Chen berhenti menulis saat pintu ruangannya diketuk. Entah dia harus merasa lega atau gusar karena telah menanti satu jam demi kedatangan terdakwa pembunuhan sadis di sebuah apartement.
Pihak kepolisian kesulitan meminta keterangan lebih lanjut dari terdakwa, Song Mino, yang tutup mulut setelah mengakui kesalahannya. Bahkan pengacaranya sendiri juga tak bisa berbuat apa-apa.
Atas pengakuan Mino hanya ada satu orang yang bisa membuatnya membeberkan apa yang terjadi dari awal hingga akhir yaitu dokter yang pernah merawatnya, Chen.
Chen menyutujui. Di dalam ruangannya sudah disiapkan sebuah handycam yang akan merekam dengan baik pengakuan Mino. Tak ada satupun pihak kepolisian ataupun pihak lainnya di dalam, hanya ada Chen.
"Masuk," ucap Chen. Seorang perawat membuka pintu. Mino berdiri di belakangnya dengan kawalan dua polisi bertubuh tegap. Salah satu dari mereka membukakan borgol di tangan Mino.
Segera setelah terlepas Mino masuk dan pintu ditutup.
"Sudah lama tidak bertemu," sapa Chen dengan tenang.
Mino berjalan santai menuju kursi kayu dan mendudukinya seakan-akan itu sofa dengan tumpukan bantal, "Tidak begitu lama. Tiga minggu yang lalu kau masih datang mengancamku," Mino tersenyum miring, puas melihat rahang Chen yang mengeras, "ah, ruangan ini masih sama saja seperti dulu. Suram dan menyedihkan."
"Jadi bagaimana keadaanmu?" tanya Chen. Dia tahu jika langsung menanyakan pada intinya Mino akan langsung bungkam. Chen sudah amat mengenalnya.
"Polisi sialan itu nyaris membuat tanganku patah. Aku sama sekali tidak melawan tapi dia menghajarku," Mino berdecih mengingat saat dia tertangkap di halaman rumah seseorang pada malam pelariannya, "dan pengacara bodoh itu. Dia bukannya membelaku tapi terus memojokkanku! Bukankah tugas dia membuktikan jika aku tidak bersalah?"
"Kau masih berpikir jika kau tidak bersalah setelah apa yang telah kau lakukan?" imbuh Chen sedatar mungkin. Jika dia terbawa emosi oleh permainan Mino, selesai sudah semuanya.
Mino mengendikkan bahunya tak peduli.
"Kau telah membunuh tiga orang; Bae Joohyun, Seo Minsuk, dan..." Chen menekan bolpoinnya dengan keras hingga buku-buku jarinya memutih, "dan Byun Baekhyun, benar?"
Lagi-lagi Mino tersenyum puas seakan dia telah memenangkan sebuah olimpiade, "Benar."
"Bisa kau ceritakan kronologisnya?"
Mino berdeham dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, "Dokter Chen, apa kau bisa mengingatkanku kembali mengapa aku bisa kemari?"
"Dulu ibumu berambisi menjadi seorang penyanyi terkenal tapi ayahmu menyuruhnya untuk tetap di rumah. Mereka selalu bertengkar hebat. Kau dan saudari perempuanmu menjadi korban pelampiasan ibumu. Dia melatih kalian bernyanyi namun juga menyiksa kalian ketika berbuat sedikit saja kesalahan."
Mino memejamkan matanya seakan-akan mengulang kembali kehidupannya beberapa tahun yang lalu.
"Saudarimu bernyanyi lebih bagus darimu sehingga kau disiksa paling parah. Kau iri dan kau tidak kuat lagi dengan siksaan. Pada akhirnya kau mengiris urat nadi saudarimu sendiri dengan silet."
Mino menghela napas, "Tragis sekali kisah hidupku. Kau menceritakannya dengan baik. Kalau begitu kau sudah bisa menarik kesimpulannya."
Meskipun sudah tahu motif dari pembunuhan Joohyun, Chen tetap diam menanti Mino yang menjelaskannya sendiri.
"Sudah jelas aku benci mendengar suara merdu. Dulu aku selalu merasa tenang saat berada di kafe, kau pasti tahu kafe yang mana, tapi suatu hari dia datang dan mulai bernyanyi. Telingaku rasanya pengang. Dia kira dia siapa hingga berani bernyanyi? Jadi suatu malam kuculik saja dia saat setelah penampilannya.
Awalnya aku ingin menghabisinya malam itu juga tapi mengingat kembali suara dia, aku malah teringat saudariku. Jadi kupikir mengapa tidak mengenang kepergian saudariku sebentar saja. Aku mengikatnya dan menyuruhnya bernyanyi.
Aku menjadwalkan semuanya. Setelah bangun aku langsung menuju apartementku yang satu lagi dan mengikatnya di balkon. Lalu aku kembali dan membuka pintu penghubung dengan balkon, aku memerintahnya mulai bernyanyi pada saat itu.
Beberapa hari pertama suaranya masih lumayan dan aku memberikannya makanan sebagai hadiah. Tapi makin lama suaranya makin jelek. Mana dia bau pesing lagi. Wanita menjijikan."
"Bagaimana kau membunuhnya?"
"Sama seperti saudariku," nada suara Mino sedikit naik, menandakan dia tak suka ditanyai hal tersebut, "bukankah sudah tertulis di laporan forensik."
"Dan kau bilang kau punya apartement lagi?"
"Ya, tepat di sebelah tempat tinggal sahabatmu itu. Aku berpapasan dengan yang dulu tinggal di sana saat dia memindahkan barang-barang ke truk. Dia sedang pindahan dan tanpa pikir panjang aku memohon agar dia menjual tempat tinggalnya itu dengan harga yang tinggi. Aku memang sedang butuh tempat kosong untuk menaruh furniture-ku."
"Tapi kau mengaku sebagai adiknya."
Mino terkekeh pelan, "Hanya sahabatmu yang bodoh itu yang mempercayainya. Aku bahkan tak tahu aku membeli properti itu dari siapa."
Chen sangat tidak terima dengan sikap Mino yang semena-mena menghina almarhum sahabatnya tapi dia tetap mencoba tenang, "Bagaimana dengan Seo Minsuk? Apa alasanmu menggantungnya?"
"Dia yang mengetahui penculikan itu pertama kali. Tukang bangunan dan wanita menjijikan itu saling berkomunikasi. Dengan percaya dirinya tukang itu masuk ke dalam rumahku. Untung aku bisa menghabisinya duluan sebelum dia kocar-kacir mencari pertolongan."
"Kau tahu Baekhyun sedang merenovasi rumahnya dan aku yakin kau tahu ada lubang sebesar kepalan tangan di dindingmu. Mengapa kau tidak mencegah supaya aksimu tidak terdengar tetangga sebelah?"
"Buat apa? Toh aku tidak menyukainya dari awal. Dia sok ramah, melempar senyum sana-sini, berisik. Itu menggangguku."
"Jadi kau membunuhnya hanya karena alasan itu?"
Mino menyeringai melihat Chen yang mulai terbawa emosi. Ada kenikmatan aneh yang dirasakan Mino melihat lawan bicaranya memanas.
"Ya," jawab Mino. Mata Chen mulai berkaca-kaca namun juga tajam memandang Mino. Napasnya terdengar berat. Mino makin senang melihatnya, "dan ketahuilah betapa bahagianya aku melihat dia ketakutan ketika bertatap muka denganku. Dia menganggap dirinya seorang pahlawan. Padahal ia tak lebih dari sekedar manusia bodoh. Dia tak ada apa-apanya ketika sudah tergeletak mati dengan leher yang patah."
Chen tak bisa menahannya lagi. Emosi yang sudah tertahan tiga minggu lamanya mencuat. Kilasan memori indah bersama kedua sahabatnya terputar cepat di kepala dan kemudian berganti cepat dengan kesedihan dan penderitaan yang dia alami setelah kematian Baekhyun, penyesalan yang tak berujung.
Tangannya dengan cepat meraih sebuah pistol yang diselipkan di kantong celananya. Dia bangkit dan laras panjang pistol itu terarahkan ke kepala Mino yang terlonjak di tempatnya.
"Ini untuk kematian sahabatku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Above. | smn✔️
Mystery / ThrillerSemenjak kepindahannya ke kota padat ini, untuk pertama kalinya, dia menyukai tempat tinggalnya. Tepatnya di balkon. Di mana setiap hari dia bisa mendengar lantunan melodi indah. Bagai candu, dia harus mendengar suara wanita itu tiap pagi. Tanpa p...