Puzzle Lima.

54 8 11
                                    

Hujan mulai reda saat gadis itu benar-benar pergi dari rumah.

Untung sore tadi ia belum mengembalikan motornya ke rumah Aldy. Karena takut terlalu malam dan Papa mencarinya, ia membawa motornya ke rumah. Ah, lebih tepatnya menitipkan motor merah itu di parkiran sebuah rumah makan di depan komplek perumahan. Untunglah di sana sudah mulai sepi, jadi ia bisa leluasa memakai toilet umum yang ada di seberang jalannya dan mengganti baju.

Malam itu, ke sanalah Zara pergi. Ia memakai jaket kulit merah maroon dengan kaos polo panjang yang tebal di dalamnya, juga celana jeans hitam pudar. Ia meninggalkan pelataran restoran setelah sejenak mengecek arah dengan GPS-nya. Dari sana ia tahu, ia akan sampai di kota tempat Mama tinggal dalam empat jam.

Dan itu belum sampai di alamat yang ia tuju.

Tapi sudahlah. Ia hanya harus bergegas tanpa mengeluh.

000

Celaka.

Hujan kembali turun saat Zara mulai memasuki jalan tol. Belum juga setengah jam sejak ia meninggalkan rumah, curahan air dari langit seakan tidak ada habis-habisnya. Maklum saja, ini hujan pertama tahun ini. Langit pasti sudah menyimpan uap-uap air dalam waktu yang sangat lama dan memutuskan untuk tidak menunda turunnya hujan malam ini.

Zara tetap nekad menerobos hujan. Yang ada di pikirannya hanyalah, ia segera keluar dari jalan tol--itu artinya tiga jam lagi jika ia mengebut--dan mencari penginapan terdekat. Atau ... ia bisa istirahat di rest area yang akan ia temui entah kapan. Zara seakan melupakan bahwa ia meninggalkan tiga masalah dengan kepergiannya. Satu, acara pertemuan malam ini pasti gagal. Ia tahu pasti acara itu tidak akan dibatalkan hanya karena hujan deras turun, tapi ketidakhadirannya tentu akan menimbulkan masalah besar di sana.

Dua, dia tidak memberitahu Aldy atau siapapun jika ia pergi--Tante Naya adalah pengecualian. Tapi sebenarnya itu bukan masalah. Zara tidak berniat memberitahu apapun pada Aldy, dan dia tidak akan menjawab pertanyaan laki-laki itu. Ya. Tidak mungkin ia selamanya akan bergantung pada Aldy, kan?

Dan tiga. Perjanjiannya dengan Blackie. Ini dia yang sedikit membuat Zara kepikiran. Dia sendiri tidak masalah walaupun mereka belum sempat bertemu dan ia belum meminta Blackie melakukan sesuatu itu. Tapi Blackie tidak akan diam saja sampai saat itu tiba--saat Zara mengatakan permintaannya, karena mereka semua telah sepakat, janji adalah segalanya. Mereka harus menepatinya meski itu membuat mereka harus mengorbankan hal yang paling berharga dalam hidup--seorang yang bijak pernah berkata, seperti itulah para petarung sejati menjaga janji mereka.

Zara hanya bisa berharap Blackie melupakan perjanjian mereka dan tidak mencarinya demi hal remeh itu.

000

Malam telah beranjak larut.

Saat sekujur tubuhnya sudah benar-benar terasa kebas akibat guyuran air hujan sekian lama, Zara akhirnya tiba di jalan keluar tol. Jalanan tak begitu ramai seiring malam yang merangkak makin tua. Ia memelankan laju sepeda motornya sembari mengamati sekitar. Food court, coffee shop, restoran, dan butik bertebaran di sepanjang jalan. Tapi tidak ada satupun penginapan yang gadis itu temui. Jikapun ada hotel, dia sudah pasti tidak akan menginap di sana. Tidak. Karena itu jelas kabar buruk untuk kantongnya.

Setengah jam kemudian, Zara akhirnya menemukan sebuah bangunan. Ia menghentikan motor di tepi trotoar dan menatap bangunan itu lamat-lamat. Pilar-pilar dan ukiran artistik, pintu-pintu kaca tinggi, suasana yang terang dan hangat. Juga ... kubah hijau tua besar di atas sana.

Masjid.

Zara menghela napas. Diparkirnya motor di halaman masjid besar itu dan melepas helmnya. Gadis itu membenarkan letak ransel di punggung dan melangkah ke terasnya. Dan dengan begitu saja, gelombang kenangan itu memenuhi pikirannya. Membawanya pada ingatan yang telah mengendap sangat lama di dalam sana ...

Four Academy : And The Soul of YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang