Anak-anak kecil berlarian sepulang sekolah. Trotoar penuh oleh tubuh-tubuh mungil berseragam, juga gelak tawa riang mereka yang seakan tidak kelelahan setelah melewati berjibun pelajaran hari ini.
Zara dan Era berjalan bergandengan tangan. Era--gadis kecil berambut ikal yang dikuncir dua itu--tengah bercerita dengan semangat pada sahabatnya.
"Kue jahenya enak banget, lho. Besok kalo aku udah balik ke rumah aku bawain, deh buat kamu."
Zara mengerucutkan bibir. "Enggak, ah. Aku nggak suka kue jahe. Pedes, ada pait-paitnya juga."
"Ini beneran beda sama yang biasanya, Ra! Tante Ellyn pinter, deh bikinnya. Mau, ya cobain?"
"Enggak!" Tolak Zara. "Mama juga pinter buatnya. Tapi aku tetep nggak suka."
"Yaah." Ganti Era yang sekarang mengerucutkan bibir. "Zara nggak seru. Tapi pokoknya aku bakal bawain sekotak pas pulang nanti. Buat kamu."
Zara mengangkat bahu. Gadis kecil sebelas tahun itu menatap ke depan dan menghela napas.
"Kamu enak, ya Ra. Tiap liburan pasti mudik. Ketemu nenek-kakek kamu, Tante Ellyn itu, sama anaknya ... siapa namanya, Ra?" Zara menoleh pada Era.
"Rr ..."
"Non Zara!" Sebuah suara memutus kalimat yang ingin diucapkan Era. Dua gadis itu menoleh ke jalan, di mana suara tadi berasal. Mbok Zah, tukang cuci di rumah Zara tampak berdiri di trotoar seberang dan melambai-lambaikan tangannya.
"Mbok Zah?" Alis Zara terangkat. "Ngapain di sini?"
Mbok Zah tergopoh menyeberang jalan yang kebetulan sepi. Ia berhenti di depan Zara, memegang lengan gadis kecil itu dengan napas terengah.
"Ayo Non ... kita pulang. Mbok sudah pesen taksi, Non Zara harus sampe di rumah cepat-cepat."
"Kenapa emangnya, Mbok?" Zara mengernyit. Ia sekilas menoleh pada Era yang kebingungan, lalu menatap Mbok Zah lagi.
"Mama ... ya Mbok?" Tebaknya ragu.
"Iya, Non." Mbok Zah mengangguk. "Nyonya ..."
"Ya udah, kita pulang sekarang." Potong Zara. Ia menggandeng tangan Mbok Zah dan berpaling pada sahabatnya.
"Maaf, Ra ... aku pulang duluan. Aku panggilin Aldy, ya? Kayaknya dia tadi masih ngobrol sama temen-temennya di parkiran ..."
Era menggeleng seraya tersenyum. "Enggak usah, Ra. Aku pulang sendiri aja ... tau, kan Aldy sukanya bikin aku sebel kalo kita barengan ..."
"Beneran, nih?" Zara mengangkat alis.
"Iya. Udah, sana cepetan pulang."
Baiklah. Zara akhirnya pulang bersama Mbok Zah dengan taksi. Saat itu ia tak memiliki firasat buruk apapun. Hanya satu pertanyaan yang menggantung di benaknya : apakah Mama bertengkar lagi dengan Papa? Kenapa dia harus cepat-cepat pulang?
000
Zara merasa kepalanya berdentam. Sesaat setelah kilasan-kilasan masa lalu itu mengabur dan akhirnya gelap, ia mulai bisa merasakan tubuhnya.
Sakit. Sangat sakit di mana-mana.
Gadis itu perlahan membuka mata. Meski awalnya kabur, pandangannya segera bisa menyesuaikan dengan pencahayaan ruang di mana ia berada sekarang. Zara mengerjap. Yang pertama ia lihat adalah plafon di langit-langit dan lampu yang benderang. Ia mendengar suara alat-alat kesehatan dari arah atas kepalanya. Juga suara bisikan lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Four Academy : And The Soul of Yesterday
Teen FictionIni tentang Zara dan mimpi-mimpinya. Tentang masa lalu yang memaksa hadir di masa sekarang. Tentang cinta seorang sahabat. Cinta seorang saudara. Dan cinta yang tak pernah Zara bayangkan akan ada di dunia ini. Ia hanya tahu bahwa ia harus berjalan a...