بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Hal pertama yang kucatat dalam ingatanku bahwa sosok kak Jordan ini adalah seorang ayah.
Semalam, tepatnya pukul 23.10 aku menginjakkan kaki di halaman rumahku dengan kak Jordan yang membukakan pintu mobilnya untukku.
Dengan setelan piyama pria yang cukup untuk membuat tubuh kecilku tenggelam didalamnya, kini sudah menyisakan dua barang miliknya akan bersemayam di lemari pakaianku.
Kami sempat berdebat soal barang-barangnya yang akan kukembalikan saat itu, namun ia menolak dan memilih untuk langsung melesat pergi.
Sejak kejadian di kamar sebelumnya, kami tidak menciptakan percakapan yang berarti atau menjelaskan hal-hal yang mengganjal dalam benak. Bahkan selama dalam perjalanan menuju rumahku, atmosfir canggung membuat lidah tak dapat berkutik.
"EH LIHAT, DATENG TUH ANAKNYA!"
Aku cukup terkejut ketika seluruh manusia di lorong utama kampusku menatap tajam tepat kearahku.
Aku menscan tubuhku, mencari letak kesalahan yang sudah mencuri perhatian mereka semua. Tapi kurasa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang salah-
SPLASH!!!
-sebelum sebuah minuman dengan cup berukuran sedang mendarat secara kasar dikepalaku.
"Kalian tahu? Bahkan minuman itu lebih mahal harganya ketimbang gadis ini."
Aku membelalak tak percaya melihat seorang gadis yang baru saja melemparkan minumannya kearahku langsung pergi meninggalkan kerumunan begitu saja.
Gemuruh kebencian tertangkap pendengaranku, kata-kata yang tak pantas terus menghujamiku, membuatku tak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan.
"Ya Allah, sebenarnya.. ada apa ini?"
Aku berucap dengan bibir yang sedikit bergetar, berusaha menguatkan diri dihadapan mereka semua.
"Ask yourself, b*tch!"
Semua orang perlahan meninggalkanku. Menyisakan ratusan hentakan kaki yang menekan jantungku. Ya Rabbi, cobaan apa lagi kali ini..
Aku menghampiri jajaran mading yang masih cukup banyak di gandrungi orang. Penasaran dengan apa yang mereka amati, aku mencoba mendekat pada objek yang menarik perhatian netraku.
Aku tercekat.
Kedua mataku memanas, pengelihatanku menjadi buram, genangan air mata dengan cepat menyayat pipiku.
"Memang benar, makhluk dataran Western itu hidupnya liar dan bebas. Menjijikan."
Aku menunduk antara meredam amarah dan menekan malu yang luar biasa. Pundakku mulai bergatar, tanda aku tak lagi mampu menahan tangisan yang sempat tertunda dalam tenggorokanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Senja
Science FictionAssalamu'alaikum, sahabat semua. Ini, kutuangkan goresan jemariku yang berhiaskan kisah seorang istri shalihah yang Insyaa Allah dapat menginspirasi kita semua. Perjalanannya yang penuh akan duri kecil hingga duri besar yang menjalar liar dalam seti...