D.U.A.P.U.L.U.H.T.U.J.U.H

19 2 6
                                    


Mobil sedan hitam yang ditunggangi Aksa dan Eartha mulai memasuki areal bertema Joglo seiringan dengan aroma khas malam batik yang menyeruak dari penciuman keduanya. Kaca mobil memang sengaja diturunkan sedari tadi omong-omong, sehingga wangi malam bebas masuk merajai ruang mereka. Eartha menganga takjub dengan pemandangan sekaligus suasana seperti ini. Namun berbanding terbalik dengan lelaki di sampingnya yang kini memasang tampang aneh.

"Hmmm, enak baunya, aku suka." Eartha tersenyum girang sampai matanya membentuk garis.

"Apasih, Tha. Apa aja lo suka, kayak Mei-Mei, dasar. Jangan-jangan lo juga suka gue?" tanya Aksa bercanda sambil menahan napas. Bukannya tidak suka atau bahkan alergi terhadap wangi malam batik, namun menurut Aksa, wangi ini terlalu menyengat dan serasa membuat indra penciumannya tertusuk-tusuk.

"Hahahaha, kalau boleh sih nggak apa-apa," Eartha balas menanggapi sambil tertawa garing. Walau di dadanya bergemuruh antara sadar dan tidak ia mengatakan apa barusan.

Aksa tertawa ngakak, "Huh, funny. You are my little sister, girl. Don't say this joke, disgusted." ucapnya dengan kekehan yang tak juga berhenti.

"Is this a mistake?" desah Eartha tertahan. Aksa baru saja mau menoleh dan meminta klarifikasi, namun pekikan Eartha membuatnya urung, "Aaaakk, itu mobil Ibu, Sa!" Eartha menunjuk-nunjuk mobil yang terparkir di halaman sebuah pendopo megah.

"Oh, oke," balas Aksa singkat. Lelaki itu lantas menepikan mobilnya. Sebelum keduanya keluar, Aksa meraih masker di dashbor mobil lalu menggunakannya untuk menutupi mulut dan hidung. "Yuk," ajak Aksa. Jelas, Eartha mengangguk antusias dan membuka safety belt.

"Lo nggak lari duluan? Tumben," celetuk Aksa dengan pandangan lurus ke depan. Mulut dan hidungnya yang ditutupi masker membuat matanya terlihat lebih tajam. Disebelahnya, Eartha berjalan pelan, cenderung mengekorinya malah. Sangat berkebalikan dengan polahnya saat pertama sampai di Solo kemarin.

Eartha menggeleng, "Enggak ah, kali ini tempatnya aneh, takut ilang," balasnya. Sebenarnya bukan aneh, namun tempat ini di desain berbeda dari kantor kebanyakan, bahkan dengan kantor Ayahnya kemarin. Memasuki pintu utama, mereka disambut oleh hiasan dinding berupa batik yang disusun abstrak serupa mozaik. Dinding pembatas antar ruangannya terbuat dari kayu jati, membuat bangunan ini tidak terkesan kaku. Susuan ruangannya dibuat serupa labirin untuk menjangkau ruangan administrasi utama kantor dan hall pertemuan. Sedangkan produksi batik tulis berada di sisi kanan, dan butik berada di sisi kiri bangunan.

Aksa tertawa kecil mendengar alasan Eartha, "Btw, kan gue juga nggak tau ruangannya gimana. Kalau kita nyasar?" Cowok itu melangkah mengambil jalur kanan, diikuti Eartha yang masih membuntutinya. Tidak banyak orang yang berpapasan dengan mereka. Entah karena kantor administrasi memang sepi atau karena masih cukup pagi.

"Bodoamat sih, kalau kamu pulang ya aku ikut pulang, kalau ilang ya udah ikut ilang," balas Eartha cuek.

"Wahahah, hidup lo pasrah banget sama gue," respon Aksa. Cowok itu mempercepat langkah setelah matanya melihat petunjuk arah untuk terus mengikuti jalur agar bisa ke ruang utama. Mau tak mau Eartha berlari kecil menyusulnya. Namun langkah Aksa yang tiba-tiba saja berhenti membuat cewek itu menubruk punggungnya. "Aah! Hidungku jadi pesek kan," dumel Eartha. Tanpa sepengetahuannya lelaki di depannya itu telah duluan menyalami Ibu Eartha yang kini berdiri di hadapan mereka.

"Udah pesek, kali." Ibu Eartha menyahut sambil terkekeh. Aksa pun ikut menoleh ke arahnya.

"Lah? Ibu? Kok tau-tau ada di sini? Padahal tadi kayaknya sepi,"

"Ibu kan sulap, hehe," jawab wanita itu garing. Namun untuk alasan apa, Eartha tertawa juga. "Aksa kenapa? Batuk? Pilek?" tanya Ibu Eartha dengan tatapan menelisik bingung.

RELUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang