D.U.A.P.U.L.U.H.E.N.A.M

21 2 17
                                    

Aksa berjalan santai mengekori gadis yang berlari kegirangan itu. Dari jaraknya yang terpaut beberapa langkah, ia dapat melihat dengan jelas rambut terikat Eartha yang mengayun ke kanan dan ke kiri. Kakinya juga bebas bergerak lincah tanpa tersendat mengingat kali ini ia mengenakan jeans semata kaki. Beberapa orang yang berlalu lalang sedikit merasa asing dengan gadis itu. Namun jika dilihat dengan saksama, paras Eartha benar-benar mewarisi perpaduan ayah dan ibunya yang asli orang jawa, membuat orang lain tidak akan begitu sulit mengenali wajah putri salah satu pemilik perusahaan itu.

Omong-omong, tempo tahun yang lalu, Ayah Eartha dan Papa Aksa hanya iseng saja berkolaborasi mengkreasikan batik, yang memang saat itu sedang naik daun. Melihat peluang itu, keduanya nekat membeli sebuah bangunan di Solo, yang memang sebagai sentra batik, sebagai awal mula usaha mereka.

Keduanya merintis pembuatan kain batik dengan memadukan konsep tradisional dan modern. Tanpa diduga sebelumnya usaha mereka berkembang pesat. Ibu Eartha pun memutuskan untuk ikut andil. Beliau yang memang suka berkreasi nyentrik, membuat beberapa sketsa rancangan dengan bahan dasar batik produksi perusahaan mereka sendiri. Melihat kemajuan yang terus meningkat, beberapa investor tertarik untuk menginvestasikan dana mereka, membuat perusahaan kerja sama ini semakin besar.

Karena jarak yang terlampau jauh untuk sekadar pulang-pergi bekerja, dari Jogja lalu ke Solo, Solo balik ke Jogja lagi, beliau-beliau ini memutuskan untuk membeli rumah di salah satu kawasan perumahan elit di Solo, tanpa sepengetahuan putra-putri mereka sendiri pastinya.

"Lo jangan asal lari kalo nggak tahu arah," Aksa berucap datar. Langkahnya kini sejajar dengan gadis yang mulai lelah berlari lari kecil sendirian. "Capek kan? Ngeyel sih, dibilangin pelan-pelan aja, toh Papa juga belum kelihatan dimana," lanjut Aksa diakhiri dengan tepukan gemas di puncak kepala Eartha.

"Huaa, I'm so excited, Sa!" Eartha memekik tertahan. Gadis itu sibuk menoleh ke kanan kiri. Senyum lebar terus tercetak di wajah mungilnya.

Langkah Eartha terhenti saat matanya menangkap dua orang dengan atasan batik yang sedang bercengkrama dengan hangat sambil berjalan keluar dari sebuah ruangan. "Ayah!" Eartha berteriak kecil. Gadis itu kembali berlari mendahului lelaki yang sedari tadi berjalan di sampingnga. Ia menubruk sosok pria yang sangat jarang ditemuinya itu. "Ayah kok nggak pulang-pulang? Eta kangen tahu? Sampe Eta nyusulin ke sini." Ia mengurai dekapannya lalu mencium tangan Ayahnya. Ayah Eartha balas menciumi puncak kepala putrinya, membuat Eartha terkikik senang.

Aksa yang berjalan santai juga ikut menghampiri Papanya yang berdiri di samping Ayah Eartha. "Pa," Sapanya sopan sambil mencium punggung tangan Papanya, kemudian beralih menyalami Ayah Eartha.

"Capek, ya? Sana istirahat, ini kuncinya," suara Ayah Eartha membuka pembicaraan. Pria itu tersenyum sampai gurat halus terlihat di sisi matanya.

Eartha mendongak ke arah Aksa. "Kamu capek?" tanya Eartha, sedangkan Aksa hanya menaikkan bahu sebagai respon. "Nggak capek kok, Yah. Pulangnya nanti aja. Kan Eta masih kangen Ayah. Kangen Pakdhe juga deh. Hehe," Gadis itu nyengir lalu beringsut menyalami Papa Aksa.

Kali ini Aksa melirik Papanya yang masih tersenyum dengan sikap Eartha. "Papa ikut ke nikahan Mas Angga kan?" tanyanya.

Pria paruh baya itu menatap putranya, "Papa diwakilin kamu aja ya, Sa. Disini sibuk banget."

"Kalau Ayah? Ayah ikut kan?" Kini giliran Eartha yang mengajukan pertanyaan itu. Gadis itu menatap penuh harap.

"Ayah juga samain Pakdhe mu deh, wakilin kamu aja." jawab Ayah Eartha kalem.

"Yah, kenapa?" Gadis itu kembali bertanya, sebersit kecewa terlihat dari raut mungilnya.

"Besok ada meeting sama pihak pemasaran, Tha." jawab Ayah Eartha lagi.

RELUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang