Pemuda itu menatap kendaraan yang berlalu-lalang di hadapan. Ia menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan berdecak. Kenapa orang yang ia tunggu tidak segera datang? Menyebalkan. Ia jadi harus mengorbankan waktunya yang berharga di sekolah untuk menemui seseorang yang bahkan tidak bisa datang tepat waktu.
Sebuah dering dari ponsel di saku menyadarkan pemuda itu.
"Siapa lagi, nih?" Diambilnya ponsel itu dan melihat layarnya. "Mrs. Brown?"
Pemuda itu mengangkat teleponnya dan menyapa orang di seberang. Sesaat, ia mendengarkan suara yang disebutnya sebagai Mrs. Brown dan menepuk jidat.
"Saya beneran lupa, Bu." Ia tersenyum kecut. "Ini orang yang saya tunggu juga malah belum dateng, gimana dong Bu?"
Sejenak, pemuda itu mendengarkan lagi jawaban dari seberang. "Jadi Ibu manggil Zach? Alan nanti dianter dia ke kamar saya, gitu? Siap, Bu. Iya, nanti kalo utusan saya sudah selesai saya langsung balik ke asrama."
Mrs. Brown kembali mengucapkan beberapa kalimat. Pemuda berambut cokelat tua itu mengangguk kecil seakan lawan bicaranya bisa melihat anggukannya, sebelum kemudian telepon ditutup dari seberang.
Ia meringis melihat layar ponsel yang telah mati. "Selalu aja gini. Matiin telepon tanpa pamit."
Mata cokelat gelap itu kembali memandang ke depan. Ia memasukkan lagi ponselnya dalam saku jaket dan memutuskan untuk kembali ke mobilnya yang ia parkir tak jauh dari posisinya saat ini. Ponsel pemuda itu kembali berdering saat ia telah duduk di jok depan.
"Halo?" Ia menyapa si penelepon. "Lo di mana, sih? Gue udah nunggu hampir satu jam dan lo nggak muncul-muncul juga! Sekarang gue mau pergi, nih."
"Sori, gue kudu puter arah dulu. Sekertaris perusahaan bilang ada orang-orang FI di rute jalan yang biasa, gue nggak mau ambil resiko."
"Ya tapi gue yang jadi korbannya, nih! Lo butuh waktu berapa lama lagi buat sampe di sini?" Pemuda itu menggerutu, meski diam-diam dalam hati was-was mendengar kata FI yang tadi disebut rekannya.
"Sepuluh menit. Tunggu gue sepuluh menit lagi di dalem kafe yang udah kita sepakati. Gue janji bakal sampe di sana dalam sepuluh menit, oke?"
"Oke." Si mata cokelat tua mendengus. "Cepetan."
"Siap, Bos."
Telepon ditutup kemudian. Ia tampak berpikir beberapa menit, lantas segera keluar dari mobil dan memasuki kafe yang ada di sisi jalan. Pemuda itu memilih tempat duduk di dekat pintu dan mulai melihat-lihat buku menu.
Orang yang ia tunggu akhirnya datang tepat waktu--seorang pemuda lain seumurannya, dengan kaus kasual dan celana jeans biru tua. Ia melambaikan tangan sembari mendekat ke meja rekannya, lalu menghempaskan tubuh di salah satu kursi.
"Akhirnya nyampe juga." Direnggangkannya otot sejenak, seakan begitu pegal setelah lama berada di balik kemudi. "Lo nggak tau perjuangan gue, Ryuu. Gue capek banget, sumpah."
Pemuda berambut cokelat tua--yang barusan depanggil Ryuu--mengangkat bahu. "Udah resiko elo, itu Ren."
Ren mengerucutkan bibir. Ia mengulurkan tangan, meminta buku menu yang ada di tangan Ryuu. "Siniian buku menunya, gue mau pesen minuman."
"Nggak usah pake pesen-pesen segala!" Ryuu menahan buku menu itu. "Kasihin barang yang lo bilang aja langsung."
"Yaelah, Yuu. Gue haus banget, nih! Minuman doang," Ren menyahut sebal. "Pelit amat."
"Minuman doang kalo gitu. Gue pesenin." Ryuu mengangkat tangan, memanggil seorang pelayan yang ada di dekat mereka. "Cherry Fruity Punch-nya dua, ya Mbak."
![](https://img.wattpad.com/cover/155946240-288-k2365.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Four Academy : And The Soul of Yesterday
Roman pour AdolescentsIni tentang Zara dan mimpi-mimpinya. Tentang masa lalu yang memaksa hadir di masa sekarang. Tentang cinta seorang sahabat. Cinta seorang saudara. Dan cinta yang tak pernah Zara bayangkan akan ada di dunia ini. Ia hanya tahu bahwa ia harus berjalan a...