"Ah sang malaikat suci ada disini?" ucap Lucifer dengan nada mengejek. Ia memasukkan tangannya di saku celananya sambil berjalan mendekat.
"Yah aku harus membereskan kekacauan yang dibuat si pemberontak. Sampai kapan dia mau terus begini ya?" malaikat berambut platina itu mengedikkan bahunya. Jelas sekali ia sedang menyindir mantan malaikat yang berada di depannya.
"Sampai nyawaku habis tentunya." jawab Lucifer santai, dihiasi dengan senyum miringnya.
Pria yang lebih tinggi terkekeh geli. "Kau tak bisa mati." ucapnya.
"Exactly." Lucifer menjetikkan jarinya sarkas.
Si rambut platina menghela nafas, tapi dirinya tersenyum tipis. Keheningan melanda keduanya, tidak ada yang berencana untuk berbicara duluan. Lucifer menatap tajam ke wajah yang dulu pernah menjadi teman baiknya, dan yang ditatap hanya menunduk memandangi tanah. Seolah ada sebuah pertunjukan sirkus di bawah kakinya. Tak lama sang malaikat menggigit bibir tebalnya sebelum berkata.
"Kau tahu, aku merindukanmu..." ucapnya pelan.
Perkataan itu di hadiahi tawa terbahak-bahak dari sang Lucifer. Sebagian dari dirinya merasa marah dan sebagian yang lain ingin mengucapkan hal yang sama. Tetapi ucapan itu terdengar seperti lelucon di telinganya, lelucon yang sangat lucu tetapi berhasil membuat hatinya mencelos.
"Jangan bercanda, saat itu kau bahkan tidak membelaku." Lucifer memegangi perutnya yang kesakitan karna tertawa, tangan kanannya menyeka air mata yang keluar di ujung matanya. Air mata karena tertawa, atau mungkin bukan.
Lucifer kembali berdiri tegak. "Kau tahu pekerjaanmu sekarang adalah memusnahkanku kan? Terlibat perasaan dengan musuhmu itu bukan hal yang te-"
"Aku sudah terlibat perasaan denganmu sebelum kau menjadi musuhku." malaikat itu dengan cepat menyela ucapan Lucifer. Tangannya mengepal erat karena emosi. Entah apa yang membuatnya merasa sangat marah sekarang.
Keluar tawa mengejek lalu decakan dari mulut Lucifer. "Oh ya benar! Apa kau ingat kapan tepatnya? Sudah berapa abad yang lalu ya? Akhir-akhir ini aku melupakan banyak hal, sebagian besar hal yang tidak penting sih." Lucifer mulai lagi dengan sarkasnya.
"Sejak kapan kau penuh dengan sarkasme seperti ini? Kemana si polos dan baik hati yang dulu kukenal?" tanya si rambut platina. Terlihat jelas kesedihan di wajahnya. Matanya memerah dan berkaca-kaca, seolah-olah air matanya dapat turun kapan saja.
Di sisi lain, Lucifer merasa kesal. Tangannya mengepal kencang dan matanya pun memerah. Ini tidak adil! Pikirnya. Mengingat semua hal yang telah terjadi, yang seharusnya menangis adalah dia, yang berhak menangis adalah dia, bukan si malaikat cecunguk itu.
"Sudah mati."
Kata-kata Lucifer membuat malaikat yang nyaris menangis itu menegakkan kepalanya, menatap lurus ke arah Lucifer.
"Dan kau yang membunuhnya, Cael. Kau yang membunuhnya."
***
Luciel memandang dari jauh jendela rumah sakit. Dari balik jendela itu terlihat seorang anak laki-laki mungil yang tertidur pulas. Kepalanya yang botak dan tertutupi perban memperlihatkan bahwa ia baru saja melakukan operasi pengangkatan tumor. Sayangnya keberuntungan tidak berada di pihaknya. Tumornya belum terangkat sepenuhnya dan ia terlanjur kehilangan banyak darah.
Luciel membuka buku bersampul hitam miliknya dan mencari sebuah nama di dalamnya. Jarinya menunjuk ke arah tulisan yang berada di buku sembari ia membacanya. Tepat di sebelah nama itu terdapat barisan angka yang menandakan tahun, bulan, hari, jam, menit, dan terakhir detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden
Fanfiction[DISCONTINUE READ AT YOUR OWN RISK] Daniel sangat menyayangi Seongwu. Ia takut akan kehilangan cahaya matahari dalam hidupnya. Karena itu ketika cahaya itu mati, Daniel berusaha membangkitkannya agar hidup kembali. Daniel siap menerima resikonya d...