Puzzle Empat.

58 11 5
                                    

Zara berusaha meneguhkan diri. Ia menghadapkan wajah pada ayahnya dan menatap pria itu balik.

"Papa pengen aku jawab apa?"

Zaidan menatap tajam putrinya. "Apa. Yang. Kamu. Sembunyiin. Dari. Papa."

"Udah jelas menurutku." Sudah kepalang, bukti telah jelas terpampang di depan mata. Zara tidak bisa lagi menghindar. Ia memutuskan menghadapinya. Tidak ada jalan untuk menghindar lagi.

"Ini pakaian balap. Apalagi penjelasannya, Pa?"

"Kenapa ini ada di kamu?"

"Apa yang sebenernya pengen Papa denger? Zara seorang racer? Zara tadi sore balapan? Papa jelas tau ini pakaian siapa. Cuma ada satu orang yang punya pakaian ini di dunia, karena model ini didesain khusus sama pemiliknya tanpa ada yang bisa niru." Zara benar-benar telah keluar dari zona nyamannya dengan memutuskan melawan ayahnya. Ia mengangkat wajah. "Ada lagi? Oh, ya. Biar Zara perjelas. Ini punya Red King. Papa tau siapa dia. Ada di depan Papa sekarang."

PLAAKK.

Tanpa sempat Zara sadari, wajahnya telah tertoleh keras ke kanan. Pipinya terasa berdenyut dan panas. Rasa panas itu bahkan menjalar hingga ke seluruh wajah dan lehernya. Sakit ...

Di saat yang sama, suara pekikan tertahan lolos dari bibir seseorang. Bukan Zara. Di pintu depan, Tante Naya tampak terkejut menyaksikan Zaidan yang tega menampar putri kesayangannya. Ia menutup mulut dengan tangan dan menatap ayah-anak itu tak percaya.

Zara menyentuh pipinya, menghadap pada ayahnya lagi dan tersenyum kecil--hampir meringis.

"Papa nampar aku!?" Katanya pelan. "Wow. Ini pertama kalinya aku ditampar seumur hidup. Dan itu sama Papaku sendiri."

"Karena kamu kurang ajar." Papa balas berdesis. "Kamu anak yang nggak tau diuntung. Selalu saja bawa kesulitan buat hidup Papa!"

Zara makin terluka.

"Papa pikir jadi seorang pembalap itu aib? Papa pikir itu sesuatu yang hina!?" Zara menantang Ayahnya. "Kenapa Papa tampar aku setelah aku bilang kalo aku racer? Padahal putra sahabat Papa juga orang yang sama kayak aku. Dia juga racer, aku yakin Papa tau itu dari lama. Apa dia jadi aib buat keluarganya menurut Papa? Apa dia hina!?"

Zara terdiam sesaat.

"Oh ... atau karena aku perempuan, aku nggak boleh jadi seperti dia? Perempuan nggak boleh balapan, gitu Pa?"

"Kamu itu perempuan dan kamu nggak bisa hargain diri kamu sendiri!" Bentak Papa. "Kamu dikelilingi para laki-laki berandalan yang taunya cuma balapan malam-malam dan cari masalah sama polisi! Dan kamu pikir itu bukan aib buat Papa? Dengar, Zara. Dengar baik-baik. Kalau kamu masih nekad balapan lagi setelah ini ... jangan harap Papa masih nganggep kamu sebagai anak Papa, dan keluar dari rumah ini. Papa nggak akan naruh belas-kasihan sedikitpun."

Papa benar-benar telah kehilangan kontrol sekarang. Matanya memerah dan masih tak lepas memandang Zara tajam.

"Papa mau usir aku seperti Papa ngusir Mama dulu?" Suara Zara bergetar. Dadanya terasa sakit. Sangat sakit. "Aku bukan perempuan serendah itu, yang dikelilingi cowok-cowok nggak jelas. Dan Blackie, Blue, juga temen-temen racer yang lain, bukan laki-laki macam itu, asal Papa tau. Mereka orang-orang baik ..."

Sebutir air lolos ke pipi Zara yang lebam. "Dan Papa tadi bilang ... aku anak kurang ajar ... yang nggak tau diuntung?" Gadis itu tercekat. "Papa bilang aku selalu bawa kesulitan buat hidup Papa? Kapan aku nyusahin Papa? Kapan Pa ..."

Zara mengusap sudut matanya yang memanas.

"Kupikir dari kecil aku selalu dengerin kata Papa dan nggak pernah membantah apaun yang Papa omongin. Waktu Papa sama Mama mulai bertengkar tiap hari ... aku selalu diam dan nggak nangis di depan siapapun. Aku tetep bertahan di rangking tiga besar dan tetep jadi anak penurut, ingat Pa?"

Four Academy : And The Soul of YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang