16. Di Bentak

1.5K 83 0
                                    

Happy Reading❤

_____

Alfan mengacak rambut wanita yang kini duduk di sebelahnya, ia gemas sekali dengan Aliska yang sedang menikmati gulali yang di belikan oleh Alfan. Pria itu tidak masalah, malah ia berterimakasih pada Aliska, karena telah menemaninya jalan-jalan, menikmati sunset di sore hari.

"Fan, anterin gue pulang, yah? Udah hampir maghrib, soaplnya. Ntar laki gue marah, lagi," bujuk Aliska, Alfan menganggukkan kepalanya menyetujui permintaan Aliska. Meskipun hanya mobil pinjaman, setidaknya dia harus mengantar wanita itu pulang dengan selamat.

"Ayo, deh. Keburu maghrib," ajak Alfan, ia menarik dengan pelan tangan Aliska agar wanita itu mengikutinya.

Setelah berada didalam mobil, Aliska hanya terfokus pada satu titik. Yaitu gulali yanh sedang ia nikmati.

"MashaAllah, manis banget sumpah. Berasa, makan diri sendiri,"

"Yaampun, Lis. Ngomong suka ngelantur, gitu,"

Aliska menolehkan kepalanya pada Alfan yang sedang menyetir, tatapan tak suka ia layangkan pada pria. Akhir-akhir ini memang ia selalu sensitif, tak terkecuali pada Suami tercintanya.

"Ini bukan ngelantur, Alfan cacing. Ini kenyataan yang memang sulit di terima oleh seluruh rakyat indonesia, karena merasa iri dengan kecantikan gue yang ulala membahana, kayak Ariana Grande gitu, lah!" cerocosnya panjang lebar, tangannya ia kipas-kipaskan di wajahnya. Rambutnya yang menjuntai ia sengaja sibakkan dengan angkuh. Ya ampun, sepertinya wanita kemasukan arwah Suzana.

"Pasang seatbelt lo, Aliska!"

"Gue nggak bawa seatbelt, Alfan. Yang ada ini hanya seatbelt, nih mobil!"

"Maksud gue, gitu. Lo yah? Gitu aja panjang banget kasusnya," grrget Alfan.

Aliska terkekeh pelan, ia memakai seatbel setelah gulali habis tak tersisa. Ia menatap pinggiran kota yang terlihat sangat indah, saat di petang seperti ini.

"Lo jarang keluar, yah Lis?' tanya Alfan, memastikan. Sepertinya gadis itu sangat menikmati pemandangan di waktu petanv seperti ini.

"Bukannya jarang, sih. Cuma Erick ngelarang gue keluar tanpa ada, dia. Takut kandungan gue kenapa-napa, ketanya," jelas Aliska. Ia tersenyum simpul, saat mengingat Erick yang begitu posessive pada kandungannya. Kemana-mana nggak boleh lah, kesana nggak boleh, bahkan keluar rumah pun harus ada, dia.

Dengan cepat, Alfan menolehkan kepalanya. Kaget dengan penuturan Aliska. "Lo udah, hamil?" tanya Alfan raut wajah kaget.

Aliska memundurkan wajahnya, saat Alfan mendekat karena kaget. "Iya, Alfan. kandungan gue udah sebulan lebih, dua hari lagi dua bulan," jawab Aliska.

"Kok nggak, buncit yah?"

"Badan gue itu kecil, Alfan. Jangan ngeledek, deh,"

"Gue bener-bener nggak nyangka, di umur yang segini lo udah hamil. Udah mau punya anak, bangga gue sama laki lo, tuh. Berani juga dia langsung lamar, lo. Erick itu kuliah atau kerja, yah?"

Disaat-saat seperti ini lah, yang menurut Aliska paling membosankan. Alfan itu seperti Kakaknya sendiri, yang selalu posessive tentangnya, semua harus ia tahu.

"Erick itu orangnya berani banget, disaat orang lain cuma ngikat dengan janji-janji manis, yang belum tentu ia tepati, tapi Erick ngikat gue dengan janji suci. Dia nggak mau pacaran lama-lama, karena suatu saat pasti akan ada kata putus dari kita, berdua. Nah kalo nikah? Jaman sekarang, ngurus surat cerai susah, say," Aliska terkekeh pelan, sok puitis sekali kata-kata yang barusan terlontar di bibirnya.

Alfan menggelengkan kepalanya seraya tersenyum, tangan kanannya tergerak mengacak puncak kepala Aliska. Wah, adiknya ini ternyata sudah besar.

"Udah sampe, nih. Masih mau, disini?" tanya Alfan, ia menjentikkan tangannya pada Aliska. Wanita itu tersadar dari lamunannya, ia menatap sengit ke arah Alfan. Sementara, yang di tatap hanya menampakkan cengirannya, tanpa ada rasa bersalah.

"Oh, yah? Gue masih punya satu pertanyaan nih. Erick itu kuliah atau kerja? Sampe berani nikahin lo!"

"Erick kuliah. Nah kalo untuk pemasukan gue sama dia, nggak perlu pusing. Dia udah punya cafe sendiri, pemberian dari ayahnya. Dia ngurus itu dari kecil, sampai saat ini berjaya. Nggak gimana-gimana banget, sih. Tapi alhamdulillah, penghasilan dari cafe itu sendiri, Erick bisa biayain kuliahnya sama kehidupan kita sehari-hari. Jadi kalau mau minta sama orang tua kita, udah nggak lagi. Tapi kadang mertua gue suka ngasih Erick uang, sih. Katanya, itu tanggung jawabnya karena Erick masih kuliah. Sumpah deh, gue pens banget sama laki gue, tuh!" Aliska menarik nafasnya capek, telah menjelaskan panjang lebar. Sementara, Alfan hanya menganggukan kepalanya. Ternyata Suami Aliska, sudah berpikir yang matang untuk masa depannya.

"Yaudah, turun gih. Udah lewat maghrib, nih," ia mendorong pelan tubuh Aliska, hingga gadis itu mendengus kesal. Aliska melepaskan seatbelt yang terpasang di badannya, lalu beranjak turun dari mobil Alfan.

Setelah mengucapkan terimakasih, dan salam perpisahan. Alfan mengendarai mobilnya pergi dari sana. Aliska membalikkan tubuhnya, lalu membuka gerbang. Hal pertama yang menjadi pusat perhatiannya adalah, rumahnya yang terlihat sepi dan gelap. Lampu sama sekali tidak ada yang menyala. Pancaran dari sinar rembulan, dan lampu tetangga yang meerangi halaman rumahnya.

'Apa Erick belum pulang, yah?' tanya Aliska pada dirinya sendiri.

Saat tiba di teras, Aliska mendorong pintunya dengan pelan, alhasil pintu itu terbuka. Padahal, baru saja Aliska hendak mengambil kunci rumah di tas miliknya.

Derap kaki langkah Aliska menimbulkan suara ketukan dilantai. Matanya menyelinap, mencari sesuatu didinding. Saat hendak menyalakan lampu, tiba-tiba saklar lampu berbunyi, ada orang lain yang menyalakannya.

Aliska mengedipkan matanya berkali-kali, saat lampu itu menyalah dengan cahayanya yang begitu terang. Seorang pria dengan baju santai yang ia gunakan, tengah berdiri dengan tangan yang ia lipat di depan dada. Aliska menelan salivanya, saat melihat wajah seram dari Erick yang seperti ingin menerkamnya.

Wanita itu tersenyum sumringah, berusaha menyembunyikan ketakutannya pada Suaminya. Ia berjalan kearah Suaminya, tangannya ia selipkan pada lengan Erick, lalu bergelanyut manja pada Suaminya.

"Sayang?" panggil Aliska. Tak ada jawaban dari Erick. Ia hanya diam bergeming. Tiba-tiba suara bariton yang keluar dari mulut Erick, membuat Aliska merinding sendiri.

"Darimana?" tanya Erick dingin. Bulu kuduk Aliska sampai berdiri, saat mendengar pertanyaan Erick.

"Abis jalan-jalan, Abang," jawab Aliska jujur.

"Masih ingat punya, Suami?" Erick melepaskan tangan Aliska yang sedang bergelanyut manja di lengannya. Melihat hal itu, matanya sudah berkaca-kaca dengan penolakan Erick pada dirinya yang sedang memegangnya.

"Abang kok nanyanya, gitu? Aliska inget, lah. Masa nggak," Aliska berusahan menahan air matanya, agar tidak terjatuh.

"KAMU PIKIR AKU NGGAK LIAT, DIA NGACAK-NGACAK RAMBUT KAMU? ENAK BANGET, YAH KAMU. PULANG UDAH MAGHRIB, NGGAK INGET ADA RUMAH?" bentak Erick dengan suara kerasnya. Ia menghembuskan nafasnya kasar. Perlahan emosinya sudah dapat dikontrol. Ia takut terjadi apa-apa pada wanitanya jika membentaknya berkali-kali. Anggap saja itu adalah hukuman yang harus Aliska terima.

"Plis, jangan bentak Aliska. Aku bisa jelasin semuanya. Maaf Abang, Aliska lupa minta izin,"

Hati Aliska bagai diremas, saat melihat Erick mengacuhkan perkataannya, seakan tidak mau peduli sama sekali.

"Udah, aku mau tidur. Capek hati, udah liat Istri jalan sama laki-laki lain," Erick beranjak dari tempatnya berdiri, ia menaiki tangga dengan cepat. Tanpa sadar air mata Istrinya sudah jatuh di wajah mulusnya. Menunggu seseorang untuk menghapusnya? Tidak mungkin. Suaminya telah pergi, tanpa mendengar sepatah kata penjelasan darinya. Aliska membuang nafasnya pelan, ia akui ini memang salahnya, karena tidak meminta izin terlebih dahulu pada Erick.

Ia menghapus air matanya dengan kasar, lalu naik ke kamarnya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat islam, meski mungkin waktunya sudah lewat.

To Be Continued

19 DESEMBER 2018

ALRICK 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang