"Seongwu?"
Jantung Seongwu berdegup kencang, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia berpura-pura mengenalinya? Atau haruskah ia jujur dan berkata bahwa ia hilang ingatan? Tetapi bagaimana jika Daniel marah? Astaga ini bencana.
Seongwu dengan takut-takut membuka perlahan pintu rumah Daniel, berusaha melihat siapa pemilik suara serak yang memanggil namanya itu.
"Astata Seongwu! Kenapa kau tidak bilang kalau kau menginap di rumah Daniel? Aku mencarimu kemana mana! Kukira kau diculik orang jahat atau kabur dari rumah!" semprot wanita tua itu. "Tetapi syukurlah kau baik-baik saja." lanjutnya.
Seongwu menelan ludahnya. Siapa orang yang ada di depannya ini? Di dalam otaknya, ia mulai menalar kemungkinan yang ada. Wanita ini sudah cukup tua dan ia mengenal siapa Seongwu. Ia mengatakan tentang kabur dari rumah, jadi kemungkinan besar Seongwu tinggal bersamanya. Sepertinya ia sangat dekat dengan Seongwu, dan karena wanita ini sudah tua, jadi dia adalah nenek Seongwu.
Benar kan? Batin Seongwu.
"Maaf nek, aku lupa meminta izin." ucap Seongwu. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya ketika wanita tua itu terdiam.
"Ada apa denganmu Seongwu?"
Jantung Seongwu semakin berdegup kencang. Apa dia salah bicara? Jangan-jangan dia bukan nenek Seongwu.
"Kenapa kau tiba-tiba bicara sopan begini, hahaha. Biasanya kau akan mengeluh atau merajuk jika aku marah." nenek Seongwu tertawa lebar.
Seongwu menghela nafas lega. "Ah, iya nek, hahaha." Seongwu menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa.
Bruk!
Seongwu dan neneknya reflek menengok ke sumber suara. Tawa mereka terhenti dan terganti dengan wajah terkejut. Mata Seongwu membulat ketika melihat siapa yang ada di belakang neneknya. Di sana Daniel berdiri dengan wajah terkejutnya menatap tidak percaya ke arah Seongwu. Tasnya terjatuh dan beberapa barang keluar dari tasnya. Ia menatap Seongwu dengan tatapan Apa-yang-kau-lakukan?
Mata Seongwu bergetar menatap Daniel, dalam hati ia memaki-maki dirinya sendiri. Seongwu tahu ia sudah melakukan kesalahan.
***
"Apa yang aku katakan tentang keluar dari rumah?" Daniel memijat keningnya. Ia bersender di tembok sambil memandang Seongwu yang duduk di kursi sambil menundukkan kepalanya.
"Maaf." ucap Seongwu, masih menunduk.
"Kenapa kau keluar?"
"Maaf."
Daniel menghela nafas. Selalu saja begitu. Jika Seongwu melakukan kesalahan, ia hanya akan mengucapkan kata maaf tanpa memberi alasan sedikit pun. Tujuan Seongwu bersikap begitu sudah jelas untuk menghentikan percakapan. Asal ia meminta maaf, ia pikir semuanya sudah selesai.
"Kau hanya bisa mengucapkan kata maaf?" tanya Daniel dengan penekanan pada kata maaf. Ia melipat tangannya menunggu Seongwu untuk menjawab.
"Aku salah, jadi aku meminta maaf! " Seongwu mengangkat kepalanya lalu menyenderkan punggungnya di kursi. Ia mendengus kesal. Benar-benar terlihat seperti anak kecil.
"Aku bertanya kenapa kau keluar." tegas Daniel.
Seongwu menatap Daniel sengit. "Ya aku hanya bosan di dalam rumah, apa salahnya aku keluar?" protes Seongwu.
"Astaga Seongwu, ini bahkan baru satu hari sejak kau siuman. Kau bertanya apa salahnya? Bagaimana kalau mereka sampai tahu kau hilang ingatan? Kau mungkin akan dibawa ke rumah sakit dan diberi perawatan khusus. Orang yang hilang ingatan masih bisa dihitung jari, otakmu mungkin akan dijadikan bahan percobaan."
"Ya, dan hal itu belum terjadi, Daniel. Baiklah, aku tidak akan keluar tanpa seizinmu, tidak akan membuka pintu, membuka jendela, atau apapun itu. Aku tidak akan bergerak satu inci pun dari kamar kalau memang itu yang kau mau. Jadi mari kita akhiri perdebatan ini disini. Bagaimana? Oke? Oke." Seongwu menganggukan kepalanya dan membuat kode oke dengan tangannya. Ia berdiri lalu berjalan pergi meninggalkan Daniel yang kehabisan kata-kata.
"Kalau begitu besok kau benar-benar tidak boleh bergerak!" seru Daniel.
Seongwu membalikkan badannya sambil membuat tampang terkejut yang terlihat sangat menyebalkan. "Kau kira aku ini apa? Aku bukan boneka ataupun robot, dasar." Seongwu menghentakkan kakinya lalu masuk ke perpustakaan dan membanting pintunya.
Aduh bocah sialan ini. Batin Daniel dalam hati. Ia menepuk-nepuk dadanya sambil menghela nafas panjang, berusaha bersabar.
***
Pria berambut hitam itu berjalan masuk ke dalam gua. Ia mengecek kembali tiap sudut gua itu, mencari benda pentingnya yang hilang. Ia menghela nafas kasar ketika tidak menemukannya. Pikirannya berkecamuk marah mengira-ngira siapa yang mencuri bukunya itu.
"Bajingan mana yang berani mengambilnya." gerutunya kesal. Ia mendongakkan wajahnya. Memang aneh untuknya berharap kalau orang yang mencurinya akan mengembalikannya lagi ke tempat sebelumnya, tetapi dirinya tetap kembali untuk mengecek, padahal tadi pagi ia sudah datang dan mencarinya.
Sebenarnya tanpa buku itu pun ia masih bisa melakukan ritual-ritual terlarang, toh dia sudah menghafal semua mantra dan tata caranya, hanya saja buku itu merupakan warisan turun temurun. Kakek buyutnya yang sudah berusia ratusan tahun pasti akan sangat marah padanya. Bagaimana kalau ia dikenai hukuman?
"Haruskah aku menuliskannya ulang saja?" tanyanya pada dirinya sendiri. Tangannya mengepal erat karena kesal.
"Dia, " pria itu mengambil sebuah batu yang berada di dekat kakinya, menggenggamnya erat. "tidak akan kubiarkan lepas begitu saja," lanjutnya sambil meremas kuat batu itu. Cahaya terlihat keluar dari sela-sela jarinya. Ia membuka tangannya dan seekor binatang yang terlihat seperti burung terlihat. Sayap hitam dan buntut ularnya terlihat ganjil. Mata merahnya menyala terang.
"Aku ingin kau mencarinya."
Makhluk itu menunduk patuh dan segera mengepakkan sayapnya membelah kesunyian malam.
X|Forbidden|X
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden
Fanfiction[DISCONTINUE READ AT YOUR OWN RISK] Daniel sangat menyayangi Seongwu. Ia takut akan kehilangan cahaya matahari dalam hidupnya. Karena itu ketika cahaya itu mati, Daniel berusaha membangkitkannya agar hidup kembali. Daniel siap menerima resikonya d...