Ep. 10 - Abandoned House

98 21 64
                                    

Catherine melangkah perlahan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Kedua matanya terkunci pada sosok tersebut. Semakin ia dekat, semakin cepat detak jantungnya. Tangannya mengambil sapu yang tergantung di tembok.

Walau lampu apartemennya menyala, sosok orang tersebut sama sekali tidak bergerak.

Catherine mengayunkan sapunya untuk memukul siapapun yang bersembunyi di sofanya. Namun, ayunannya terhenti ketika ia melihat siapa yang ada di atas sofanya.

Altair.

Altair berbaring di atas sofanya sambil memejamkan matanya. Wajahnya tenang padahal ia baru saja ditembak bertubi-tubi. Darah yang tadinya mengotori wajahnya, sudah hilang. Di bajunya juga tidak ada bercak darah sekalipun.

Catherine menjatuhkan sapunya dan langsung memeluk Altair. Tangisnya pecah diiringi perasaan lega yang menghujaninya.

"Altairrrr!!!!"

Altair membuka matanya dan terkejut melihat Catherine memeluknya. Apalagi tangisan Catherine sangat kencang hingga menusuk gendang telinganya. Altair yang bingung harus bereaksi apa, hanya menepuk kepala dengan lembut.

"Catherine...Lindberg? Ada apa?" tanya Altair. "Ambulans belum datang?"

Altair bisa merasakan pelukan Catherine yang semakin erat. Gadis itu juga semakin menenggelamkan wajahnya di dadanya. Mungkin cravat-nya sudah basah kuyup terkena air matanya.

Altair bergerak bangun dari tidurnya dan duduk di sofa. Catherine melepaskan pelukannya.

"Catherine Lindberg. Duduklah, tenangkan dirimu," kata Altair.

Catherine pun menurut dan duduk di sebelah Altair. Isakannya belum berhenti. Altair hanya diam menunggu Catherine sampai ia tenang.

"Sudah merasa baikan?" tanya Altair ketika isakan Catherine mereda.

Catherine mengangguk. Ia memutar tubuhnya hingga menatap Altair.

Mata biru Catherine menelusuri Altair dari atas ke bawah. Altair terlihat normal, kecuali ia memasang ekspresi bingung karena melihat dirinya tiba-tiba menangis. Pakaiannya memang berlubang, namun tidak ada luka di tubuhnya maupun darah di pakaiannya.

"Altair," Catherine mulai membuka suara. "Aku kira kamu mati gara-gara ditembak. Kalau kamu mati, itu semua salahku..." Catherine mulai terisak lagi.

"Sudah kubilang, aku tidak bisa mati lagi karena aku sudah mati. Manusia tidak akan bisa membunuhku. Aku hanya butuh istirahat sebentar untuk memulihkan luka-lukaku. Maaf aku tidak menjawab panggilanmu," jawab Altair.

"Lukamu... sudah pulih?"

Altair mengangguk. Ia lalu mengangkat poninya dan menunjukkan dahinya yang mulus tanpa bekas luka sedikit pun. "Sudah sembuh. Ah, pakaianku berlubang gara-gara peluru mereka. Tenang saja, aku bisa memperbaikinya sendiri."

Catherine menundukkan kepalanya dan tidak mengatakan apapun. Tanpa diberi tahu, Altair bisa merasakan apa yang Catherine rasakan. Hatinya ikut terasa sesak karena Catherine tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini.

Altair mengenggam tangan Catherine.

"Catherine Lindberg, kamu tidak perlu merasa bersalah. Melindungimu adalah kewajibanku. Aku tidak masalah ditembus ratusan peluru asalkan kamu tidak tersentuh," ucap Altair.

"Tapi pasti sakit kan? Gara-gara aku lemah, kamu harus merasakan sakit..." balas Catherine.

"Terima kasih sudah peduli. Tapi aku tidak bisa memaafkan diri sendiri kalau kamu sampai merasakan rasa sakit itu. Aku siap menjadi perisaimu."

KAT AND CATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang