T.I.G.A.P.U.L.U.H.D.U.A

15 2 9
                                    


Seminggu sudah Eartha kembali masuk sekolah. Masa liburannya telah berakhir. Memang ia kembali masuk sekolah seperti biasa, mengahadapi teman-teman sinis yang tiap hari seperti bergiliran menertawakannya. Memang nampak seperti biasa, namun kehadiran Aksa yang tak lagi sebagai penopangnya telah hilang semenjak kejadian itu. Bukannya Eartha tak berusaha menghubunginya atau bagaimana, namun cowok itu seolah membangun benteng pertahanannya sendiri dan memagari jaraknya dan Eartha dengn betulan kokoh.

Eartha memang tak hanya pasrah oleh keadaan. Cewek itu selalu melakukan apapun untuk kembali dekat dengan Aksa. Seolah peryataan perasaannya kemarin tak ada pentingnya sama sekali. Namun jika ia disuruh berpikir, tindakannya mengakui perasaannya memang bodoh. Tetapi akan lebih bodoh kalau ia hanya diam dan pasrah pada alur walau hatinya tidak terima, 'kan? Memang, jujur lebih baik dari apapun, dan gadis itu yakin akan hal tersebut.

Dua minggu sudah Eartha terus mencoba mendekati Aksa. Yah walaupun tak harus cowok itu balas menyatakan suka padanya, setidaknya jika Aksa mau mengobrol ringan dengannya, Eartha akan sangat senang.

Seperti lusa, ia mendatangi rumah Aksa seperti biasa. Walau interaksi keduanya sama-sama nol besar, namun dengan melihat wajah bantalnya selepas tidur siang saja mampu membuat Eartha senang. Memang, kesengsem itu mengerikan.

Saat itu Aksa sibuk sendiri di dapur. Dari penglihatan Eartha, ia menebak jika cowok itu kelaparan dan berusaha memasak cah buncis. Hal itu dapat dilihat dari tangan besarnya yang tengah merajang buncis menjadi kecil kecil. Opininya juga diperkuat oleh keberadaan Mama Aksa dan Sandy yang tak dapat ia deteksi, ditambah keadaan meja makan bersih tanpa makan siang.

Eartha tersenyum kecil melihatnya. Mengamati kegiatan Aksa tanpa sepengetahuan cowok itu merupakan hiburan tersendiri baginya.

Senyum dan tatapan kosong Eartha langsung berubah saat suara kemelontang dari arah objek penglihatannya membuyarkan kekagumannya. Disana, panci berisi minyak panas nampak miring sebelah dan ia yakin cairan panas itu mengenai tangan Aksa. Ia dapat mengetahuinya cari erangan cowok itu.

Sedikit panik, Eartha berlari kecil ke arahnya. Gadis itu dengan cekatan mematikan api kompor lalu melempar pandangan pada tangan Aksa yang memerah. Bahkan ia tak sempat melihat bagaimana ekspresi Aksa terhadap kehadirannya yang tiba-tiba. "E-eh? Gimana, Sa? Sakit?" tanyanya spontan dengan tangan terjulur hendak meraih tangan Aksa. Namun dengan cepat Aksa menarik tangannya dan tanpa mengucap apa, Aksa berbalik badan lalu menaiki tangga memasuki kamar.

Eartha membuang napas. Ia tak paham. Apa sebesar ini dosanya jika ia bilang suka pada cowok manis itu? Eartha berusaha maklum. Cewek itu memberesi sedikit kekacauan di dapur ini. Dengan inisiatifnya, Eartha meneruskan rajangan Aksa. Sedikit lucu juga, pasalnya cowok yang biasanya langsung makan itu jika disuruh mengiris buncis ternyata hasilnya akan sebesar-besar ini. Mungkin Aksa berpikir jika buncisnya besar akan cepat kenyang atau entah alasan lain apa, namun membayangkannya saja sudah membuat Eartha lagi-lagi tersenyum.

Eartha mengiris bawang merah dan bawang putih, melengkapi semua bumbu lalu mulai memanaskan wajan dan gadis itu pun mulai memasak.

Sepuluh menit adalah waktu yang cukup baginya untuk menyelesaikan masakannya. Cewek itu menata makanan di atas meja dan membereskan piranti dapur.

Eartha menaiki tangga menuju kamar Aksa. Rencananya, ia akan mengajak Aksa makan karena ia yakin cowok itu sedang lapar. Toh sembari menunggu Aksa makan, ia bisa memulai obrolan ringan dengannya.

Sampai di depan pintu kamar Aksa, Eartha mengetuknya pelan, "Sa, ayo makan dulu," ucapnya. Tak ada respon, lagi-lagi Eartha mengetuk. Lima detik, tak ada sahutan dari cowok itu. Eartha penasaran, ia memutar kenop pintu lalu mendorongnya pelan, sambil berbisik, "Permisi, Sa,"

RELUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang