Sayap Luciel mengepak keras, berusaha berlari pergi dari dua malaikat yang hendak menangkapnya. Tetapi perjuangannya sia-sia, kedua tangannya sudah terikat tali api biru yang perlahan-lahan menghisap habis kekuatannya. Luciel jatuh menyerah membiarkan kedua malaikat itu membawanya ke lapangan penghakiman.
Lapangan penghakiman. Sebuah lapangan luas yang penuh dengan bebatuan. Terdapat corak lingkaran yang makin mengecil di titik tengahnya. Lingkaran paling kecil itulah yang akan menjadi tempat Luciel berdiri menghadapi hukumannya.
Ya, Luciel tahu ia sedang berada dalam masalah, tetapi ia tidak menyangka malaikat-malaikat ini akan menyeretnya dengan kasar ke tengah lapangan. Mereka tidak menaruh sedikitpun belas kasihan pada dirinya.
Malaikat-malaikat ini sudah terlatih untuk mengontrol emosinya.
Kedua malaikat itu menarik masing-masing tali pada tangan Luciel dengan kasar, membuat Luciel jatuh tengkurap dan berkali-kali menyeret wajahnya di lantai batu, membuat wajahnya tergores parah.
Ia memejamkan erat matanya ketika dua malaikat itu melemparnya ke dalam lingkaran. Dinding transparan seketika muncul membatasi ruang geraknya. Ia mendongak, lalu menggigit bibirnya.
Sungguh rasa sakit di tubuhnya tidak seberapa, dibandingkan dengan rasa malunya ketika ia menyadari bahwa para malaikat yang lain akan melihat proses penghukumannya.
Luciel melihat beberapa wajah familiar yang menatap tidak percaya padanya. Beberapa terlihat sedih dan yang lain terlihat kecewa. Bahkan ada yang menatapnya dengan hina penuh kebencian.
Bukan, bukan ini yang kuinginkan! Luciel mengepalkan tangannya erat. Perasaannya campur aduk, sedih, marah, menyesal, semuanya menjadi satu, membuat dadanya terasa sesak.
Seolah itu semua belum cukup menghancurkannya, Luciel membuka lebar matanya ketika ia melihat ke arah para malaikat penghakim.
Di sana sahabatnya berdiri dengan tangan bergetar menggenggam buku suci. Keduanya sama-sama terkejut dengan 'kebetulan' ini, tidak ada diantara keduanya yang ingin berada di posisi mereka sekarang, mereka berdua ingin pergi.
Melihat jubah emas yang dikenakan oleh sahabatnya itu membuat hati Luciel mencelos. Begitu juga sebaliknya, melihat jubah hitam yang ditalikan di leher Luciel, jantung malaikat itu berdegup kencang hingga terasa sakit dan sesak. Hal ini hanya berarti satu hal.
Cael lah yang akan menjatuhkan hukuman pada Luciel.
***
Seongwu berlari dengan ujung kakinya. Ia pergi mengumpat dari pohon ke pohon, sesekali mengecek sekelilingnya, memastikan tidak ada oknum bernama Kang Daniel di sana. Merasa sudah aman, ia mengambil langkah seribu ke gedung kedokteran.
Gedung ini adalah sebuah rumah sakit dan sekolah dokter yang digabung menjadi satu. Bisa dibayangkan betapa luasnya gedung ini, belum lagi dengan adanya taman yang mengelilinya. Seongwu juga sangat lelah dari tadi harus berlari zig-zag di antara pepohonan untuk sampai ke gedung ini. Lihat saja, sekarang ia masih mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Kalau saja Daniel tidak sekolah di sini, Seongwu tidak perlu repot-repot begini kan.
Seongwu menelan ludahnya, ia berjalan gugup ke arah resepsionis. Selama ini ia hanya berbicara pada Daniel, Daniel, Daniel, dan Daniel lagi, lalu neneknya, dirinya sendiri, dan juga pria mencolok berambut platina yang tiba-tiba berada di depan rumah Daniel. Aneh rasanya, ketika tiba-tiba keadaan mengharuskan dirinya berbicara dengan manusia lain.
Seongwu nyaris melompat ketika resepsionis yang sedang menulis itu tiba-tiba mendongakkan kepalanya ke arah Seongwu. "Halo, bagaimana kabar anda? Ada yang bisa saya bantu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden
Fanfiction[DISCONTINUE READ AT YOUR OWN RISK] Daniel sangat menyayangi Seongwu. Ia takut akan kehilangan cahaya matahari dalam hidupnya. Karena itu ketika cahaya itu mati, Daniel berusaha membangkitkannya agar hidup kembali. Daniel siap menerima resikonya d...