Puzzle Satu.

102 11 5
                                    

Satu minggu sebelum kecelakaan pagi itu.

"Huaah! Udah jam seginii!?"

Seorang gadis usia hampir delapan belas tahun tergeragap saat  melongok ke arah jam di atas nakas. Ia melompat dari tempat tidurnya yang nyaman dan melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sembari membiarkan air dingin dari shower mengguyur badan, perlahan kesadaran gadis itu mulai pulih.

Ah ya, salah sendiri semalam ia begadang untuk menonton film di laptop. Tambah pula mengabaikan peringatan ibu tirinya yang khawatir jika ia bangun kesiangan. Beginilah akibatnya. Baru bangun pukul 06.30! Parah. Meskipun ini hari libur, tetap saja dia tak boleh terlambat bangun. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Gadis itu--namanya Zara--keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Ia mendekat ke cermin dan mulai menyisir rambut panjangnya yang hitam.

"Kalo lo pendek, gue nggak akan repot-repot nyisirin lo pelan-pelan, rajin keramas, masangin bando, argh. Nyebelin." Gadis itu bergumam pada bayangannya di cermin--lebih tepatnya pada bayangan rambut yang sedang ia sisir.

'Eh, tapi kan kalo rambut gue pendek, gue harus tetep rajin keramas..'

Sudahlah. Lupakan saja gerutuan Zara sekarang. Ia memang selalu kesal dengan semua yang berbau 'feminin' dan 'manis'. Rok motif, dress, flatshoes, bando, pita, dan rambut panjang. Yang terakhir itu apalagi. Kalau bukan karena ibunya dulu ingin anak perempuan satu-satunya itu punya rambut panjang yang cantik, Zara dengan senang hati akan memangkas pendek rambutnya sebatas telinga. Agar tidak repot merawat dan menatanya seperti sekarang ini.

Sudahlah, Ra-

Suara dering ponsel di nakas memutus lamunan gadis itu. Zara menaruh sisirnya dan berlari kecil ke sumber suara. Sebuah nama tampak di layar ponsel tersebut, membuat kening Zara berkerut.

Aldy is calling...

"Ngapain lo Al? Ngajakin berangkat sekolah? Libur kali, hari Minggu-"

"Ngapain-ngapain pala lo!" Aldy menyahut dengan suara yang terdengar kesal. "Lo lupa pagi ini mau ngapain, ha!?"

"Inget laah, makanya gue barusan bangun terus mandi-" Zara memutus ucapannya dan melirik jam. "Jam segini! Astaga gue telat. Lo baru nelpon sekarang, sih? Gue bisa didiskualifikasi tau!"

Inilah akibatnya kalau penyakit lupa tidak ditangani dengan serius. Ha! Bukannya tadi dia cepat-cepat mandi karena sudah kesiangan dan harus segera pergi? Lalu kenapa setelah mandi dia malah dengan santai menyisir rambut dan melamun?

"Dasar ceroboh!"

Zara terburu-buru meraih kunci motor dan tas dompet kecilnya yang tergeletak di meja rias. Gadis itu menarik jaket dari gantungan dan memakainya seraya berderap keluar kamar. Wajahnya terlihat cemas kali ini.

"Baguslah." Aldy terdengar keki. "Cepet lo ke sini. Atau motor lo gue sewain ke orang lain."

"Jangaan!" Zara refleks berteriak. Ia menuruni tangga dengan cepat. "Awas lo kalo berani! Awas aja! Gue dateng kok Al, tunggu lima menit lagi-"

Lagi-lagi Zara tidak menyelesaikan kalimatnya.

Di ujung bawah tangga, seorang pria paruh baya dengan setelan resmi di tubuhnya yang gagah, menatap Zara tajam. Gadis itu terpatah menurunkan ponsel dari telinga dan mematikannya begitu saja.

"Pa-pa?" Zara menatap ayahnya bingung. "Katanya Papa baru mau pulang dari Singapura ... tiga hari lagi?"

Sang ayah bergeming di sana. Tatapannya tidak melunak, membuat Zara merasa seakan ia dikuliti dengan  tatapan tajam itu.

Four Academy : And The Soul of YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang