"There are perhaps many causes worth dying for, but to me, certainly, there are none worth killing for." ― Albert Dietrich
―
Tidak ada pekerjaan yang lebih menjengkelkan dari menggali parit. Sicheng bisa merasakan telapak tangannya kapalan dan kakinya ditempeli cacing tanah kemerahan. Tak jauh dari situ, Guanheng mengumpat berkali-kali sembari menenendang gundukan tanah di hadapannya.
"Bisa diam tidak?! Kau tidak ingin kapten menusuk mulutmu dengan bayonet kan?!" Yongqin datang menempeleng kepala Guanheng, jelas merasa terganggu.
Yangyang tertawa dari kejauhan, "Guanheng setuju melakukan apa saja kecuali mencangkul. Dia kehilagan ibu jarinya tahun lalu saat menggali terowongan."
"Bagus, tinggal menanggalkan satu jempol lagi kalau begitu," jawab Yongqin sarkastik.
"Teman-teman, jangan bertengkar," sergah Sicheng. " Kita selesaikan ini dan segera kembali ke tenda, hari hampir sore dan Jepang belum menunjukkan tanda-tanda akan menyerang lagi."
"Well, memang itu satu-satunya cara untuk menyudahi pekerjaan ini," Xiaojun melepas topi seraya menyeka dahinya yang penuh peluh. "Oi, Dong Sicheng, kau tidak melupakan ibumu kan?"
"Kau orang kedua yang menanyakan hal itu hari ini," Sicheng melirik kilas Guanheng, bibirnya masih bergerak-gerak tanpa suara.
"Kapten Wu akan pergi ke markas Jepang nanti malam, ia pergi ke sana untuk diskusi. Kau bisa pura-pura jadi pengawalnya."
Perut Sicheng mual, ia jadi ingat pernah sekali berpura-pura menjadi pengawal Yuta.
"Tidak, aku tidak mau ke sana lagi."
"Dan melewatkan satu-satunya kesempatan?"
"Kau yakin ibuku ada di sana?"
"Aku tidak bisa memikirkan tempat lain," jawab Xiaojun. "Tapi itu terserah padamu."
"Tidak."
Sicheng kembali menggali, ia membungkuk dan mendapati kalung giok-nya berayun-ayun di udara. Dalam hati, Sicheng penasaran apakah Yuta masih memakai kalung yang sama dengannya—setelah semua ini. Dari kejauhan, Kapten Qiao memberi aba-aba pada para tentara untuk menyudahi pekerjaan mereka. Guanheng yang terlebih dahulu pergi ke gudang senjata untuk mengembalikan cangkul, dia juga yang pertama kali membersihkan kaki di ledeng dan berjalan dengan langkah dihentak-hentakkan menuju tenda.
"Sebegitu bencinya ia pada cangkul?" Tanya Yongqin.
"Masa kau tidak tahu jempolnya putus?" Yangyang menyikut rusuk Yongqin.
"Aku sedang di Shanghai tahun lalu."
"Ah, benar juga. Prajurit sibuk."
―
Sekembalinya mereka ke tenda, Xiaojun mengelap keringatnya dan melemparkan gombal kotor tersebut ke arah Sicheng. "Sori, Bung. Hanya itu kain yang tersisa, lainnya sudah belepotan lumpur."
Sicheng menerimanya, meski dengan enggan, dan menggunakan kain itu untuk menyeka keringat di dahinya sendiri.
"Aku tidak percaya kau tidak ingin pergi ke markas itu lagi, dengan kemungkinan ibumu ada di sana. Bukankah kau seharusnya mencoba?"
"Entahlah, aku hanya merasa Yuta tidak akan membawa ibuku ke sana. Terlalu riskan baginya, dia bukan tipe orang yang mau ambil risiko untuk hal-hal remeh."
![](https://img.wattpad.com/cover/156973084-288-k925559.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper Of The Wind || yuwin [COMPLETED ✓ ]
Fanfiction[[BUKAN CERITA BXB (YAOI), CERITA INI MURNI FRIENDSHIP DAN FAMILY]] Nakamoto Yuta adalah seorang prajurit Jepang yang bertugas di Beijing pada akhir Perang Dunia II. Suatu hari, setelah pertempuran hebat di pusat Beijing, ia bertemu dengan Dong Sich...