || yuwin [COMPLETED ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang