Entah sudah berapa lama Sicheng duduk di buritan, ia membuka-tutup kotak rokok dari Yuta, membauinya sebentar, dan kemudian benaknya dipenuhi Xiaojun. Jika pemuda itu ada di sini, mereka berdua pasti sudah merokok bersama, menikmati udara laut sambil membayangkan bagaimana rupa pelabuhan Yangjiang. Dong Sicheng, bagaimanapun juga, merasa bersalah tidak mengabari tiga kawannya perihal kepergiannya. Mungkin Yuta sudah mengurusnya, batin Sicheng. Xuxi dan Qian Kun tidur di kabin dalam, Nyonya Dong sedang bercakap-cakap santai dengan beberapa perempuan penjual sutra. Ini hari kedua perjalanan mereka, Kapten Wang tidak mengizinkan awak kapal membuat sambungan radio dengan pelabuhan-pelabuhan sekitar sebab Jepang pasti akan menangkap frekuensinya.
"Laut tidak pernah mati, ia selalu hidup, bernapas lewat gelembung-gelembung, mengalir ke celah-celah palung. Laut tidak pernah mati, bahkan jika darah tercampur di dalamnya, laut akan kembali biru," seseorang, yang terlihat seperti pelancong, duduk di sebelah Sicheng.
"Puisi buatanmu, Tuan?"
"Kau suka?"
"Kedengarannya bagus, tidak ada lanjutannya?"
"Belum kuselesaikan. Siapa namamu?"
"Dong Sicheng. Anda?"
"Moon Taeil."
"Korea?"
"Benar sekali! Kau pintar menebak, Teman."
Taeil mengulurkan bir pada Sicheng, mereka minum sambil menikmati angin sore hari, "bagaimana kondisi Korea sekarang?"
"Kau pikir aku tahu? Sudah lima tahun aku tidak pulang, melompat dari kapal ke kapal, mencari inspirasi menulis buku dan puisi. Bahkan jika ada kapal yang menuju Korea, aku akan menghindarinya, aku hanya tidak ingin pulang. Dunia ini luas dan indah, tidak baik terus-terusan mendekam di satu tempat."
"Anda tidak rindu pada keluarga?"
"Hmm, aku sering memakai kata rindu dalam puisiku, tapi aku tidak pernah benar-benar mengerti bagaimana rasanya. Aku hanya bisa menangkapnya secara samar dari sudut pandang orang lain. Menurutmu rindu itu perasaan seperti apa?"
"Mungkin seperti...saat Anda sudah lama tidak makan bebek Peking, tapi tahu-tahu Anda menginginkannya, dan jika tidak kesampaian, maka Anda akan terus memikirkannya. Perasaan seperti itu."
"Tapi beberapa orang bilang, rindu tidak harus lama. Yang baru berpisah sebentar saja bisa merasa rindu. Mana yang benar?"
Sicheng mendongak melihat langit, bertanya-tanya mengapa hari ini tidak ada awan, "bisa jadi begitu, rindu itu seperti tamu yang tidak diundang, bisa datang kapan saja."
Moon Taeil menyibakkan rambut panjangnya yang kelihatan belum dicuci sebulan lamanya, "huh, aku masih tidak mengerti. Kau merindukan seseorang, Teman?"
"Well, bisa dibilang begitu," kata Sicheng, "Tuan, maukah Anda membacakan surat untukku?"
"Surat? Surat apa?"
"Seseorang memberiku ini," Sicheng mengulurkan amplop berisi setidaknya dua sampai tiga kertas, di bagian depan amplop tertera nama Yuta, ditulis dengan huruf kanji, diikat menggunakan tali rami berwarna cokelat pudar. Amplop tersebut tidak disegel, satu-satunya hal yang membuat kertas-kertas di dalamnya tetap menyatu adalah tali rami. Taeil membukanya perlahan, kemudian mengamati kertas demi kertas.
"Tulisan tangannya sangat rapi."
"Anda bisa mulai."
"Baiklah, ini dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper Of The Wind || yuwin [COMPLETED ✓ ]
Fanfiction[[BUKAN CERITA BXB (YAOI), CERITA INI MURNI FRIENDSHIP DAN FAMILY]] Nakamoto Yuta adalah seorang prajurit Jepang yang bertugas di Beijing pada akhir Perang Dunia II. Suatu hari, setelah pertempuran hebat di pusat Beijing, ia bertemu dengan Dong Sich...