CHAPTER 7

427 103 32
                                    

Sicheng tahu, bertempur di atas bukit memang bukan favoritnya. Ia kedinginan setengah mati sambil menggengam erat rifle barunya. Sicheng bersyukur sempat tidur sebentar pukul dua tadi, kalau tidak ia pasti sudah sempoyongan dalam perjalanan menuju kemari. Xiaojun dan Guanheng ada di sebelahnya, sama-sama memegang senjata namun tidak menggigil seperti dirinya.

"Kau oke?" Guanheng menyikut rusuk Sicheng.

"Ya, otakku masih berfungsi."

"Bukan itu maksudku. Kau gemetaran dari tadi. Apa perlu pindah tempat? Kau bisa pilih kelompok yang berjaga di bawah bukit."

"Masalahnya, aku lebih suka bersama kalian," jawab Sicheng disusul tawa Xiaojun dan Guanheng.

Xiaojun menarik napas panjang, mereka bertiga masih dalam posisi berlutut sembari memegang senjata, "menunggu itu membosankan."

"Tentara Jepang mungkin masih melakukan ritual semacam hormat pagi pada matahari, atau sibuk berteriak-teriak tenno heika banzai seperti orang gila," ucap Guanheng.

Xiaojun tertawa lagi, "mereka memang sinting."

Selepas Xiaojun selesai bicara, suasana sekeliling mendadak senyap. Kabut di atas bukit memang belum sepenuhnya sirna, namun Sicheng bisa melihat jelas dua-tiga orang, yang terlihat bak titik-titik kecil dari atas sini, mulai memasuki gerbang utama. Prajurit-prajurit tersebut mengenakan seragam militer Jepang seperti yang pernah dikenakan Sicheng, bayonet yang dipasang di ujung senjata mereka terlihat seperti baru diasah. Pasukan Tiongkok tentu mengingat dengan baik apa kata Kapten Wu semalam: jangan langsung menyerang, tunggu sampai seratus orang memasuki wilayah kita, kemudian kita bisa menembaki mereka secara bersamaan.

Dong Sicheng menahan napas, ia mencari-cari Yuta di antara sosok-sosok kecil yang mulai berdatangan.

Di sela kegiatan Sicheng mengamati prajurit, personel penghubung tiba-tiba memberi aba-aba. "Kapten bilang kita akan menembak sebentar lagi, bersiaplah!" bisiknya.

Satu

.

Dua

.

Tiga!

Suara tembakan terdengar dari segala penjuru, pasukan di bawah bukit menyerang dari bunker bawah tanah, sementara yang berada di atas bukit menembaki kepala prajurit Jepang sembil sesekali melempar granat. Sicheng tetap pada prinsip utamanya dalam menggunakan senjata: menembaklah dengan tepat, jangan buang-buang peluru. Ia tidak akan meniru cara bertarung Xiaojun yang sembrono, atau Guanheng yang terlalu ragu-ragu.

"Kita pindah ke sebelah sana! Cepat bergerak! Cepat! Cepat!" Sicheng yang pertama kali keluar dari persembunyian dan bergerak ke tempat yang ditunjuk ketua regu. Belum satu menit Sicheng berjalan, suara rudal sudah terdengar, satu rumah hangus terbakar di bawah sana.

'Sial! Apa perlu memakai rudal sedini ini?! Ini kan masih permulaan!" Teriak Sicheng.

"Sudahlah, kau tidak akan paham jalan pikiran tukang pamer!" Guanheng masih sempat bercanda. "Xiao De Jun, bisa cepat sedikit?! Aku tidak mau rudal itu mendarat di kepalaku!"

Xiaojun berpindah tempat dengan hati-hati, ia tidak ingin tergelincir dan jatuh ke bawah bukit pada saat-saat seperti ini. "Sicheng, di belakangmu!"

"Sial."

Sicheng berbalik dan mendapati dua prajurit hendak menembak, namun ia lebih dulu melontarkan peluru ke wajah mereka hingga keduanya mati dengan bola mata keluar dari liangnya. Sebagai pemungkas, Sicheng menembak lagi ke bagian dada dan mereka berdua pun dapat dipastikan tewas. "Astaga, bagaimana mereka bisa sampai kemari secepat ini!"

Whisper Of The Wind || yuwin [COMPLETED ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang